Kuliner

Dikenal Hingga ke Mancanegara, Tapi Pempek Minim Sertifikasi, Apa Kendalanya ?

Foto : faldy

Empek-empek [pempek] salah satu makanan khas Palembang yang terbuat dari bahan baku utama tepung kanji dan ikan yang digiling halus.  Beberapa tahun belakangan empek-empek semakin populer, bahkan setelah Palembang menjadi salah satu tuan rumah Sea Games – Asian Games, empek-empek  diminati hingga ke manca negara.

Sumselterkini.co.id, Palembang – Di Kota Palembang makanan ini sangat mudah ditemukan, hampir di seluruh seantero Palembang dari pelosok hingga pusat Kota Palembang.

Dalam laman Wikipedia, terkait sejarahnya, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Tionghoa  ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II  berkuasa di kesultanan Palembang – Darussalam, . Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan apek atau pek-pek, yaitu sebutan untuk paman atau lelaki tua Tionghoa.

Berdasarkan cerita rakyat, sekitar 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi ) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi yang belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Ia kemudian mencoba alternatif pengolahan lain.

Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan “pek … apek”, maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek.

Namun, cerita rakyat ini patut ditelaah lebih lanjut karena singkong baru diperkenalkan bangsa Portugis ke Indonesia pada abad 16, sementara bangsa Tionghoa telah menghuni Palembang sekurang-kurangnya semenjak masa Sriwijaya. Selain itu velocipede (sepeda) baru dikenal di Prancis dan Jerman pada abad 18.

Dalam pada itu Sultan Mahmud Badaruddin baru dilahirkan tahun 1767. Walaupun begitu memang sangat mungkin pempek merupakan adaptasi dari makanan Tionghoa seperti bakso ikan, kekian atau pun ngohiang.

Kini industri empek-empek sudah menghasilkan devisa, bagi Kota Palembang. Pesona empek-empek Palembang bahkan pernah  menjadi trending topic nasional. Karena saat Asian Games Agustus lalu, pengirim oleh-oleh khas Palembang ke luar negeri menembus angka 7 ton per hari. Menteri Pariwisata (Menpar) RI, Arif Yahya saat itu juga, mengakui kehebohan pempek Palembang sangat mempesona.

Apalagi kuliner yang gurih dan mengenyangkan ini dimakan dengan cuka yang pedas ini memiliki beberapa jenis, antara lain, empek-empek lenjer, empek-empek adaan, empek -empek pistel, empek-empek kulit, empek-empek kereting, panggang, bahkan yang lebih populer empek-empek kapal selam.

Beberapa tahun silam tepatnya 2013, Provinsi Jambi pernah mengklaim bahwa makanan tersebut berasal dari Jambi, klaim Jambi itu sempat ramai dan membuat berang Gubernur Sumsel yang saat itu dipimpin Alex Noerdin, kemarahan gubernur Sumsel banyak ditanggapi beberapa media online baik lokal Sumsel, maupun nasional hingga komen di media sosial [medsos] menjadi ramai.

Akhirnya klaim mengklaim itu lenyap bak ditelan bumi, ketika empek-empek mulai dipatenkan melalui surat hak cipta dari kementrian Hukum dan HAM RI, ada 12 jenis empek-empek sebagai hasil kebudayaan rakyat yang berasal dari Palembang.

Bahkan alumni dari SMP Negeri 15 Palembang membuat gagasan untuk memecahkan rekor MURI membuat empek-empek lenggang terbesar dengan menggunakan 1,7 ton telur. Bentuk kepedulian terhadap makanan tradisional khas Palembang ini pun mendapat apreasiasi dari segenap masyarakat Palembang. Akhirnya membuat empek-empek semakin dikenal dikalangan masyarakat luas, penasaran ingin mencicipin makanan yang gurih, dan enak tersebut hingga kini menjadikan para industri empek-empek di Palembang bergairah

Dua bule [Cristian Carrasco dan Ronald Fagundez] yang tergabung dalam timnas All Star, turnamen Alex Noerdin Cup 2019 juga baru-baru ini mengaku suka dengan kelezatan dan gurihnya empek -empek.

Dua bule itu pun tak sungkan -sungkan dan tak ragu untuk melalapnya, sembari menghirup cuka yang pedas. Bahkan saking ketagihan dan suka, salah satu bule tersebut meneguk cukanya langsung dari botol, seolah-olah minum wine, membuat pengunjung yang saat itu tengah menikmati empek-empek di tempat yang sama, [Pempek Sudi Mampir], Jalan Merdeka Palembang melongok.


Minim SNI

Itulah pesona empek-empek Palembang, siapa pun mencicipinya akan ketagihan. Namun seiring populernya empek-empek hingga menembus pasar manca negara, sayangnya tidak diimbangi dengan sertifikasi. Padahal jumlah industri UKM yang memproduksi empek-empek di Palembang tersebut mencapai ribuan.

“Baru ada tiga produsen Pempek di Kota Palembang, yang sudah bersertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI), “ kata Kepala Bidang Pemberdayaan Usaha Mikro Dinas Koperasi dan UKM Kota Palembang, Juana Ria dibincangi Sumselterkini.co.id, Senin (19/2/19).

Dia menilai, faktor minimnya sertifikasi SNI untuk industri empek-empek ini, karena  biaya pengurusan sertifikat dianggap yang mahal, termasuk permasalahan pembuatan merek produksi atau hak paten.Dinas Koperasi dan UKM Kota Palembang tugasnya hanya merekomendasikan.

Saat ini pihaknya hanya mengingatkan dan mendorong UKM berskala besar dan yang sudah mapan untuk mendapatkan sertifikasi  SNI, sedangkan untuk yang masih rumahan belum, dikarenakan omsetnya yang kecil.

“Sementara ini kita sosialisasi kan, untuk pelaku usaha rumahan, khususnya yang kuliner, kita anjurkan untuk produksi yang higienis, baik itu proses produksi sampai ke kemasannya,” jelas dia.

Ditempat berbeda, Haryanto, penanggung jawab Harian Teknis, Badan Standarisasi Nasional (BSN) Palembang, membenarkan. Dia mengakui memang  baru ada 3 UKM yang memiliki label  SNI pada kemasannya.

Ada berbagai alasan, seperti sumber daya yang paling umum, seperti anggaran biaya, dari mulai persiapan sebelum sertifikasi, pengujian produk, melihat proses produksinya, sampai mendapatkan sertifikasi itu ditanggung oleh pihak pengaju atau pelaku usaha sendiri. “Biayanya untuk kuliner memang relatif mahal, contohnya pempek, biaya SNI  bisa mencapai Rp15 juta-Rp20 juta,” jelasnya.

Karena karakteristik produknya berbeda-beda, jika pempek yang berbahan baku ikan, pengujiannya lebih mahal, karena ada uji mikro biologis.

“Biaya ujinya lumayan mahal, sementara pengujiannya dilakukan diluar Palembang, karena di Palembang belum ada Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) jadi prosesnya masih di lakukan di Jakarta,”paparnya.

Sehingga ongkos ikut mahak pula, selama proses pengujian juga ada tim pusat yang langsung memantau, guna melihat secara langsung produksi dan mengambil sampel dari produknya untuk di uji di pusat. Kendala lain, ungkapnya masalah Sumber Daya Manusia (SDM) baik di Lembaga, maupun UKM itu sendiri.

“Kalau dari BSN sendiri cuma ada dua pegawai yang mengurusi sertifikasi itu, sedangkan lemah di UKM sudah kita ketahui bersama selain dari sisi teknologi, kelemahan nya ada proses administrasi atau pencatatan, sedangkan pencatatan ini sangat penting dalam proses sertifikasi SNI,”urainya.

Untuk proses sertifikasi bisa ke luar izinnya membutuhkan waktu 6 bulan – 1 tahun, itupun tergantung dengan kelengkapan surat menyurat dan lainnya.[**]

 

Penulis : Faldi /one

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com