PEPATAH baru yang belum sempat dicetak di buku motivasi, yakni “Harapan bisa dibangun, asal fondasinya niat dan atapnya menyelamatkan nyawa”.
Kurang lebih beginilah semangat yang kini sedang tumbuh di Pulau Buru, Maluku, ketika Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menancapkan batu pertama RSUD Buru, bukan cuma batu biasa, tapi batu harapan, batu penanda, bahwa hidup tak lagi harus dikorbankan karena jarak dan laut.
Bagi warga Buru, selama ini, untuk sekadar melihat hasil CT scan saja harus seperti main Amazing Race. dulu, periksa kepala, tapi harus naik kapal dulu, bolak-balik ombak, lalu antre lagi di Ambon yang sudah kayak stasiun Tanah Abang pas lebaran, kalau pasiennya pingsan di jalan, ya…. bisa-bisa diagnosisnya terlambat, penanganan pun tinggal kenangan.
Kita bicara soal nyawa, bukan cuma data statistik, di pulau-pulau seperti Buru, nyawa bisa hilang bukan karena tak ada ilmu, tapi karena tak ada alat, oleh karena itu, pembangunan RSUD ini lebih dari sekadar proyek fisik, ini soal nyawa yang tidak boleh ditunda.
Menurut Menkes Budi, ada lima penyakit yang paling mematikan di Indonesia, antara lain stroke, jantung, kanker, ginjal, dan kesehatan ibu-anak, itu kayak lima horor yang bisa dihadapi kalau alat medis dan dokter spesialis masih harus import dari pulau sebelah.
Oleh karena itu, rumah sakit ini tak hanya akan punya bangunan dan spanduk, tapi juga CT scan, cath lab, mamografi, dan mesin cuci darah. Singkatnya dari diagnosa sampai tindakan, semua harus available.
Satu hal yang menarik dari pendekatan Kemenkes kali ini adalah membangun tidak cuma bangunannya, tapi juga orangnya. Menkes Budi mengajak agar daerah ikut serta menyekolahkan anak-anak mudanya menjadi dokter spesialis.
Bak pepatah inovatif “Daripada terus-menerus minta lilin dari tetangga, kenapa tidak bikin listrik sendiri?”. Kalau semua daerah mulai melahirkan spesialis dari dalam, maka krisis tenaga medis akan pelan-pelan terurai.
Negara-negara, seperti Jepang dan Finlandia juga menerapkan sistem desentralisasi tenaga medis, anak daerah kembali ke daerahnya, dan diberi insentif luar biasa agar betah.
Di Indonesia?. Masih banyak dokter yang lebih memilih praktik di Jakarta, karena di kampung belum tentu ada ruang operasi yang ada malah ruang tunggu panjang dan gaji pendek.
Menkes juga sempat nyeletuk, rumah sakit jangan lagi dibangun seperti zaman Belanda. Bangunannya megah, tapi fungsinya bingung. Ruang rawat di kiri, IGD di kanan, ruang tunggu kayak terminal antarkota, dan pasien bingung mau sembuh di mana dulu.
Masterplan
Ini bukan zamannya bikin rumah sakit kayak labirin. Harus ada master plan, terintegrasi, efisien, dan ramah pasien. Kalau bisa, desainnya juga nggak bikin stres.
Satu contoh, rumah sakit modern di Denmark sudah mulai meniru desain taman dan arsitektur hotel, suasana nyaman, staf tersenyum, dan pasien bisa sembuh bukan cuma dari obat, tapi juga dari suasana.
Apa yang terjadi di Namlea ini harus jadi preseden baik. Bahwa Indonesia bukan cuma Jakarta dan sekitarnya. Ada anak-anak yang lahir di Pulau Buru yang berhak mendapat imunisasi, ada ibu hamil yang berhak ditangani bidan ahli, dan ada kakek yang berhak cuci darah tanpa harus naik kapal laut.
Pembangunan rumah sakit ini seakan-akan menjawab doa-doa yang sering diucap sambil memandang laut “Kapan kami punya fasilitas yang layak?” gitulho.
Ketika Gubernur Maluku bilang “Tak ada lagi warga yang meninggal karena telat ditangani”, itu bukan slogan semata, tapi harapan yang kini mulai punya bentuk, punya bangunan, punya ruang ICU.
Kalau semuanya lancar, RSUD Buru jadi, alatnya lengkap, dokternya ada, perawatnya senyum manis, dan masyarakat nggak perlu naik kapal lagi cuma buat periksa darah, mungkin ini bisa jadi lelucon nasional. “Dulu ke Ambon buat CT scan, sekarang ke RSUD Buru sekalian beli gorengan di kantin”.
Nggak heran kalau Pak Bupati senang bukan main, bukan cuma karena ada bangunan baru, tapi karena beliau tahu, ada nyawa-nyawa yang akan selamat, karena rumah sakit bukan bangunan mati, tapi rumah bagi mereka yang ingin hidup.
Akhirnya, kita harus akui kesetaraan itu tidak bisa hanya diomongkan dari podium, harus dibangun. Sama seperti rumah sakit ini, tak sekadar bangunan beton, tapi simbol keadilan. Kita bisa belajar dari negara-negara seperti Thailand, yang dengan cepat membangun rumah sakit di desa-desa terpencil dan melatih tenaga medis lokal agar tidak pergi ke kota besar.
Pemerintah pusat dan daerah, seperti duet gitaris dan vokalis, harus kompak memainkan lagu pembangunan ini. Kalau nadanya pas, hasilnya tak cuma enak didengar, tapi juga menyelamatkan banyak jiwa.
Jadi, mari kita doakan semoga rumah sakit ini tak hanya jadi tempat sembuh, tapi juga tempat tumbuh- tumbuh harapan, tumbuh kepercayaan, dan tumbuh kesadaran bahwa kesehatan adalah hak semua warga, dari Sabang sampai Namlea.
Karena, seperti kata pepatah masa kini “Sehat itu mahal, apalagi kalau harus menyeberang laut dulu”.[***]