Kesehatan

“Obat Baru TBC Kayak Motor Ninja, Tapi Kalau Sopirnya Lupa Nyetir, Ya Nabrak Juga”

ist

PUNYA obat baru buat Tuberkulosis resistan obat (TBC RO) itu mirip punya motor Ninja, kok, bisa?, karena mesinnya kencang, bodinya kinclong, bikin tetangga melongo. Namun jika yang bawa belum bisa bedain gigi satu sama netral, jangan kaget kalau Ninja itu nambrak tembok sebelum dipakai touring.

Nah, begitulah kondisi kita sekarang, pasalnya Indonesia sudah punya regimen pengobatan baru yang lebih singkat, hanya enam bulan, bahkan jumlah pilnya pun lebih sedikit, tapi kalau tenaga medis masih gagap cara memakainya bisa berabe juga, nih, pasalnya pasien bisa nyasar di jalan.

Oleh sebab itu, Wakil Menteri Kesehatan Prof. Dante Saksono Harbuwono sudah wanti-wanti, karena obat baru bukan dijadikan jimat, tanpa dokter, perawat, dan apoteker yang benar-benar siap, target pengendalian TBC bisa macet di tengah jalan.

Untuk itulah hadirlah yang namanya  Upskill TB, yakni platform pembelajaran daring berbasis Massive Open Online Course/MOOC, dengan tujuan supaya tenaga kesehatan di seluruh Indonesia bisa ngecas skill kapan pun, di mana pun berada.

Biar jelas skalanya, mari simak dan pakai data resmi ini,  menurut Global TB Report 2024 dari WHO, Indonesia duduk di posisi kedua dengan jumlah penderita TBC terbanyak di dunia setelah India, bahkan WHO mencatat, Indonesia menyumbang sekitar 10 persen dari seluruh kasus TBC global pada 2023, wah.. cukup prihatin.

Artinya, dari sepuluh orang yang kena TBC di dunia, satu orangnya ya orang Indonesia, berat juga bro…. ya…ini berat bukan karena rindu, tapi karena paru-paru sehingga dampaknya jika ini dibiarkan, kuman TBC bisa bikin reuni akbar tiap tahun di negeri ini.

Maka, wajarlah kalau Wamenkes ngotot bilang obat baru saja tidak cukup, karena tanpa upgrade kapasitas tenaga kesehatan, dan beban global tadi hanya akan jadi bahan pidato, bukan solusi yang nyata.

Orang sering berpikir, kalau obatnya manjur, masalah bisa selesai, padahal pada kenyataannya, nggak sederhana itu, karena banyak pasien TBC RO menyerah di tengah jalan, bosan minum obat, efek samping bikin badan amburadul, atau merasa sehat padahal kumannya masih pesta pora di paru-paru.

Oleh karena itu, jika nggak ada tenaga medis yang benar-benar sabar mendampingi dan menjelaskan, bahkan sesekali menegur penuh kasih sayang, pasien bisa kabur sebelum garis finis.

Jadi, obat baru ibarat mie instan yang rasa kekinian, seandainya airnya kurang panas, bumbunya nggak dicampur rata, ya.. rasanya tetap zonk, bahkan  obat bagus juga tetap butuh chef yang  paham resep.

Negara maju pun paham dengan kondisi itu, bahkan perang melawan penyakit bukan cuma soal obat, tapi soal orang yang mengelola obat.

Coba belajar dari negara lain, misalnya saja Amerika Serikat,  negeri “paman sam” itu,  sejak lama pakai e-learning untuk tenaga kesehatan, malah dokter di kota kecil pun bisa update ilmu sama cepat dengan profesor di kampus top.

Selain itu Jerman juga, mereka bangun pusat pelatihan digital, karena sadar ilmu kedokteran nggak boleh berhenti di ruang kuliah, ilmu itu harus mengalir terus, kayak air sungai.

Begitu pula dengan Jepang, negeri sakura itu punya kolaborasi lintas sektor yang jadi budaya, bahkan pemerintah, kampus, perusahaan, dan  masyarakat sipilnya ikut bikin modul kesehatan, mereka percaya penyakit itu musuh bersama, bukan musuh satu kementerian doang.

Jadi istilahnya obat hebat itu tanpa orang hebat, cuma jadi hiasan di gudang farmasi, sebab pasien TBC RO itu ibarat juga mirip pemain sinetron stripping. Jalan ceritanya panjang, kadang bikin bosan, tapi harus dimainkan sampai tamat.

Namun bila pemainnya kabur di episode 10 dari 50 episode, jadi sinetronnya dinilai tamat prematur,  padahal dokter dan perawatnya sutradaranya, tugas mereka juga menjaga pemain tetap semangat “Sabar dikit, bro, episode ini bakal seru kok”. Oleh karena itu, singkatnya tanpa sutradara, sinetron bubar, dan kumannya? tepuk tangan sambil bilang “yes, manusia nyerah duluan”.

Analogi Dapur

Regimen baru BPaL/M ibarat kompor gas hemat energi, masak lebih cepat, dapur lebih lega, tetangga ikut senang, tapi kalau tukang masaknya nggak tahu cara nyalain, bisa-bisa rumah kebakar,  padahal tenaga kesehatan bukan hanya sebagai pelengkap penderita, mereka inti dari permainan.

Coba renungkan pepatah ini, “satu batang korek bisa menyalakan lilin, tapi butuh tangan terampil untuk membuat lilin itu menerangi ruangan”.

Dalam konteks TBC, obat adalah korek, pasien itu lilin, dan tenaga medis adalah tangan, kalau tangan nggak terampil, lilin padam sebelum sempat bersinar.

Makanya Upskill TB hadir sebagai charger universal, kenapa? karena dokter di Aceh sampai Merauke bisa belajar dari modul yang sama. Belajar bisa dari warung kopi, dari rumah, bahkan dari posko kesehatan di gunung, fleksibel, murah, dan merata.

Kalau tadi kita ibaratkan obat baru itu motor Ninja, maka Upskill TB adalah kursus menyetirnya, tanpa kursus, Ninja cuma jadi pajangan di garasi.

Oleh karena itu, jika Amerika bisa dengan e-learning, Jerman bisa dengan pusat pelatihan, dan Jepang bisa dengan kolaborasi lintas sektor, kenapa Indonesia nggak bisa dengan kombinasi semuanya?. Mari kita bikin pepatah baru… yang bisa dijadikan renungan bersama hingga anak cucu kita. “Obat baru TBC kayak motor Ninja, tapi kalau sopirnya lupa belajar nyetir, ya nabrak juga”

Dan percayalah, kuman TBC nggak akan mati cuma karena kita rajin bikin acara di hotel, mereka baru kabur kalau dokter, perawat, dan pasien kita benar-benar berdaya, sehingga jangan biarkan target 2030, cuma jadi poster hiasan di ruang rapat, dan  lebih baik sekarang serius belajar, daripada nanti serius menyesal.[***]

Terpopuler

To Top