COBA misalnya, suatu hari anda sakit gigi geraham yang rasanya kayak digigitin rayap nonstop, begitu cari dokter spesialis gigi bedah mulut, ternyata antreannya sampai enam bulan ke depan. Kalau nungguin, bisa-bisa geraham sudah pindah alamat ke dunia lain. Ujung-ujungnya, orang Indonesia sering ambil jalan pintas, cabut sendiri pakai tang potong, atau lebih ekstrem lagi, pergi ke dukun gigi di pasar yang pegangannya bukan izin praktik, tapi palu kecil dan doa semangat 45.
Nah, beginilah gambaran krisis dokter spesialis kita, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sampai harus menggelar Konferensi Internasional demi mempercepat reformasi pendidikan spesialis.
Katanya, rumah sakit pendidikan akan ditambah dari 26 sentra jadi 300–500. Targetnya, produksi dokter spesialis naik dari 2.700 per tahun jadi 20 ribu per tahun. Kalau benar tercapai, ini bukan lagi kabar gembira, tapi bisa bikin rakyat terharu sambil nyanyi lagu perjuangan.
Kita sering bangga bilang penduduk Indonesia itu besar, 280 juta jiwa, potensial, pasar luas, tapi begitu dibandingin dengan negara lain, jumlah dokter spesialis kita ibarat nasi padang tanpa rendang.
Contoh Korea Selatan, penduduknya cuma seperenam Indonesia, tapi jumlah spesialisnya lebih banyak. Inggris, penduduknya 68 juta (seperlima Indonesia), tapi tiap tahun bisa produksi 48 ribu dokter spesialis dan Amerika punya 900 rumah sakit pendidikan. Kita? baru 26, itu pun sering penuh kayak kos-kosan pas musim masuk kuliah.
Pepatah lama bilang “besar pasak daripada tiang, rumah bisa roboh”. dalam konteks ini, besar penduduk tanpa dokter cukup, rakyat bisa roboh beneran.
Kalau krisis dokter spesialis dibiarkan, jangan heran besok-besok ada pasien datang ke rumah sakit, tapi yang menyambut bukan dokter, melainkan robot dengan suara Google Translate “Selamat siang, pasien terhormat, silakan buka mulut, saya akan operasi pakai tutorial YouTube”
Kalau bukan robot, ya mungkin balik lagi ke dukun, bedanya, dukun zaman sekarang bukan cuma pakai jampi-jampi, tapi juga pakai paket data. “Tenang, saya sudah lihat caranya di TikTok, operasinya gampang kok!” Lah, bukannya sembuh, malah jadi konten viral.
Supaya tragedi “dokter spesialis langka” tak jadi komedi gelap, Menkes mulai menggandeng pihak internasional ACGME-I dari Amerika, SingHealth, dan JCST dari Singapura, tujuannya jelas, bikin sistem pendidikan dokter kita setara standar global.
Pendidikan spesialis nanti dijanjikan bebas diskriminasi, bebas pemerasan, bebas bullying, semua pakai sistem elektronik. Jadi calon dokter tak perlu lagi setor ayam kampung atau durian musang king ke dosen pembimbing. Pepatah bilang, “kalau mau menanam pohon, tanamlah yang berbuah.” Nah, kalau mau melahirkan spesialis berkualitas, tanamlah sistem yang jujur dan transparan.
Bayangkan, 7.000 pulau Indonesia punya akses dokter spesialis yang merata, di Papua, orang sakit jantung tak perlu terbang ke Jakarta. Di Maluku, pasien mata tak perlu antre sampai berbulan-bulan di Makassar. Di pedalaman Kalimantan, ibu hamil tak perlu naik perahu dua hari hanya untuk cari spesialis kandungan.
Itu bukan mimpi, tapi pekerjaan rumah, kalau bisa tercapai, kesehatan rakyat bukan lagi barang mewah, melainkan hak dasar.
Krisis dokter spesialis ini sebetulnya cermin klasik dari negeri +62, jumlah penduduk banyak, sumber daya berlimpah, tapi manajemen kadang kayak warung bakso yang kehabisan mie pas jam makan siang. Kita butuh sistem yang kuat, bukan tambal sulam. Butuh rencana matang, bukan janji yang cuma jadi headline berita.
Seperti kata pepatah Jawa, “alon-alon asal kelakon,” tapi untuk urusan kesehatan, kalau kelamaan alon-alon, bisa keburu kelakon di rumah duka, jadi jangan ditunda-tunda lagi.
Reformasi pendidikan dokter spesialis ini ibarat upgrade sistem operasi, dari Windows 95 langsung lompat ke Windows 11. Kalau serius dijalankan, rakyat bisa merasakan layanan kesehatan cepat, merata, dan berkualitas. Tapi kalau cuma jadi jargon konferensi, ya sama saja kita nonton film tanpa ending bikin penasaran sekaligus kecewa.
Jadi, kita dukung langkah ini, sambil tetap awasi, karena sehat itu hak, bukan barang langka, jangan sampai di masa depan, kita harus memilih operasi sama robot, cabut gigi di dukun, atau cukup doa sambil berharap sakitnya hilang sendiri.[***]