Kesehatan

“TBC Bukan Takdir, Cuma Tebakan Bodoh Kalau Kita Diam-Diam Saja”

Foto : kemkes

PERNAH dengar istilah “batuk berdahak lima minggu tapi masih karaokean”? Nah, itu bukan gejala cinta yang tertahan, tapi bisa jadi tanda TBC Tuberkulosis.

Penyakit satu ini emang suka nempel diam-diam, kayak mantan yang masih follow IG tapi nggak pernah like. Padahal, kalau dibiarkan, TBC bisa jadi kayak cicilan online makin lama makin mencekik.

Tapi tenang…., kita bukan mau ngajak panik. Kita mau ngajak mikir dengan gaya warung kopi, tapi isi otaknya setajam seminar internasional. Yuk, kita ngulik TBC dari sisi yang beda penuh ketawa, tapi serius juga. Karena di balik humor, ada hikmah dan di balik batuk, ada… ya, TBC tadi itu.

Waktu Wakil Menteri Kesehatan, Prof. Dante, nyampe ke Desa Sukadami, rasanya kayak Elon Musk nyasar ke bengkel las di situ banyak inovasi, tapi dari rakyat biasa.

Coba kita bayangin aja, desa ini bisa bikin program Masker TB, kader-kader tangguh yang semangatnya ngalahin atlet SEA Games, dan koordinasi lintas sektor yang rapihnya ngalahin jadwal arisan RT.

Penduduknya? Lebih dari 56 ribu jiwa. Tapi jangan bayangin semua ngumpul di balai desa kayak demo. Mereka ini aktif secara struktural dan spiritual. Yang batuk-batuk dicek, yang diam-diam dimotivasi, dan yang ketahuan kontak erat langsung ditangani. Ini bukan sekadar kampanye kesehatan, tapi udah kayak operasi militer: cepat, tepat, dan pakai masker.

Kadang, orang kita mikir TBC itu kayak karma. “Wah, udah takdir” Eh, bukan, Pakde, ini bukan urusan karma, tapi kerja sama.

Contohlah Vietnam, mereka bisa nurunin kasus TBC hampir 30% dalam sepuluh tahun karena konsisten, India, walau masih tinggi, udah gila-gilaan programnya dari pengobatan gratis sampai insentif buat pasien.

Filipina? mereka bikin aplikasi pelacak pasien TBC dan punya hotline buat konsultasi. Di kita? baru rame kalau artis kena atau ada kunjungan menteri.

Dan jangan salah, kita bukan kurang dana, Global Fund ngasih Rp6 triliun buat tiga tahun. Itu cukup buat beli masker satu desa plus wifi gratis kalau dipakai bener.

Tapi ya, kalau yang aktif cuma ibu-ibu kader, sementara kepala desanya sibuk nge-vlog pancing ikan, ya sama aja kayak nonton film horor tapi nutup mata. Nggak dapet ilmunya, cuma dapet jantungan.

Ibu-ibu kader itu kayak superhero tanpa jubah, tapi punya misi, mereka masuk ke rumah-rumah yang kadang lebih serem dari sinetron azab. Diusir, dicuekin, bahkan dianggap bawa kutukan. Tapi tetap maju. Kalau negara ini waras, harusnya mereka dapet Oscar kategori “Aktris Terbaik dalam Menyelamatkan Negeri”.

Sayangnya, peran mereka sering cuma dianggap figuran. Ini seperti nonton sepakbola tapi nyorot kamera ke wasit terus. Harusnya mereka diajak duduk bareng buat bikin kebijakan, karena yang tahu medan bukan yang duduk di ruang ber-AC, tapi yang masuk gang sempit bawa formulir sambil ngos-ngosan.

Ngomongin TBC tanpa ngomongin kemiskinan, ya kayak makan mie instan tanpa bumbunya. TBC itu nemplok paling seneng di tempat padat, gelap, dan minim gizi. Jadi jangan heran kalau kasusnya banyak di kampung-kampung atau perumahan yang ventilasinya lebih sempit dari peluang main film FTV buat orang jelek.

Oleh, sebab itu. maka penting banget, kayak kata Deputi Kantor Presiden, Isra Ramli kesehatan harus nyambung sama pendidikan, ekonomi, dan perlindungan sosial.

Jangan cuma bikin Kampung Siaga, tapi juga Sekolah Rakyat, layanan konsultasi online, dan ya… mungkin karaoke anti-TBC (yang liriknya diedit “Bukan Cinta Biasa” jadi “Bukan Batuk Biasa”).

Kalau cowok adalah kepala keluarga, perempuan itu jantungnya, dan kalau jantung berhenti, ya wassalam. Ibu-ibu kader itu bukan cuma penyuluh kesehatan, tapi juga psikolog, chef, dan guru privat anak-anak. Tapi sayang, di banyak forum, suara mereka kadang tenggelam kayak mic di acara dangdutan.

Maka wajar kalau Wamen PPA bilang perempuan dan anak harus dilibatkan total, karena TBC bukan cuma urusan paru-paru, tapi juga urusan dapur dan ruang tamu.

Anak-anak yang kena TBC nggak cuma butuh antibiotik, tapi juga butuh pelukan. Perempuan yang aktif bukan cuma buat senam pagi, tapi juga buat mendesain masa depan desa.

TBC Bisa Diakhiri

China, India, dan  Vietnam mereka sudah melangkah jauh. Kita? Masih debat soal anggaran dan siapa yang paling banyak selfie pas fogging.

Indonesia bisa kok, tapi butuh Kepala desa yang kayak leader boyband inspiratif dan nggak cuma tampil pas acara, kader yang dihargai, bukan cuma dimintai tolong gratisan. Dana desa yang dialokasikan dengan otak, bukan dengan undian arisan dan masyarakat yang sadar bahwa batuk lama itu bukan hal biasa, apalagi dibanggakan.

Oleh karena itu, jangan tunggu sampai paru-parumu bilang “bye”. TBC itu bisa disembuhkan, tapi nggak bisa diajak kompromi. Pemeriksaan gratis, obat gratis, yang dibutuhkan cuma niat dan sedikit keberanian buat menghadapi kenyataan.

Mari kita jadi bangsa yang batuknya karena tertawa, bukan karena TBC. Negeri ini nggak butuh lagi tambahan drama, cukup sinetron, mari kita akhiri TBC, sebelum TBC yang mengakhiri kita.

Jadi, yuk gerak bareng, jangan cuma jago repost infografis, tapi malas lapor kalau tetangga batuk terus. Jangan tunggu semua sempurna baru mau peduli, karena dunia ini nggak sempurna, tapi kita bisa jadi bagian dari perubahan.

Dan ingat! TBC bukan takdir, cuma tebakan bodoh kalau kita diam-diam saja.[***]

Terpopuler

To Top