“Anak sehat bukan cuma bisa lari kencang, tapi juga kuat menahan tekanan hidup tanpa harus lempar galau ke status WhatsApp”
DI NEGARA yang tiap minggu ganti tren TikTok ini, kita harus jujur anak sekolah makin gampang lelah, gampang stres, tapi susah curhat. Ada yang ngeluh pusing, tapi bukan karena pelajaran, melainkan karena pengisi daya mentalnya udah lowbat sejak bab pertama.
Lalu datanglah satu gerakan nasional, seperti superhero dari Puskesmas, yang namanya Cek Kesehatan Gratis (CKG) Sekolah), sebuah program dari Kemenkes yang niatnya bukan sekadar ngajak anak baris-berbaris, tapi memeriksa apakah tubuh dan pikirannya masih utuh atau sudah remuk oleh tekanan zaman.
Bayangkan, 53 juta siswa dari SD, SMP, SMA, SMK, madrasah hingga pesantren akan diperiksa. Negara datang bukan buat razia rambut, bukan pula ngecek seragam, tapi ngelihat apakah gigi mereka bolong, matanya minus, hatinya retak, atau pikirannya penuh beban tak terdefinisikan.
Dan ini penting, karena di masa sekarang, anak bisa saja terlihat segar, tapi jiwanya bisa keropos, layaknya tembok dicat putih tapi di baliknya retak semua.
Menurut data Kemenkes, 1 dari 6 anak usia sekolah mengalami kelebihan berat badan, dan 1 dari 6 lainnya menderita anemia. Di sisi lain, kasus gangguan kesehatan mental makin naik, tapi masih banyak yang nggak tahu harus curhat ke siapa, apalagi kalau gurunya juga stres karena belum cair BOS.
Cek ini bukan sekadar tensi dan timbang berat badan, di dalamnya ada pemeriksaan gigi, mata, telinga, tekanan darah, hemoglobin, dan kesehatan jiwa, bahkan anak-anak SMP ke atas akan dites talasemia dan kesehatan reproduksi, bukan buat buka aib, tapi supaya mereka tahu, ini tubuh, ini tanggung jawab.
Modelnya sederhana, tim kesehatan datang ke sekolah, bikin dua ruang satu untuk cek fisik, satu lagi untuk cek mental dan penglihatan. Tesnya bertahap. SD dapet 13 jenis pemeriksaan, SMP 15, SMA 14. Termasuk juga tes kebugaran, semacam push-up ringan, bukan demi nilai rapor, tapi demi tahu jantung anak-anak masih berdetak bukan karena panik soal UNBK.
“Bukan masyarakat yang datang ke Puskesmas, sekarang Puskesmas yang datang ke sekolah,” ujar Hasan Hasbi, Kepala Kantor Komunikasi Presiden belum lama ini.
Ini bukan hanya perubahan cara, tapi perubahan sikap negara terhadap generasinya.
Dan hasilnya? Kalau satu anak bermasalah, dirujuk ke fasilitas kesehatan. Tapi kalau satu sekolah bermasalah serempak, barulah negara sadar ini bukan soal individu, ini soal sistem. Bisa jadi kantin terlalu banyak jual makanan tepung, atau jam pelajaran terlalu padat kayak kemacetan Senin pagi.
Negara lain
Beberapa negara juga sebenarnya sudah melakukannya lebih dulu, bro. Contoh Finlandia, tiap sekolah wajib menyediakan akses konselor psikologi dan dokter gigi sekolah yang berkeliling. Bukan sekadar formalitas, tapi bagian dari kurikulum: sehat jasmani dan rohani itu prioritas.
Jepang, setiap anak dicek rutin, bahkan jam makan siangnya diatur ada edukasi gizi, bukan sekadar makan asal kenyang. Negara-negara Skandinavia juga menerapkan prinsip “healthy child, resilient future”, kalau mau masa depan kuat, periksa generasi mudamu sekarang, bukan nanti.
Kita memang belum selevel mereka. Tapi langkah ini CKG adalah upaya untuk tidak kalah start.
Yang menarik, gerakan ini bisa jadi semacam rapor masa depan bangsa, kalau banyak siswa alami stres, negara wajib bertanya siapa yang bikin mereka stres? Kurikulum? Lingkungan? Atau orang dewasa yang tak becus jadi contoh?
Sebab jangan-jangan, selama ini kita hanya menuntut anak-anak untuk ranking satu, hafal Pancasila, dan jadi duta digital, tanpa pernah bertanya apakah mereka tidur cukup dan punya teman bicara.
“Bangsa yang kuat bukan dilihat dari jumlah medali emas, tapi dari seberapa besar ia peduli pada anak-anak yang tak terlihat”
Cek kesehatan anak sekolah ini langkah besar. Tapi jangan berhenti di tensi darah dan mata minus. Lanjutkan ke pertanyaan-pertanyaan eksistensial apakah mereka bahagia? Apakah mereka masih percaya masa depan? Kalau jawabannya samar, barangkali bukan anak-anaknya yang harus diintervensi, tapi orang-orang dewasa di sekitar mereka.
Karena pada akhirnya, anak-anak itu cerminan masa depan. Kalau masa depan tampak pucat, boleh jadi karena masa kini terlalu sibuk memoles diri, lupa merawat isi.[***]