RESISTENSI antimikroba (AMR) kini jadi ancaman kesehatan yang lebih menakutkan daripada harga cabai naik menjelang Lebaran. Bedanya, kalau cabai bikin kantong kita pedih, AMR bisa bikin nyawa melayang. Menurut Wakil Menteri Kesehatan Prof. Dante Saksono Harbuwono, sebanyak 1,27 juta orang di dunia meninggal akibat AMR pada 2019, dan di Indonesia ada sekitar 36.500 kematian yang bisa dicegah andai saja bakteri nggak kebal obat. Ini bukan cerita fiksi, bro, ini realita yang sunyi tapi mengerikan.
Bayangin, obat yang harusnya jadi pahlawan, malah berubah jadi tameng bolong, seperti pepatah lama, “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan utang,” nah di era AMR ini manusia bisa mati meninggalkan resep antibiotik yang salah kaprah.
Di warung sebelah rumah, ada yang jual mie instan, pulsa, sampai… antibiotik eceran, bayangkan, antibiotik udah kayak permen kopiko bisa dibeli tanpa resep, tanpa tanya dokter. Masyarakat kita masih suka mikir, “Ah, batuk pilek dikit, kasih antibiotik biar manjur.” Padahal, flu itu disebabkan virus, bukan bakteri. Jadi minum antibiotik buat flu sama aja kayak nyiram bensin ke kompor mati nggak ada efeknya, kecuali bikin masalah baru.
Prof. Dante dalam rilis resmi dilaman kemkes.go.id, juga bilang, masalah antibiotik ini komitmen besar pemerintah. Tapi jujur saja, kalau masyarakat masih hobi minum obat sembarangan, ya sama aja kayak nyapu rumah tapi pintu belakangnya dibiarkan terbuka, kotor lagi, kotor lagi.
Resistensi antimikroba bukan cuma urusan kesehatan, tapi juga dompet dunia, data menunjukkan kerugian ekonomi global akibat AMR bisa tembus 3,4 triliun dolar pada 2030. Itu angka setara dengan gabungan utang beberapa negara berkembang. Kalau dibilang pepatah, “karena nila setitik rusak susu sebelanga,” nah karena bakteri bandel, ekonomi dunia bisa ambruk.
Bayangkan kalau operasi kecil saja jadi berisiko mati gara-gara infeksi nggak bisa diobati, siapa yang mau investasi di negara yang warganya gampang tumbang gara-gara luka sayat pisau dapur?
Di Konferensi Internasional AMR di Jakarta, Indonesia menegaskan diri sebagai pemimpin kawasan ASEAN dalam melawan resistensi antimikroba. Direktur ReAct Asia Pacific, Dr. S.S. Lal, bilang Indonesia sudah jadi role model. Tapi, ia juga menyindir masih ada dokter yang meresepkan antibiotik salah.
Ini kayak jadi kapten tim bola yang jago bikin strategi, tapi pemain belakangnya masih sibuk main HP di lapangan. Gimana mau menang kalau taktik bagus tapi eksekusi belepotan?
Coba bayangkan lagi, kalau generasi cucu kita hidup di dunia tanpa antibiotik ampuh. Operasi usus buntu bisa jadi tiket pulang ke alam baka, persalinan normal bisa jadi momen tragis. “Sedia payung sebelum hujan,” kata pepatah. Nah, sekarang waktunya kita sedia kesadaran sebelum obat kita kehilangan daya.
Masyarakat harus sadar, antibiotik bukan vitamin C. Dokter harus disiplin meresepkan, pemerintah juga mesti tegas menutup celah penjualan bebas. Media juga punya tanggung jawab untuk mengedukasi. Kalau semua pihak bergerak, barulah Indonesia bisa benar-benar memimpin, bukan sekadar jadi pembicara di konferensi.
Analisa singkatnya, yakni masalah utama, adalah penyalahgunaan antibiotik oleh masyarakat plus praktik medis yang longgar, dampaknya adalah kematian meningkat, biaya kesehatan membengkak, ancaman ekonomi global.
Nah ada solusi, yakni edukasi publik, pengawasan distribusi obat, kolaborasi lintas sektor (WHO, ASEAN, ReAct), sementara posisi Indonesia punya peluang jadi teladan regional, tapi harus dibarengi pembenahan internal.
Resistensi antimikroba bukan isu yang bisa ditertawakan selamanya, kalau kita terus memperlakukan antibiotik seperti jajan cilok, jangan salahkan kalau nanti anak cucu kita hidup di dunia tanpa obat manjur. Ingat pepatah Jawa, “alon-alon asal kelakon,” tapi dalam kasus AMR, jangan kelamaan alon-alon, saatnya bergerak cepat.
Indonesia sudah punya panggung sebagai pemimpin ASEAN dalam melawan AMR. Tinggal kita, rakyat dan tenaga kesehatan, mau nggak disiplin jaga obat terakhir kita ini?, karena pada akhirnya, melawan AMR bukan soal pamer data di konferensi, tapi soal menyelamatkan nyawa-nyawa kita sendiri.[***]