DI zaman dulu, surat itu ditulis pakai arang di daun pisang, kalau hujan turun, alamat bubar. Di zaman penjajahan, surat dikirim lewat kurir sepeda onthel, kalau nyasar bisa berujung perceraian. Tapi sekarang, di era digital, selembar surat PDF pun bisa bikin deg-degan satu provinsi. Terutama kalau isinya menyangkut nasib 6.120 orang.
Ya…, ini bukan kisah cinta lama bersemi kembali, inilah kisah harapan baru dari selembar surat bertanda tangan Gubernur Sumatera Selatan, Pak Herman Deru, yang mengusulkan 6.120 formasi PPPK Paruh Waktu ke BKN dan KemenPAN. Surat nomor 800/10555/BKD.I/2025 itu bagaikan lampu hijau di tengah jalan buntu, atau dalam bahasa rakyat jelata “Waduh, alhamdulillah, masih ada secercah harapan walau hanya dari secarik kertas”
Surat, wahai surat, jangan kau remehkan eksistensimu, dari zaman Nabi Sulaiman kirim surat ke Ratu Balqis, sampai surat titipan seorang mahasiswa ke pacarnya di kampus seberang, fungsi surat tetap sama mengantar kabar, harapan, dan kadang-kadang, amarah.
Dulu surat cinta pakai parfum, ditaruh di bawah bantal, sekarang surat penugasan pakai barcode, ditaruh di grup WhatsApp, tapi sensasinya tetap deg-degan!.
Bayangkan, hanya karena selembar surat dari Gubernur Sumsel, 6.120 Pegawai Non-ASN yang semula seperti kucing kehujanan di bawah kolong jembatan, kini mulai meluruskan punggung, menyisir rambut, dan bersiap-siap menyambut status baru PPPK Paruh Waktu.
Yang bikin mewek bukan hanya jumlahnya, tapi isinya, ada tenaga kesehatan 2 orang, teknis 3.615 orang, jabatan tampungan 378 orang, dan guru 2.125 orang.
Mereka ini ibarat pemain cadangan yang udah ikut pemanasan, tapi nggak pernah dipanggil pelatih. Udah ikut seleksi tahap I dan II, tapi jatah formasi tak kunjung datang, sakitnya tuh… bukan di hati, tapi di dapur!.
Gagasan PPPK Paruh Waktu ini ibarat ide “nasi setengah tapi lauknya komplit”. Tak apa paruh waktu, asal ada pengakuan, daripada nunggu formasi penuh tapi terus mengabdi tanpa kepastian, kan lebih baik paruh waktu dengan status jelas dan upah yang manusiawi.
Ikuti aturan
Seperti kata Pak Sekda Edward Candra, “Kita sudah ikuti aturan, tidak menerima honorer baru, ikut seleksi PPPK, optimalisasi, semua dilalui, sekarang kita tunggu regulasi teknis dari pusat”.
Kalimat Pak Sekda itu mirip doa orang tua ke anaknya yang belum juga diterima kerja “Tenang, nak, kita udah usaha, sekarang tinggal tunggu rezeki dari Tuhan”.
Kata orang bijak, jangan remehkan selembar surat, seperti yang sering dikaitkan (meski tidak pernah terbukti) dengan Albert Einstein “If I had an hour to save the world, I’d spend 55 minutes thinking and 5 minutes writing the right letter” (“Jika aku punya waktu sejam untuk menyelamatkan dunia, 55 menit akan kupakai untuk memikirkan masalahnya, dan 5 menit untuk mencari solusinya”)
Tuh kan, bahkan Einstein aja percaya bahwa satu surat bisa menyelamatkan dunia, apalagi menyelamatkan 6.120 honorer!. Kutipan itu mungkin bukan milik Einstein secara sah, tapi ia menyiratkan satu hal kadang surat yang baik dimulai dari pemahaman yang dalam tentang masalahnya.
Mungkin itulah yang dilakukan Pemprov Sumsel, mereka berpikir keras, lalu menulis surat, karena di negeri ini, selembar surat bisa lebih ampuh daripada 100 konferensi pers.
Yang jelas, surat bukan sekadar kertas dan tinta (atau PDF dan scan tanda tangan). Ini adalah manifestasi cinta negara kepada rakyatnya yang selama ini “mengabdi tapi tak diakui”.
Kadang, satu surat berisi kabar bahagia diterima kerja, naik jabatan, atau naik gaji. Kadang pula, ia membawa kabar pilu,yakni isinya tentang surat PHK, surat cinta yang berakhir di pelaminan orang.
Tapi surat dari Gubernur Sumsel ini bukan dua-duanya, ia bukan surat cinta, tapi penuh harapan, ia bukan surat pemecatan, tapi mungkin pembuka jalan ke pengangkatan. Ia mungkin tak mengandung puisi atau kata manis, tapi berisi data 6.120 nama yang ingin diakui. Ini surat perjuangan. Surat kehidupan. Surat doa yang dilipat rapi oleh kebijakan.
Jangan bilang surat itu kuno, di dunia serba digital ini, surat masih hidup, Ia seperti kompas kecil di tengah badai birokrasi, penunjuk arah di labirin regulasi. Surat itu bagaikan kopi hitam, sederhana, tapi bikin melek semua pihak.
Dan untuk 6.120 tenaga Non-ASN yang masih menggenggam harap, semoga selembar surat ini jadi tiket masuk menuju nasib yang lebih pasti, bukan hanya bagi mereka, tapi bagi martabat pengabdian yang selama ini terabaikan.
Kata pepatah “Surat itu memang diam, tapi isinya bisa membuat dunia bergerak”
Bahkan di dunia pendidikan, surat bisa mengandung kecemasan para guru yang sudah menua di ruang kelas tanpa status tetap. Ia mengandung doa pegawai TU yang pulang naik motor kredit tanpa tahu apakah bulan depan gajinya cair.
Mungkin, entah siapa yang menulis draft awal surat itu, ada sedikit cinta di sana, bukan cinta personal, tapi cinta dalam bentuk paling rasional tentang pengakuan atas kerja keras. Namun tidak semua surat harus bermeterai cinta. Kadang, cukup sebuah tanda tangan gubernur dan angka 6.120 di kolom jumlah.
Itu saja cukup membuat 6.120 keluarga kembali percaya bahwa negara tidak tuli, bahwa sistem, betapapun lambat dan tak romantisnya, masih bisa bergerak.
Karena pada akhirnya, nasib manusia kadang digantungkan pada hal-hal sederhana dengan selembar kertas, tanda tangan, dan niat baik dan jika surat itu sampai, dibaca, dan ditindaklanjuti, maka sejarah akan mencatat bahwa di tahun 2025, selembar PDF dari Palembang pernah menyelamatkan ribuan orang dari ketidakpastian.
Bukan karena teknologinya canggih. Tapi karena isinya manusiawi.[***]