Kebijakan

Retret Ala Sumsel, “Dari Cakar-cakaran jadi Cakap-cakapan”

ist

DULU, zaman masih pakai sepeda jengki dan sandal swallow dua warna, kalau anak ketahuan bolos sekolah, hukumannya bisa sampai disuruh nyapu lapangan bola dari ujung ke ujung, sambil dinyanyiin lagu “Ibu Kita Kartini” oleh guru BP. Tapi sekarang? Yang sering bolos malah dapat jatah ikut retret mewah, diajak camping ala semi militer, dibekali ilmu motivasi, dan disambut langsung Gubernur. Lha, ini kalau bocah nakal baca berita ini, bisa-bisa pura-pura tawuran tiap minggu biar dapet jatah pelatihan juga.

Tapi eh, jangan salah sangka dulu, di balik gayanya yang kayak program upgrade karakter versi anak-anak Naruto ini, ada niat mulia dari Gubernur Sumatera Selatan, Pak H. Herman Deru (HD), yang pengin nyiapin generasi muda Sumsel biar nggak cuma kuat mental pas main Mobile Legends, tapi juga tahan banting menghadapi dunia nyata yang kata orang tua, lebih kejam dari sinetron jam 7 malam.

Pak Gubernur ngomong soal “Bonus Demografi 2045”,  bukan diskon akhir tahun atau cashback saldo DANA. Itu lho, saat Indonesia punya lebih banyak penduduk usia produktif dibanding yang lainnya. Ibarat tim sepak bola, saat itu kita punya banyak striker, tinggal pelatihnya pinter-pinter nyusun formasi.

Tapi pertanyaannya, striker-nya siap tanding nggak? Jangan-jangan malah sibuk update TikTok atau upload video prank maling sandal jepit. Nah, itulah sebabnya program retret karakter ini penting, bukan cuma sekadar acara outbond, tapi semacam bootcamp mental biar anak-anak muda Sumsel gak gampang ‘baperan’ dan bisa jadi petarung tangguh di dunia nyata.

Peserta retret ini memang anak-anak yang dianggap ‘bermasalah’, tapi justru mereka inilah yang punya potensi luar biasa kalau digarap dengan benar. Lihat aja contoh kota-kota di luar negeri yang sukses memberdayakan anak muda ‘nakal jadi berfaedah’, seperti Bogotá, Kolombia, Wali kotanya dulu pernah gencar narik anak-anak jalanan ke dalam pelatihan seni jalanan dan musik. Hasilnya? Kota jadi penuh mural keren, dan angka kriminalitas remaja turun drastis.

Reykjavik, Islandia juga, Kota ini menggelar program “Youth in Iceland’ yang ngajak anak-anak remaja nyemplung ke olahraga dan kesenian, bukannya nyemplung ke dunia miras. Sekarang Islandia termasuk negara dengan tingkat penyalahgunaan alkohol remaja terendah se-Eropa.

Melbourne, Australia, Pemerintah lokal kasih insentif buat sekolah yang berhasil mengubah perilaku siswa bermasalah. Guru BP bisa dapet penghargaan kalau murid bolos berubah jadi murid teladan.

Suwon, Korea Selatan, Kota ini punya program Youth Village, di mana remaja yang drop out atau bermasalah diajak tinggal bersama mentor dalam satu asrama komunitas. Mirip retret, tapi versi K-Drama, mereka diajarin life skill dari bikin kimchi sampai coding.

Nah, artinya Sumsel gak salah langkah. Cuma… ya ada beberapa catatan keci, perumpamaan Retret itu jangan sampai kayak mie instan, mateng cepet tapi cepet lembek.

Retret ini jangan cuma 10 hari lalu peserta dilepas ke habitat lamanya tanpa pendampingan, ibarat mie instan, baru saja disiram air panas eh langsung dituang bumbu, tapi belum dimakan udah lembek, mengembang dan nggak enak. Anak-anak yang baru ‘dibentuk’ ini butuh kelanjutan, butuh mentor pasca-retret, biar efeknya nggak cuma seumur jagung.

Bayangkan kalau mereka pulang ke rumah, disambut lingkungan yang sama, teman-teman yang ngajak bolos, dan sekolah yang masih tutup kantin karena renovasi, bisa-bisa semangat 45 mereka berubah jadi semangat rebahan 24/7.

Terkait teknologi dan AI, jangan sampai anak  kita dikuasai robot, bukan jadi penguasa robot, pesan Pak Gubernur dan juga nyebut soal pentingnya menguasai AI. Nah ini bener banget, jangan sampai generasi kita kalah sama chatbot, kalah debat sama asisten virtual, dan kalah cepat sama Google translate.

Tapi ingat!, AI itu alat, kalau anak-anak kita gak punya karakter yang kuat, ya tetap aja dipake buat nyontek PR atau bikin surat cinta otomatis. AI harusnya jadi alat bantu, bukan alat curang.

Retret, semacam revolusi karakter bukan yang bawa bambu runcing, tapi yang bawa kesadaran diri,  juga ingat pepatah lama “Kalau mau menanam pohon besar, jangan cuma siram waktu musim hujan”. Anak-anak kita butuh pembinaan terus-menerus, bukan program musiman.

Buat para peserta retret, kalian bukan gagal, cuma butuh jalan lain, kadang jalan ke sukses bukan lurus beraspal, tapi belok-belok lewat semak, bahkan kadang harus nyebur selokan dulu.

Tapi jangan takut kotor, karena siapa tahu dari sanalah muncul calon menteri pendidikan, gubernur masa depan, atau minimal, tukang bakso yang jujur dan viral karena nggak ngutang bumbu.

Dan buat para orang tua serta guru-guru di sekolah, jangan buru-buru ngelus dada kalau murid atau anaknya dipilih ikut retret. Itu bukan aib, tapi kesempatan, sama halnya dengan menanam bonsai,  kelihatan kecil dan bengkok, namun kalau dirawat benar bisa jadi mahal dan dibanggakan di pameran nasional.

Siapa tahu anak yang dulunya suka bolos, nanti justru jadi pembicara seminar parenting “Dulu saya nakal, sekarang saya ngevlog soal parenting”.

Terakhir, berharap program ini bukan jadi ajang seremonial tahunan yang fotonya di-upload tapi nasib pesertanya gak ada yang follow-up, karena membina anak muda itu bukan kerja 10 hari, tapi investasi jangka panjang.

Ibarat bikin pempek kapal selam, kalau cuma buru-buru direbus doang, hasilnya bisa gepeng dan gagal ngembang. Jadi yuk, kita kawal bersama, biar retret ini bukan cuma jadi momen tobat massal sesaat, tapi titik balik anak-anak Sumsel menuju Indonesia Emas, bukan emas-emas mainan, tapi emas yang beneran bisa bikin bangga.

Salam untuk masa depan, dan jangan lupa jadi nakal itu pilihan, tapi berubah jadi keren itu peluang!.[***]

Terpopuler

To Top