Kebijakan

“Kebijakan Setipis Surat, Truk Setebal Masalah”

ist

JEMBATAN tua di Desa Muara Lawai Muara Lawai B yang menghubungkan Kabupaten Lahat dan Muara Enim  [Jembatan Muara Lawai di Desa Muara Lawai, Kecamatan Merapi Timur, Kabupaten Lahat] itu, ibarat nenek renta yang tiap malam dijadikan tempat uji kekuatan oleh truk-truk kekar bermuatan batu bara, hingga pada akhirnya, Minggu malam 29 Juni 2025, ia tumbang bukan karena usia semata, tapi karena beban berlebihan yang bikin lututnya goyah, tulangnya gemeretak, dan akhirnya… blek! Ambruk.

Ini bukan kisah jembatan biasa. Ini tragedi yang jadi tamparan keras bagi sistem pengawasan yang entah di mana rimbanya. Ternyata empat truk batubara yang melintas itu bukan sedang cari jalan pintas, tapi justru sedang “menggunakan hak istimewa” dari surat toleransi Dishub tahun 2018. Toleransi kok jadi toleran banget, sampai jembatan pun dipaksa maklum!

Kita jadi bertanya-tanya, surat Dishub Sumsel bernomor 551.2/4151/5/DISHUB tanggal 8 November 2018 itu sebenarnya apa? Legalitas atau legenda rakyat? DPRD Sumsel sampai kejang-kejang membaca surat itu yang katanya “tidak ada kekuatan hukum”. Tak ada tembusan ke Gubernur, tak ada ke DPRD, dan tak ada pembahasan. Ibarat ayam bertelur di tengah jalan, tak ada induk yang mau mengakuinya.

Surat ini ibarat kunci surga buat truk batubara, bebas melintas di jalan umum padahal ada larangan jelas. Bahkan Surat Gubernur 2018 sendiri bilang “Angkutan batubara wajib lewat jalan khusus”, namun nyatanya? Malah keluar surat yang menyuruh jembatan-jembatan seantero Sumsel ikut lomba strongman angkat truk.

Gubernur Sumsel, Herman Deru, langsung pasang badan, ia janji akan mengevaluasi Pergub Nomor 74 Tahun 2018 dan menyusun ulang regulasi yang lebih ketat. Bagus!, tapi alangkah baiknya kalau langkah ini diambil bukan karena jembatan ambruk dan empat truk masuk ke dalam sungai.

Kalau kebijakan hanya lahir setelah korban jatuh, sama saja seperti dokter yang baru muncul setelah pasien dikubur. Dalam bahasa orang tua, “Air susu jangan sampai dibayar dengan air mata”.

Mungkin kita bisa belajar, coba tengok Kota Brisbane di Australia, disana, angkutan berat tak bisa melenggang seenak udel di jalan umum.

Ada jalan khusus, pengawasan elektronik, dan hukuman tegas bagi truk yang nekat. Bahkan jika berat melebihi batas, alarm jembatan bisa berbunyi bukan alarm ‘ikhlas’, tapi sistem yang langsung kirim data ke otoritas.

Di Swedia, semua kendaraan berat harus daftar dan mematuhi “Green Freight Plan”. Selain jalur khusus, ada sistem insentif buat pengusaha tambang yang menggunakan angkutan ramah lingkungan dan taat aturan.

Jepang, Kota Tokyo dan Fukuoka truk-truk besar tidak bisa sembarangan lewat jalan umum apalagi di jam sibuk. Mereka diatur lewat sistem waktu dan rute ketat, bahkan pakai GPS tracking yang langsung terhubung ke server pemerintah kota. Kalau truk nekat lewat jalur yang dilarang, alarm sensor di jalan bisa bunyi, dan dendanya cukup bikin sopir mual. Jika diterapkan di Sumsel, bisa jadi truk batubara baru keluar garasi udah ditunggu emak-emak bawa sapu lidi. “Sini kau!, jalan ini bukan untuk batu bara, ini untuk antar anak ke posyandu!”.

Singapura, Elektronik Road Pricing (ERP) dan Zona Kendali,  semua kendaraan berat harus mendaftar khusus dan membayar lebih mahal, saat lewat area tertentu.

Jalan mereka diatur sistem digital yang mencatat waktu, rute, dan bobot muatan, bahkan mereka punya zona-zona steril yang tak bisa dimasuki kendaraan melebihi berat tertentu, kecuali mau bayar denda yang setara cicilan rumah tipe 36. Kalau ERP ini dipasang di Lahat, bisa-bisa truk batubara cuma lewat sekali, lalu ganti trayek jadi truk pengangkut tahu bulat, soalnya biaya ERP-nya bisa bikin pemilik tambang puasa sebulan.

Bahkan, mereka tak cuma mengejar untung, tapi juga menjaga tulang-tulang jembatan negara agar tidak patah karena ulah kapital tanpa kendali.

Kita tak bisa melulu menyalahkan sopir atau truk, mereka hanya menjalankan apa yang diperbolehkan surat. Yang keliru adalah sistem yang membiarkan surat “toleransi” lahir tanpa dasar hukum yang sah, tanpa tembusan, tanpa diskusi. Ibarat anak lahir tanpa surat lahir, tapi malah dijadikan pemimpin upacara. DPRD terkesan kecewa bahkan Komisi IV menyebut surat itu gak jelas.

Kita perlu menyadari, regulasi bukan sekadar kertas, tapi nasib banyak nyawa, jangan tunggu jembatan lain tumbang, atau korban lain muncul, baru kita bikin rapat. Ingat pepatah lama “Orang bijak belajar dari kesalahan orang lain, orang bodoh menunggu kesalahan terulang”.

Kalau surat tersebut toleransi bodong dicabut saja secara resmi, dan bikin kebijakan yang jelas, angkutan berat wajib lewat jalan khusus sesuai UU Minerba, Pemprov gandeng aparat dan masyarakat untuk sistem pengawasan elektronik berbasis sensor serta beru insentif bagi perusahaan yang tertib dan bertanggung jawab.

Mari kita merenung sejenak dan jadikan ambruknya Jembatan Muara Lawai bukan sekadar berita viral, tapi momen kebangkitan logika, jangan biarkan kebijakan kita seperti jalan rusak tambal sulam, lalu ditinggal pergi.

Berdiri kokoh

Kalau ingin Sumsel tetap berdiri kokoh, jangan hanya jembatannya yang diperkuat, tapi juga logika dan integritas para pembuat aturan, karena membangun jalan tanpa kebijakan yang kuat, sama saja dengan membangun rumah di atas pasir.

Ingat juga, jangan sampai surat toleransi jadi kartu bebas hambatan untuk merusak jalan, melukai warga, dan menjadikan Sumsel sebagai ajang uji coba kekuatan jembatan sebab jembatan boleh dibangun ulang, tapi kepercayaan publik tidak bisa dicor ulang setiap kali runtuh.

Oleh karena itu, tinggalkan kebiasaan membuat kebijakan tambal sulam yang hanya muncul setelah bencana datang. Jangan lagi jembatan-jembatan dijadikan ajang “uji nyali” bagi truk-truk tambang yang melenggang tanpa malu, berbekal surat toleransi yang tak jelas asal-usulnya.

Sudah saatnya Sumsel punya regulasi yang tegas, pengawasan yang nyata, dan pemimpin yang bukan hanya turun ke lapangan setelah viral di media sosial.

Sebab pada akhirnya, infrastruktur bukan cuma soal beton dan aspal, ia adalah tulang punggung kehidupan masyarakat.

Kalau negara lain bisa bikin truk berat taat aturan seperti anak pramuka, kenapa kita masih pakai “surat toleransi” yang isinya ambigu dan dampaknya fatal?. Jangan sampai truk batubara lebih sakti daripada peraturan daerah, karena jembatan itu bukan superhero, ia butuh perlindungan, bukan pembiaran.

Kalau perlu, kita belajar dari luar negeri, tapi jangan cuma meniru denda dan teknologinya aja. Tiru juga cara mereka menjaga nyawa dan infrastruktur dengan logika, bukan dengan ‘surat jalan bebas hambatan’ yang tak berdasar hukum.

Jika jembatan ambruk, yang runtuh bukan hanya fisik, tapi juga kepercayaan publik, jangan biarkan rakyat terus jadi penonton dalam drama berulang yang judulnya selalu sama “Truk Lewat, Jalan Rusak, Pejabat Rapat”. Saatnya Sumsel ganti skenario, dan tulis ulang ceritanya dengan ending yang masuk akal.[***]

Terpopuler

To Top