KETERBATASAN Sumber Daya Manusia [SDM], dibarengi waktu pelaksanaan, dituding sebagai penyebab rendahnya serapan Dana Kelurahan di Kecamatan Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Meski Pemkab OKI telah menggelontorkan Rp 352 juta bagi 11 Kelurahan, namun pelaksanaan ini sendiri sempat tertunda lantaran berbagai kendala, diantaranya belum tersedianya teknis pembekalan bagi pegawai kelurahan dalam mengelola dana kelurahan secara akuntabel.
Bahkan, jika serapan dana kelurahan berada dibawah target serapan, bukan tidak mungkin, dana yang akan diperoleh masing-masing kelurahan sebesar Rp300-360 Juta ini terancam tidak dapat dicairkan.
Sebelumnya, sejumlah kalangan mengkritisi kebijakan menggunakan skema pihak ketiga. Mereka menginginkan keterlibatan masyarakat dapat berperan aktif, ketimbang mengedepankan Swakelola dalam mengerjakan sejumlah proyek kelurahan.
Kelompok masyarakat ini beralasan dengan swakelola, selain sebagai lapangan pekerjaan (Padat Karya), dana kelurahan ini memerlukan keterlibatan dan peran serta beralasan dana kelurahan secara penuh.
Camat Kota Kayuagung Dedi Kurniawan menjelaskan bahwa berdasarkan Permendagri Nomor 130 Tahun 2018 yang menjelaskan tentang Penggunaan Dana Kelurahan, disebutkan bahwa pengelolaannya bisa melalui dua skema yakni skema swakelola dan skema penyedia melalui pengadaan barang dan jasa (pihak ketiga).
“Mayoritas tiap kelurahan saat ini, hanya ada 50 % saja yang berstatus PNS. Dari jumlah saja tidak memadai, apalagi kebutuhan sumber daya manusianya,” jelasnya Selasa (6/8/2019).
Dedi membeberkan sejumlah kekurangan yang ada di kelurahan. Ia mencontohkan, Kelurahan Sidakersa, dan Cintaraja harus defisit pegawai lantara Bendahara dan PPTK mengajukan pengundurkan diri. “Seperti juga di Kelurahan Kedaton dan Kayuagung Asli mengalami kekurangan pegawai yang kapabel,” jelasnya.
Mantan Kasubag Humas ini mengaku tidak ingin gegabah dalam melaksanakan amanah masyarakat ini. Ia menilai, memaksakan diri melaksanakan swakelola tanpa memiliki kompetensi di sejumlah lembaga, seperti, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan LKM justru akan memicu persoalan baru.
Dengan gamblang Dedi menuturkan dari pengalamannya sendiri dalam memandang kinerja satuan tugas dalam event Midang, yang menurutnya, meski dana pengelolaan hanya sebesar Rp15 Juta, tapi dalam mempertanggungjawabkannya terkesan lamban.
“Kami khawatir, bertambah masalah disaat mereka mengurus dana hingga 700 juta. Namun hal ini menjadi tantangan tersendiri,” ucapnya.
Bertolak dari beberapa pertimbangan, pihaknya cenderung memilih skema melalui penyedia pengadaan barang dan jasa.
Menurut Dedi, saat ini, skema pihak ketiga merupakan opsi yang cukup adil. Namun ia mendorong mewujudkan swakelola bilamana semuanya sudah siap. “Sembari kita lakukan pembenahan internal maupun personil, kami yakin pengelolaan dana kelurahan akan semakin baik,” terangnya.
Bagi Dedi dan warganya, dana kelurahan ini adalah sebuah “oase” dalam pembangunan kelurahan. Dengan ketersediaan dana, persoalan yang timbul dapat diberikan solusi konkrit.
“Seperti masalah Jamban Sungai di Kelurahan Mangunjaya yang saat ini telah diganti dengan fasilitas MCK dan sanitasi lainnya sehingga warga setempat tidak lagi menggunakan sungai,” tandasnya.[**]
Penulis : dra