JELANG tutup tahun 2025, suasana di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Palembang bukan lagi seperti kantor biasa. Suara ketikan komputer dan rapat staf kini bercampur dengan aroma “deadline” yang menggantung di udara.
Target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) senilai Rp264 miliar seakan jadi bola panas yang bergulir di lapangan waktu, sebab tinggal 40 hari sebelum peluit akhir tahun berbunyi.
Di tengah suasana itu, Sekretaris Daerah Kota Palembang, Aprizal Hasyim, maju paling depan. Ia tak mau hanya sekadar jadi penonton di tribun.
Ia memompa semangat semua lini, mulai dari OPD sampai Lurah, agar bergerak bersama. “Kalau semua bergerak kompak, target bisa tercapai. Tapi kalau cuma rapat doang semangat, di lapangan malah jalan santai, ya wassalam,” sindirnya ringan tapi nyentil.
Dan benar saja sejak itu, suasana berubah. Lurah-lurah di 18 kecamatan Palembang kini seperti pemain bola yang baru dikasih bonus tambahan. Mereka bukan cuma mengurus surat atau stempel, tapi juga “menyerang” rumah ke rumah, mengingatkan warga agar segera melunasi PBB-nya. Bahkan ada lurah yang bilang, “Pak, ini bukan kejar setoran, tapi kejar kemajuan.” Mantap.
Bapenda pun ikut naikan gigi 4 dan langsung tancap gas. Kepala Bapenda, Marhaen, SH, M.Si, menyebut hingga awal November, realisasi pajak daerah sudah mencapai 72,55 persen atau Rp1,3 triliun dari target Rp1,8 triliun. Dari 14 jenis pajak, PBB paling menonjol 74,57 persen atau Rp246 miliar sudah masuk kantong daerah. Tapi masih ada miliaran yang belum. Nah, di sinilah laga penentuan dimulai.
Daripada mengandalkan gertakan atau surat peringatan, Bapenda mengambil langkah manis, program pemutihan. Ini bukan urusan skincare, tapi program penghapusan pokok dan denda PBB tahun 2002–2019 hingga 100 persen, dan potongan 50 persen untuk tahun 2020–2024, asalkan bayar PBB tahun 2025 dan berlaku sampai 30 Desember 2025.
Artinya, warga yang dulu takut ke kantor pajak karena merasa berdosa, sekarang bisa datang dengan kepala tegak. Bapenda seolah bilang, “Ayo, kita mulai dari nol lagi, yang lalu biarlah berlalu”. Pepatah pun cocok di sini “Tak ada kata terlambat untuk berbuat baik, apalagi kalau demi PAD”.
Lucunya, suasana Palembang akhir tahun ini jadi mirip turnamen bola antar-Kecamatan. Ada Lurah yang keliling naik motor, ada yang bikin posko bayar pajak di warung kopi, bahkan ada yang pasang spanduk di depan kelurahan bertuliskan “Bayar Pajak Sekarang, Nikmati Jalan Mulus Nanti”, kreatif banget.
Sekda sendiri menggambarkan kerja ini seperti sepak bola. Lurah dan camat harus jadi tim solid, tidak bisa main sendiri-sendiri. Lurah sebagai striker harus jago mencetak gol alias mengumpulkan PBB.
Camat berperan sebagai playmaker, mengatur arah permainan agar tak kebobolan target. Sementara Bapenda? Ya itu dia, pelatih kepala yang tiap hari mantengin papan skor sambil doa “Semoga gak over time”.
Jemput bola
Kalau Palembang sedang sibuk mengejar pajak di sisa waktu yang mepet, kota lain di Indonesia bahkan dunia sudah membuktikan bahwa inovasi dan kolaborasi bisa mengubah segalanya.
Lihat Surabaya, misalnya. Kota itu sukses meningkatkan PAD lewat program jemput bola pajak, di mana petugas turun langsung ke pasar dan permukiman untuk mempermudah pembayaran. Tak ada lagi alasan sibuk atau lupa, karena petugasnya sudah nongol di depan pintu.
Kemudian Bandung, yang sudah lebih dulu menerapkan sistem pembayaran daring. Bayar PBB cukup lewat gawai, tanpa perlu antre di kantor. Akibatnya, partisipasi warga naik signifikan, bahkan target tahunan mereka tercapai sebelum akhir tahun.
Dan kalau mau menengok ke luar negeri, Tokyo jadi contoh keren. Pemerintahnya memberikan insentif pajak rumah bagi warga yang membayar tepat waktu, sehingga warga malah berlomba-lomba untuk taat pajak. Bukan karena takut denda, tapi karena sistemnya jelas, transparan, dan menguntungkan.
Palembang jelas bisa meniru itu, tapi tentu dengan gaya lokal, santai, tapi pasti tegas, tapi tetap humanis.
Kalau dipikir-pikir, strategi Pemkot Palembang ini bukan cuma urusan angka di laporan keuangan. Ini soal rasa rasa tanggung jawab dan rasa memiliki. Ketika warga membayar pajak, itu bukan semata setoran ke negara, tapi bentuk cinta kepada kota sendiri. Sama seperti orang yang rela iuran untuk memperbaiki jalan kampung, karena tahu manfaatnya bakal kembali ke mereka juga.
Pajak, dengan kata lain, adalah investasi emosional. Ia menumbuhkan rasa keterikatan antara warga dan kota. Ketika semua orang sadar itu, tak perlu ada ancaman atau denda kesadaran sudah cukup jadi bahan bakarnya.
Ada filosofi sederhana di balik semangat Pemkot Palembang ini, “Kota yang besar bukan dibangun dari gedung tinggi, tapi dari komitmen warganya”. Pajak hanyalah alat, tapi komitmen adalah bahan bakarnya. Kalau semua pihak pemerintah, OPD, camat, lurah, hingga warga jalan bareng, tak ada target yang terlalu tinggi.
Sekda Aprizal pun benar ketika bilang, “Kalau kita mau Palembang maju, komitmen harus tumbuh dari semua sisi”, karena kalau hanya satu pihak yang kerja keras, hasilnya bakal timpang.
Kini waktu tinggal 40 hari. Angka yang di mata sebagian orang mungkin pendek, tapi di tangan orang yang mau bergerak, bisa jadi panjang dan berarti. Pemerintah sudah menyiapkan jurus, warga punya kesempatan, dan kota menanti hasilnya.
Apakah target miliaran itu akan tercapai? Melihat semangat tim yang bermain, peluangnya besar. Palembang sedang menunjukkan bahwa kerja keras bisa tetap disajikan dengan senyum, strategi bisa dibalut empati, dan kejar target tak harus diiringi ketegangan.
Jadi, kalau nanti Anda melihat lurah berkeliling sambil bawa berkas pajak dan senyum selebar papan skor, jangan heran. Mereka sedang beraksi di lapangan pajak, memastikan Palembang menutup tahun dengan skor kemenangan. Karena di kota ini, bahkan urusan PBB pun bisa jadi kisah perjuangan yang seru dan sedikit kocak.[***]