Sumselterkini.co.id, – Ada satu pepatah warisan kakek buyut, yakni”Sarjana tanpa kerja itu ibarat panci tanpa tutup, bunyi doang tapi nggak bisa nyimpan apa-apa”. Nah, pepatah itu pas banget buat menggambarkan kondisi sebagian lulusan perguruan tinggi zaman sekarang, apalagi yang sarjana keagamaan. Ilmunya dalam, hafal kitab sampai kaki bengkak duduk bersila, tapi pas disuruh bikin portofolio kerja, malah buka kitab lagi.
Untunglah Kementerian Agama lewat Dirjen Pendidikan Islam nggak tinggal diam, mereka meluncurkan program PRIMA Magang PTKI, bukan prima rasa ayam bawang ya, tapi Professional Readiness through Internship and Mentorship for Academics. Nama bolehlah kebarat-baratan, tapi isinya tetap syariah dan tak meninggalkan akhlakul karimah. Ini bukan magang sambil lalu, tapi magang sambil waras rohani dan tajam logika. Mantap…
Kata Pak Menteri Agama, PRIMA ini bukan program magang ecek-ecek. Ini gerakan nilai. Kalau bahasa anak senja, ini bukan sekadar internship, ini perjalanan batin menuju profesionalisme. Keren, kan?, tapi memang begitu. PRIMA disusun dalam tiga tahap, bukan tiga jurus maut Naruto, tapi tahapan serius yang dimulai dari bootcamp, magang langsung di lapangan, sampai mentoring beneran dari orang industri.
Ibarat bikin rendang, PRIMA ini udah dari ngulek bumbu sampai tahap ditumis dan disiram santan. Mahasiswa nggak cuma jadi penonton, tapi ikut nyicipin dapur industri baik yang basah, kering, maupun yang masih semu-semu digital.
Kita tahu betul, banyak sarjana sekarang cuma jadi penghuni tetap rumah ortu. Pagi jadi penonton sinetron, siang jadi komentator TikTok, malam jadi filsuf grup WA keluarga, oleh sebab itu PRIMA datang sebagai angin segar, bahkan kalau bisa dibilang, ini semacam kipas angin turbo di tengah pengangguran yang mulai akut.
Kalau Korea Selatan bisa bikin SM Entertainment nyari bakat sampai ke pelosok, masa kita nggak bisa nyari bakat profesional dari PTKI?. Kalau India bisa ekspor programmer ke Silicon Valley, kenapa PTKI kita nggak bisa ekspor manajer zakat digital atau influencer dakwah AI?.
Program ini nyambung banget sama ASTA CITA dan ASTA PROTAS, Nah ini dia, dua istilah yang terdengar kayak nama pendekar zaman Majapahit, tapi ternyata inti dari arah pembangunan nasional. PRIMA hadir buat menjahit luka lama antara dunia kampus dan dunia kerja, biar nggak ada lagi kisah. “Sarjana nganggur lima tahun, kerja pertamanya jadi tukang refill galon, tapi masih ditanya ‘Mana ijazahmu?'”.
Dengan PRIMA, mahasiswa PTKI bisa punya pengalaman magang sampai 10 bulan, ditambah mentoring langsung dari pelaku industri. Ini bukan mentoring rasa-rasa seminar gratis di balai desa, tapi beneran didampingi orang yang ngerti. Bahkan sistem evaluasinya digital dan real-time. Ibarat cek gula darah, langsung ketahuan naik turunnya kemampuan.
Kita ambil contoh Jerman, negara ini punya dual vocational training, di mana siswa belajar di kelas sambil langsung magang di perusahaan. Lulusan mereka bukan cuma siap kerja, tapi siap menciptakan kerja. Di Finlandia, mahasiswa diajari untuk fail fast, alias gagal dulu nggak apa-apa, yang penting bisa bangkit cepat dan bikin startup. Kita? kadang masih sibuk nyari stempel KUA buat legalisir ijazah.
Nah, PRIMA bisa jadi jalan tengah ala Indonesia, campuran antara pesantren digital dan kampus yang lincah, dengan PRIMA, mahasiswa bisa menciptakan side income bahkan side office, entah itu bisnis kopi berbasis syariah atau startup pemantauan arah kiblat berbasis satelit.
Kita nggak butuh lulusan yang cuma pintar debat dalil di Twitter, tapi juga bisa bikin aplikasi zakat yang bisa ngalahin startup unicorn. Kita butuh generasi PTKI yang bisa menjahit surban sambil nyetting server. Yang bisa ngaji, tapi juga bisa pitching ide ke investor.
Oleh karena itu, PRIMA ini bukan sekadar solusi dari Kementerian Agama, tapi tonggak penting menuju kebangkitan lulusan keagamaan yang siap bersaing di dunia kerja. Kalau perlu, dari alumni PRIMA inilah nanti lahir CEO Halal GoFood, Menteri AI Syariah, atau konsultan spiritual digital yang punya kantor di tiga benua. Ibarat pepatah “Ilmu tinggi tanpa pengalaman itu ibarat naik haji tapi lupa bawa koper. Sampai Mekah bingung mau ngapain,”.[***]