Jasa & Niaga

Harga Naik, Pasar Ramai, Dompet Menangis

ist

Sumselterkini.co.id, – Menjelang Idul Adha, Pasar Randik Sekayu mendadak kayak konser dangdut kampung ramai, padat, dan penuh drama. Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin pun turun langsung, bak detektif belanja, memantau harga dan stok kebutuhan pokok. Tentu bukan untuk sekadar jalan-jalan atau beli pempek, tapi untuk memastikan harga tak melonjak macam kuda liar.

Sidak yang dipimpin langsung  Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Hj Azizah SSos MT, bersama Tim Terpadu dari berbagai instansi, menemukan bahwa sebagian besar harga masih stabil. Tapi ada juga yang mulai “gerah” dan naik pelan-pelan, seperti cabe, bawang, ayam, telur, dan beras. Walau belum selevel harga tiket konser K-Pop, tetap saja cukup bikin emak-emak merapatkan dompet sambil berkeringat dingin.

Penyebab utama? Klasik. Kenaikan dari pasar induk di Palembang. Ibarat main domino, kalau satu naik, yang lain ikut berdiri. Dan jangan lupa, momen lebaran memang selalu jadi saat rawan inflasi mini, dimana permintaan naik, harapan membumbung, dan harga ikut melayang.

Kepala Dinas pun mengingatkan agar agen dan pedagang jangan main “simpan-simpan bahagia” alias menimbun stok. Jangan pula jual barang yang sudah kadaluarsa. Kita ini mau Idul Adha, bukan lomba siapa paling kreatif bikin orang keracunan.

Karena dalam hidup ini, ada dua hal yang selalu bikin deg-degan nungguin hasil lamaran dan ngecek harga cabe seminggu sebelum Lebaran. Keduanya sama-sama bisa bikin jantung copot, apalagi kalau yang dilamar malah milih orang lain, dan cabe merah tiba-tiba loncat dari Rp35.000 ke Rp40.000 kayak atlet lompat indah.

Cabe merah besar, cabe keriting, dan cabe rawit, misalnya. Kompak naik seribu-seribu macam ngikut tren TikTok. Bawang merah dan putih juga nggak mau ketinggalan, ikutan naik dua ribu-an, seolah bilang, “Kalau cabe bisa, kami juga bisa!”

Dan jangan lupakan daging ayam broiler yang sekarang mulai berlagak kayak sapi, dari Rp30.000 ke Rp32.000 per kilo. Sementara ayam kampung yang biasanya kalem dan lokal banget tiba-tiba berasa ayam sultan, naik jadi Rp70.000 sekilo.

Mungkin ayam-ayam ini udah mulai ikut seminar motivasi dan sadar harga dirinya. Yang lebih “berisi” lagi, telur ayam ras juga naik, meski cuma seribu rupiah. Tapi tetap saja, kalau dihitung ratusan telur, lumayan buat beli kuota.

Beras premium? Wah, ini sih udah kayak naik pangkat. Dari Rp14.150 jadi Rp14.900 per kilo. Walau cuma ratusan rupiah, kalau sekeluarga doyan makan tiga kali sehari, naiknya bisa bikin dapur ngebul bukan karena masakan, tapi karena stres.

Dinas Perdagangan dan Perindustrian, bersama rombongan bak iring-iringan manten baru ada TNI, Polri, Satpol PP, sampai Inspektorat turun langsung ke pasar. Bukan buat nyari jajan pasar atau beli songkok, tapi menggelar sidak harga. Dan ternyata, meskipun belum semua harga ikut “hijrah ke atas”, beberapa komoditas sudah mulai bikin kantong masyarakat ngelus dada.

Tapi jangan buru-buru panik. Tim sidak menyebut stok barang cukup dan distribusi lancar. Harga naik katanya karena pasokan dari Palembang khususnya dari Pasar Jakabaring mengalami kenaikan. Ya memang, kalau hulu udah naik, hilir tinggal ngikut, kayak anak kos yang harus nurut sama emak kost. Tapi pertanyaannya apakah ini hanya naik musiman atau ada yang bermain di balik layar?

Di sinilah pentingnya pesan Kepala Dinas, Ibu Hj Azizah, yang mengingatkan agar para agen tidak menyimpan barang seperti orang nyimpan mantan nggak dilepas, tapi juga nggak dipakai. Distribusi harus adil, jangan nunggu momen langka lalu dijual mahal. Kita butuh pasar yang jujur, bukan yang penuh drama kayak sinetron jam tujuh malam.

Dan yang lebih penting, pedagang juga diimbau untuk tidak menjual barang kadaluarsa atau yang mengandung bahan berbahaya. Bukan apa-apa, kita mau kurban kambing, bukan kurban kesehatan. Jangan sampai habis makan rendang, besoknya malah dilarikan ke puskesmas gegara rendangnya mengandung formalin.

Idul Adha seharusnya jadi momen berbagi, bukan malah ajang balapan harga. Pedagang dan agen harus paham, bahwa naiknya harga-harga ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal empati. Jangan sampai karena ingin untung segunung, rakyat cuma bisa makan sayur bening dan telur rebus tiga hari berturut-turut sambil ngiler liat tetangga masak opor.

Pepatah lama bilang, “Kawan sejati terlihat saat dompet menipis dan harga cabe naik”. Maka dari itu, mari kita sama-sama menjaga stabilitas pasar, bukan hanya untuk perut, tapi juga demi kedamaian hati menjelang hari suci. Karena pada akhirnya, cabe boleh naik, bawang boleh naik, tapi keikhlasan dan ketulusan dalam menyambut hari kurban jangan sampai ikut naik-naik ke langit dan hilang ditelan angin.[***]

Terpopuler

To Top