Inspirasi

“Society 5.0 vs Society Sabar Aja Dulu” [Antara Sekolah Pintar & Murid yang Masih Minta Colokan]

ist

Sumselterkini.co.id, – Kalau Jepang sudah melaju kencang dengan Society 5.0, kita di sini masih berpelukan mesra dengan Society Sabar Aja Dulu. Mereka sudah bikin sekolah pakai AI, kita masih sibuk mikirin siapa yang jaga UKS. Mereka ngajarin siswa bicara dengan mesin, kita masih ribut soal papan tulis magnetik yang raib entah ke mana.

Makanya, begitu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pak Pratikno, belum lama ini mampir ke Kindai University High School di Osaka, Jepang, banyak yang mangap. Lha iya, ini sekolah, tapi mirip laboratorium masa depan.

Guru Bahasa Inggrisnya didampingi sistem AI, muridnya ngobrol sama robot dengan percaya diri, dan tak satu pun siswa ngeluh soal sinyal. Sementara di kampung kita, sinyal hilang sebentar aja bisa bikin murid teriak, “Pak, nggak kedengeran, Pak! Ulangi dari awal, Pak!”.

Di Kindai, AI bukan cuma alat bantu, tapi sahabat belajar. Sejak 2013, sekolah ini sudah jadi Apple Distinguished School, bukan karena tiap murid dikasih apel gratis, tapi karena mereka memetik hasil dari teknologi yang dirawat dengan filosofi. Teknologi di sana tidak digunakan untuk gaya-gayaan, tapi untuk memperkuat karakter. AI bukan untuk menggantikan guru, tapi untuk menajamkan metode. Di sini, masih ada yang anggap kalau pakai proyektor itu udah “paling digital”.

Program GIGA School Jepang memberi setiap siswa tablet dan internet cepat. Sekolah-sekolah negeri dan swasta dipacu bareng, tanpa pilih kasih. AI tidak dijadikan mata pelajaran tersendiri, tapi diintegrasikan dalam semua pembelajaran. Mereka sadar, masa depan bukan hanya butuh kecerdasan buatan, tapi juga hati yang tidak buatan. Di sinilah Jepang membangun Society 5.0  masyarakat berteknologi tinggi tapi tetap berpusat pada manusia. Kita? Masih sibuk cari charger di ruang guru.

Pak Pratikno tak cuma datang buat selfie atau lihat-lihat. Ia diskusi serius soal pelatihan guru, perlindungan data, tantangan infrastruktur, sampai kesenjangan digital. Hal-hal yang kerap kita anggap remeh tapi ternyata bisa bikin masa depan bobrok kalau dibiarkan. Kesenjangan digital antara sekolah negeri dan swasta, antara kota dan desa, itu bukan sekadar beda merek modem, tapi beda peluang hidup.

Pak Menko juga mendapati bahwa Jepang tidak menyembah AI. Mereka mendidik murid untuk memahami teknologi, bukan ditundukkan olehnya. Kurikulum menekankan kemampuan yang tidak bisa digantikan AI, seperti berpikir kritis, menyelesaikan masalah, dan etika digital. Di sini, kadang anak-anak malah belajar salin jawaban dari chatbot, lalu merasa pintar luar biasa.

Pepatah lama berkata, “Besi diasah jadi tajam, manusia diasah dengan ilmu.” Tapi di era sekarang, besi pun diasah pakai teknologi laser, masa manusia masih diasah pakai penggaris kayu?

Mau tidak mau, suka tidak suka, sekolah kita harus segera upgrade. Bukan cuma ganti LCD projector, tapi ganti pola pikir. Sekolah masa depan bukan tentang gedung mewah atau seragam rapih doang, tapi soal bagaimana anak-anak belajar berpikir sendiri, bukan disuapi soal.

Kita butuh kurikulum yang menantang murid untuk berpikir, bukan membebani guru dengan administrasi. Kita perlu guru yang jadi fasilitator eksplorasi, bukan penjaga absen dan pengisi tabel tak bernyawa. Dan kita juga perlu orang tua yang melek digital, bukan yang menyuruh anak ikut bimbel karena “biar kayak anak tetangga”.

Transformasi pendidikan ke arah Society 5.0 memang butuh waktu, tapi bukan alasan untuk berlama-lama di Society sabar aja dulu. Kesabaran itu mulia, tapi kalau kelewat sabar, nanti muridnya keburu jadi kakek sebelum dapat tablet dari sekolah. Kita harus sadar bahwa teknologi itu bukan tujuan, melainkan kendaraan. Tujuan sejatinya adalah membentuk manusia-manusia merdeka yang bisa berpikir, beretika, dan tidak tergantung pada mesin.

Kalau Jepang sudah memulai Society 5.0 dengan semangat “human-centered society”, maka kita harus mulai dari “reality-centered planning”. Jangan mimpi bikin robot kalau ngetik RPP saja masih tergantung jaringan tetangga. Jangan juga cuma pasang WiFi di sekolah tapi lupa ajarin murid cara berkomunikasi yang sopan di ruang digital.

Dan yang lebih penting, jangan sampai kita jadi negara yang pintar bikin slogan, tapi lupa bikin solusi, jangan sampai anak-anak kita pintar main filter TikTok, tapi gagap saat harus menyaring informasi. Dan jangan sampai teknologi membuat kita makin jauh dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan mencerdaskan algoritma belaka.

Karena bangsa besar bukan hanya yang bisa bikin satelit, tapi juga yang bisa membuat satu kelas belajar dengan bahagia, bermartabat, dan tidak panik saat lupa password. Selamat datang di Society 5.0. Selamat tinggal Society Sabar Aja Dulu asal sabarnya jangan terlalu lama.[***]

Terpopuler

To Top