Sumselterkini.co.id, – Di Alun-alun Jember, bukan cuma angin sore yang semilir, tapi juga cinta-cinta lawas yang mendadak dikemas ulang seperti nasi bungkus rasa rendang wagyu.
Dalam peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 2025, suasana tak ubahnya resepsi massal ala ‘The Return of Manten Anyar’. Bedanya, manten ini sudah punya cucu, bahkan ada yang cucunya sudah lulus skripsi. Tapi jangan salah, meski rambut mereka putih dan pinggangnya mungkin berbunyi “krek-krek” kalau bangun tidur, cintanya tetap hangat kayak teh tubruk diseduh pakai gelas warung.
Gus Ipul, sang Menteri Sosial sekaligus tukang gojlok nasional, menyulut suasana menjadi panggung tawa. Ketika beliau nyeletuk, “Manten-mantenya ketok tuwek kabeh”, para pengantin lansia tertawa geli, dan audiens pun ikut tergelak. Ini bukan sekadar candaan, ini simbol bahwa negara hadir bukan cuma untuk mengurusi yang muda dan lincah, tapi juga yang rambutnya tinggal uban dan dompetnya tinggal kenangan BPJS.
Seperti pepatah Jawa “Wong tuwa kuwi dudu yuyu, mung alon-alon ning mesthi tekan”. Pelan-pelan tapi pasti, negara mulai menyapa mereka yang dulu sempat tertinggal data.
Dengan sidang isbat nikah, para pasangan lansia ini kini tak hanya sah di mata Tuhan dan tetangga, tapi juga sah di data administrasi negara. Surat nikah resmi ini lebih dari selembar kertas, ia adalah tanda cinta yang diakui oleh sistem.
Bayangkan saja, setelah puluhan tahun hidup bersama tanpa surat, tiba-tiba bisa foto bareng pakai pakaian manten, lalu diberi hadiah dan doa oleh pak menteri dan pak bupati. Itu rasanya seperti ikut Reuni Akbar Cinta Volume 2, tapi dengan stempel Dukcapil.
Gus Ipul menyebut, “Kita tak ingin ada lansia tersesat dalam sistem” Lah iya, jangan sampai kakek-nenek ini harus jungkir balik cuma buat cari tahu kenapa mereka belum dapat bantuan.
Kasihan, mereka itu sudah pernah jungkir saat zaman perang harga sembako dan masa tanam padi sistem tugal manual. Kalau masih disuruh jungle tracking lagi di sistem birokrasi, itu namanya negara hanya pinter bikin susah orang sabar.
Sementara itu, Bupati Jember Gus Fawait nambahin manis di nasi tumpeng ini mulai dari berobat gratis sampai renovasi rumah tak layak huni.
Bahkan katanya, dalam lima tahun era Pak Prabowo dan Gus Ipul, Jember bakal bersih dari kawasan kumuh. Semoga bukan cuma bersih di PowerPoint, tapi juga bersih sampai lorong-lorong kampung yang rumahnya numpang pagar tetangga.
HLUN 2025 ini bukan sekadar seremoni, ini bukti bahwa negara bisa jadi romantis, asal niat dan datanya bener. Mulai dari operasi katarak, bantuan kursi roda, sampai isbat nikah semuanya menunjukkan bahwa “menua” bukan berarti “menuai derita”.
Seperti kata pepatah Jawa, “Sepuh ora ateges sepi” Tua itu bukan berarti tersingkir. Kalau dipeluk negara, bisa saja lansia justru jadi guru kehidupan, bukan sekadar penghuni pojokan rumah yang cuma diajak ngobrol pas anaknya butuh pinjam uang.
Dan dalam konteks ini, kita perlu sadar menjadi tua adalah kepastian, tapi menua dengan bahagia adalah pilihan yang harus difasilitasi negara. Tak bisa hanya diserahkan pada doa menantu atau uang saku cucu yang belum kerja. Negara mesti nyengkuyung, karena seperti kata bijak “Tuwane negara iku dudu umur e presiden, tapi carane ngopeni wong tuwa.”
Acara HLUN 2025 di Jember ini jadi contoh bagaimana negara bisa hadir bukan sebagai petugas absensi data, tapi sebagai keluarga besar yang ikut nguri-uri masa tua rakyatnya. Ketika cinta tua disahkan lewat isbat, dan bantuan sosial dibagikan bukan sekadar seremonial, maka harapan untuk menua dengan bahagia itu bukan lagi mimpi.
Kalau kata orang Jawa, “Sepuh iku kudu dieling-eling, dudu dilalekake”. Lansia bukan cuma angka di KTP, atau status ‘tua’ yang disembunyikan di balik kacamata plus atau gigi palsu. Mereka adalah pilar kebijaksanaan dan warisan budaya yang mesti dirangkul dengan hati, bukan cuma sekadar disapa ala kadarnya.
HLUN 2025 di Jember bukan sekadar ajang mantenan resmi untuk pasangan yang ‘ketok tuwek kabeh’, tapi juga simbol cinta dan perhatian negara pada mereka yang telah berjasa membangun negeri ini. Negara harus bisa seperti “mbah kakung sing sabar ngladeni cucu”, selalu siap memberi pelukan hangat dan perlindungan yang nyata.
Kita harus ingat, lansia bukan beban, tapi seperti “pawon sing tetep maringi rasa” meskipun sudah berasap lama. Program sosial lansia dari isbat nikah, operasi katarak, hingga layanan administrasi adalah cara negara memperlihatkan rasa hormat dan terima kasih, supaya mereka bisa menua dengan bahagia, bukan dengan air mata dan gigi ompong yang kesepian.
Kalau sudah begini, jangan heran kalau lansia Jember bisa mantenan dengan gigi ompong sambil cucu ikut OPSEK PT, penuh tawa dan doa restu. Karena pada akhirnya, “urip iku ya urip, menawa wis sepuh kudu tetep sumringah”
Mari pastikan, di setiap sudut tanah air, tidak ada lansia yang merasa tersisih, tapi selalu disapa, didengar, dan dipeluk negara. Karena bangsa besar itu bukan hanya yang punya gedung pencakar langit, tapi bangsa yang memuliakan yang sepuh dengan cinta dan hormat, sampai pelaminan di ujung usia pun terasa seperti pesta besar yang penuh berkah.
Dan mari kita tiru juga semangat manten-mantenan tuwek ini meski sudah pernah jatuh cinta, bukan berarti tak bisa jatuh cinta lagi… pada negara yang akhirnya benar-benar hadir. Ingatlah, “Wong tuwa kuwi kudu dimulyakake, ojo mung disuwekno wektu Pemilu”. Mari kita pastikan mereka tak hanya menua, tapi menua dengan tawa.[***]