Sumselterkini.co.id, – Bayangkan kalau hidup ini seperti main monopoli. Yang punya banyak tanah bisa senyum lebar, yang kena pajak terus bisa ngamuk-ngamuk sambil ngeratapi nasib. Nah, kalau hidup adalah papan permainan, maka buku adalah kartu peluang yang bisa bikin kita loncat tiga langkah lebih maju atau bebas dari penjara kebodohan. Dan lebih dari itu, buku bisa jadi satu-satunya harta yang kalau dibaca nggak bikin lemari makin berat tapi justru otak makin ringan dari ketololan.
Inilah yang kemarin dibahas Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, saat ngopi-ngopi sambil berstrategi dengan dua srikandi dari Guru Bumi, Nathania Tifara Sjarief dan Anita Dyah Ratnaningrum.
Bertempat di Gedung Autograph, Thamrin Nine, Jakarta, belum lama ini, mereka membicarakan hal yang tak kalah genting dari harga cabai bagaimana caranya supaya buku dan board game anak buatan lokal bisa lebih dari sekadar penghuni rak berdebu di toko, tapi menembus pasar global, bahkan kalau bisa, jadi suvenir wajib buat bocah bule pulang dari Bali.
Dan ini bukan sekadar ngimpi di siang bolong. Wamenekraf Irene tegas bilang bahwa buku dan board game itu punya nilai ekonomi tinggi. “Kementerian Ekraf siap bantu aktivasi distribusi buku dan board game dari Guru Bumi, termasuk menjajaki Kids Corner di stasiun dan bandara,” ujarnya sambil mungkin dalam hati berharap setiap delay pesawat bisa dimanfaatkan buat baca buku, bukan cuma scroll TikTok.
Guru Bumi sendiri bukan sembarang penerbit. Mereka ini semacam Avengers-nya dunia literasi anak, mereka bikin buku dan permainan edukatif yang nggak cuma lucu-lucu pop-up-nya, tapi juga padat kandungan lokal dari legenda Nusantara sampai cara ngupas salak dengan tatapan penuh cinta lingkungan. Produk mereka ngajak anak-anak kenalan sama Indonesia lewat cerita dan mainan. Bukan lewat sinetron pukul tujuh yang bikin IQ menurun perlahan.
Di luar negeri, hal semacam ini bukan hal baru. Finlandia, misalnya, punya pepatah “Orang yang membaca hidup seribu kali lebih banyak daripada yang hanya menonton.” Negara itu bahkan kasih buku ke semua bayi baru lahir. Jadi, bukan cuma imunisasi yang penting, tapi juga ‘literasi pertama’ sejak dalam gendongan.
Di Jepang, toko buku bekas seperti Book-Off bisa ramai kayak pasar Senin, karena budaya baca mereka begitu kuat. Sementara di Jerman, anak-anak sekolah bahkan diwajibkan membaca Grimm Brothers bukan buat nambah nilai, tapi buat nambah akhlak.
Jadi kalau kita mau bersaing di pasar global, jangan cuma andalkan minyak goreng dan ekspor nikel. Ekspor dongeng juga penting. Karena siapa tahu, di masa depan, buku tentang kisah Roro Jonggrang dalam bahasa Spanyol bisa jadi bestseller di Peru, dan board game tentang flora-fauna Kalimantan bisa dimainkan bocah Kanada sambil nyemil maple syrup.
Sebagaimana disampaikan Nathania dari Guru Bumi, “Kami berharap Kemenekraf bisa jadi jembatan agar produk kami bisa langsung bertemu dengan pasarnya.” Sebuah harapan yang bukan sekadar puisi, tapi target bisnis beraroma nasionalisme yang mantap.
Langkah seperti membuat Pojok Membaca di Taman Mini juga patut diacungi dua jempol dan satu buku. Kalau bisa, taman-taman kota lain juga punya taman baca, bukan cuma taman buat nongkrong sambil rebahan ngitung bintang pakai kuota darurat.
Kesimpulannya, negeri ini butuh lebih banyak buku di rak dan lebih sedikit hoaks di grup WhatsApp keluarga. Butuh lebih banyak board game edukatif dan lebih sedikit sinetron tokek berjodoh. Karena literasi bukan soal keren-kerenan, tapi soal bertahan hidup di zaman yang makin canggih tapi juga makin penuh tipu-tipu.
Dan terakhir, izinkan kami menutup dengan satu pepatah modifikasi. “Barangsiapa menanam buku, ia akan menuai masa depan. Barangsiapa menanam konten clickbait, ia akan panen kebingungan.”
Mari kita dukung industri kreatif anak-anak negeri. Karena masa depan tak ditentukan oleh seberapa cepat internetmu, tapi seberapa banyak buku yang kamu baca sebelum tidur dan seberapa sering kamu kalah main board game karena terlalu banyak nanya.
Ingat, buku itu gudangnya ilmu, dan board game itu ladang strategi, jangan sampai masa kecil kita hanya penuh lari-lari di gang sempit, tapi masa kecil anak-anak kita penuh makna lewat lembar demi lembar cerita yang bikin bangga jadi Indonesia. Mau kita cetak masa depan yang cemerlang? Mulailah dari satu buku, bisa kan !, atau mau lebih bagus lagi, satu rak, he..he!.[***]