HALO, nama aku Gunting. Iya…. cuma “Gunting”, tidak ada embel-embel nama dibelakang aku, apalagi gelar sarjana, meskipun kerjaan saya setiap hari bikin orang jadi rapi dan teratur. Aku lahir di pabrik sederhana, dibesarkan di toko kelontong, lalu diadopsi oleh keluarga yang katanya “butuh alat serba bisa”. Sejak saat itu, hidup aku penuh drama, dari laci dapur, meja kerja, sampai tas tukang jahit.
Aku ini ibarat teman setia yang selalu hadir saat keadaan genting. Rambut kusut? Panggil aku. Benang kain nyangkut? Aku siap. Amplop cinta mau dibuka? Ehem… aku ahli nya juga. Tapi anehnya, walau jasa aku segunung, aku sering dilupakan. Kalau kata pepatah, “Gunting tajam tak terlihat, kertas tipis pun yang disalahkan”.
Sehari-hari aku tinggal di laci peralatan, bertetangga dengan penggaris yang sok lurus, pulpen yang sering kehabisan tinta, dan cutter yang sok tajam padahal ujungnya tumpul. Di laci itu, aku belajar filosofi hidup kadang kita berada di tempat gelap bukan karena dihukum, tapi karena di situlah kita disimpan supaya tetap berguna.
Tapi jujur saja, kadang aku iri sama sendok garpu. Mereka setiap hari keluar masuk, diajak makan, dicuci bersih, lalu disimpan lagi. Aku?, kalau keluar, pasti buat memotong hal-hal kusut, berat, atau bahkan kotor. Itu pun setelah dicari-cari dengan teriak, “Eh, gunting mana nih?!”. Seolah aku ini makhluk misterius yang suka main petak umpet.
Pernah suatu hari, aku dipakai di salon. Wah, rasanya seperti artis tamu di acara TV. Semua mata tertuju pada aku. “Awas ya, jangan miring potongnya,” kata mbak salon sambil menggenggam aku erat. Aku memotong rambut satu demi satu, seperti petani yang panen padi dengan hati-hati. Tiap potongan rambut jatuh, aku merasa seperti pelukis yang menyelesaikan karya seni.
Tapi lain cerita di dapur, aku pernah dipakai memotong plastik cabai, terus langsung dipakai memotong benang jahit. Bayangkan, dari pedas ke halus, dari dapur ke ruang tamu, tanpa jeda. Kalau manusia, mungkin saya sudah protes “Hei, saya butuh me time!”.
Hidup mengajarkan aku satu hal, tajam itu penting, tapi tahu kapan harus berhenti juga lebih penting. Aku tidak bisa memotong terus-menerus tanpa istirahat. Kalau aku terlalu sering dipakai tanpa diasah, aku tumpul. Sama seperti manusia, kalau terus kerja tanpa rehat, pikirannya kusut, hati jadi tumpul.
Ada juga pepatah yang aku pegang “Gunting yang tajam tidak memotong sembarangan”. Artinya, kalau punya kemampuan, gunakanlah pada tempatnya. Kalau tidak, kita bisa melukai yang seharusnya kita lindungi.
Kalau boleh memberi nasihat untuk manusia, aku ingin bilang hidup itu seperti kertas kusut. Kadang perlu dipotong bagian yang jelek, supaya yang tersisa rapi dan berguna, jangan takut membuang hal-hal yang sudah tidak bermanfaat.
Aku juga ingin bilang, jangan remehkan yang kecil, aku ini kecil, tapi tanpa aku, kalian akan kesulitan. Mau buka kemasan mie instan? Susah, mau potong kain? Berantakan. Jadi, kalau ketemu orang kecil atau alat sederhana, hargai mereka. Siapa tahu, suatu hari, merekalah yang menyelamatkan situasi.
Begitulah hidup aku di laci peralatan. Kadang dipanggil saat darurat, kadang dilupakan berbulan-bulan. Tapi aku tetap sabar. Karena aku tahu, di dunia ini semua punya waktu dan giliran.
Seperti kata pepatah, “Yang kusut bisa diurai, yang berlebih bisa dipotong”. Dan aku, si Gunting, akan selalu siap untuk memotong kekusutan itu, entah di kain, di rambut, atau bahkan di hati yang sedang ruwet.
Jadi, kalau suatu hari kalian membuka laci dan menemukan aku, ingatlah aku bukan sekadar alat. Aku adalah sahabat setia, pemotong kusut, dan saksi bisu dari drama kehidupan manusia.[***]