Sumselterkini.co.id, – Mari kita buka halaman baru dalam buku keteladanan umat manusia dengan satu adegan sederhana namun bermakna, seorang penyuluh agama berdiri di halaman masjid, menggenggam cangkul dengan tangan kanan dan bibit pohon matoa dengan tangan kiri.
Di sekelilingnya, anak-anak madrasah menyemangati sambil ngevlog, “Guys, kita lagi nanem pohon sambil ngaji!” Terdengar azan dzuhur menggema, bersahutan dengan suara burung yang mungkin ikut mengamini.
Beginilah wajah baru dakwah zaman now. Di tangan Kementerian Agama, dakwah bukan cuma soal nasihat tentang dunia dan akhirat, tapi juga tentang plastik, gas rumah kaca, dan pohon matoa. Inilah ekoteologi sebuah konsep yang menyatukan iman dan alam, tauhid dan tanah, khutbah dan kompos.
Dulu, khutbah Jumat isinya soal menabung pahala dan menghindari riba. Sekarang? Ditambah pesan supaya jangan buang sampah sembarangan dan biasakan bawa tumbler.
Ustaz-ustaz pun mulai paham kalau berdakwah di mimbar harus seimbang, antara menyebut nama Allah dan mengingatkan pentingnya memilah sampah organik dan anorganik. Karena sekarang, membawa botol plastik bekas ke masjid bisa jadi amal jariyah juga.
Lewat gerakan Ekoteologi, Kemenag bukan cuma kasih wacana, tapi langsung eksekusi nyata. Menjelang Hari Bumi 22 April 2025, dicanangkanlah Gerakan Penanaman 1 Juta Pohon Matoa.
Ini bukan sekadar gerakan tempel stiker di kantor KUA, tapi ajakan menanam harapan, secara harfiah. Bahkan Menteri Agama, Nasaruddin Umar, sempat bilang “Kita ingin rumah ibadah bukan hanya jadi tempat bertemu Tuhan, tapi juga tempat bumi beristirahat sejenak dari derita polusi.”
Masjid kini didorong jadi eco masjid, artinya bukan cuma tempat wudhu dan dzikir, tapi juga tempat belajar mengelola sampah, panen air hujan, dan pasang panel surya.
Khotbah Jumat disusupi ayat-ayat lingkungan, majelis taklim dilengkapi demo bikin kompos, dan pengajian ibu-ibu diisi tips tanam kangkung pakai ember bekas.
Jadi jangan heran kalau suatu hari nanti, imam masjid juga bisa cerita tentang daur ulang, atau takmir masjid nyetok sapu lidi dari daun kelapa bukan sekadar buat bersih-bersih, tapi sebagai simbol hijrah dari plastik.
Bahkan Subdit Kemasjidan punya ide jenius masjid yang punya lahan terbuka diminta menanam tanaman. Kalau biasanya halaman masjid cuma buat parkir sepeda motor, sekarang bisa juga ditanami pohon kelor atau matoa. Lumayan, sambil ngaji bisa nyemil buah sendiri. Syukur-syukur kalau nanti bikin jus matoa berjamaah.
KUA juga nggak mau ketinggalan. Dulu tempat ini dikenal sebagai “loket sah”-nya hubungan halal. Tapi sekarang, fungsinya bertambah jadi pusat ekologi cinta. Program KUA Hijau mencakup penanaman pohon dalam setiap proses bimbingan pranikah.
Bayangkan, sebelum akad, pasangan diminta tanam pohon dulu. Simbol bahwa cinta bukan hanya untuk dua insan, tapi juga untuk planet yang jadi saksi.
Bimbingan pranikah pun disulap jadi kuliah singkat ekologi. Para calon pengantin diberi pemahaman bahwa rumah tangga yang sakinah harus juga greenah. Jangan sampai cinta mereka langgeng, tapi bumi mereka jadi gersang karena beli AC dan kulkas tiap gajian.
Wakaf pun mengalami revolusi spiritual. Bukan cuma tanah buat kuburan atau bangun masjid, sekarang bisa juga wakaf hutan, wakaf sumur, bahkan wakaf kopi!.
Iya, kopi. Bayangkan, minum kopi dari pohon yang ditanam karena niat ibadah. Pahala ngalir, jantung berdegup, dan bumi pun berterima kasih.
Ada juga Kampung Zakat yang menggabungkan program pemberdayaan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Di NTT, wakaf sumur membantu warga lintas agama mendapatkan air bersih. Ini bukan cuma bukti bahwa bumi milik bersama, tapi juga bahwa air bisa jadi perantara ukhuwah. Pluralisme by pompa air, istilah barunya.
Gerakan 1 Juta Pohon Matoa ini bukan euforia sesaat. Kemenag bahkan pakai sistem geotagging dan peta digital buat pantau pertumbuhan pohon. Jadi kalau kamu asal tanam terus ditinggal, siap-siap ditelepon penyuluh agama. “Assalamualaikum, itu pohon matoanya kok kayak galau, Mas? Disiram dong!”
Artinya, keberhasilan gerakan ini bukan cuma soal angka, tapi dampaknya ke jiwa dan lingkungan. Pohon-pohon yang ditanam akan dipantau kayak anak sendiri. Kalau tumbuh rimbun, kita semua senyum. Kalau layu, kita evaluasi, bukan langsung saling salahkan. Inilah dakwah model baru pakai GPS dan cinta alam.
Bumi ini bukan tempat buang dosa semata. Ia adalah makhluk yang sabar, yang menampung jejak langkah manusia baik yang khusyuk di sajadah, maupun yang buang bungkus mie instan ke selokan, bahkan buang sampah seenaknya di jalan umum kalau belum ada yang mondar mandir. Oleh sebab itu kalau kita mengaku cinta Tuhan, cintailah juga ciptaan-Nya yang satu ini bumi.
Karena bisa jadi, di akhirat kelak, pohon-pohon matoa itu akan jadi saksi dan mungkin, lewat pohon itu, pintu surga terbuka lebar. Jadi mari kita tanam, yakni Tanam iman, tanam cinta, dan tanam pohon.
Karena siapa tahu, di bawah rindangnya kelak, akan ada anak-anak mengaji sambil ngudap buahnya. Dan mereka akan bertanya, “Siapa yang nanam ini, Pak Ustaz?”
Lalu ustaz itu akan menjawab sambil senyum,“Itu, generasi sebelum kita. Yang sadar kalau menjaga bumi adalah ibadah terbaik.”
Bahkan bumi ini titipan, bukan warisan. “Kita punya tanggung jawab spiritual untuk menjaganya. Dengan masjid, KUA, dan wakaf, kita menanam bukan hanya pohon, tapi harapan,” pesan Direktorat Jenderal Bimas Islam. Dirjen Bimas Islam, Abu Rokhmad mengutip laman resmi kemenag. [***]
