HAI, namaku Sterika Philipsiana, tapi di rumah ini aku lebih sering dipanggil gosokan. Iya, gosokan, nama yang kalau didengar tetangga, kesannya kayak alat penyiksaan zaman kolonial. Padahal aku cuma alat rumah tangga yang hidupnya penuh tekanan literally dan emosional.
Sehari-hari tugasku sederhana melicinkan yang kusut, merapikan yang berantakan, dan bikin pemakainya terlihat lebih berwibawa. Tapi tahu gak, jadi sterika itu gak semudah kelihatannya. Aku ini sering jadi pahlawan tanpa tanda jasa, tapi sering pula dijadikan kambing hitam.
Kalau baju gosong dikit, yang disalahin siapa? Aku!
Padahal yang ninggalin aku nyala sambil ngelamun scrolling TikTok siapa? Ya, si manusia itu juga!
Begitulah nasibku disalahin karena bekerja terlalu keras, dicuekin kalau udah dingin.
Setiap hari aku standby di meja gosokan panggung kehidupanku, dari situ aku melihat drama rumah tangga yang lebih seru dari sinetron jam tujuh malam.
Ada ibu rumah tangga yang gosok sambil curhat, bapak yang nyuruh gosok kemeja mendadak padahal udah mau berangkat, sampai anak kos yang baru sadar bajunya lecek lima menit sebelum wawancara kerja.
Kadang aku pengin protes, “woy! Aku ini bukan Doraemon yang bisa nyelesaiin semua masalah dalam satu menit, loh!”
Tapi ya mana bisa aku ngomong, kan. Aku cuma bisa ngedesah panas, sambil ngeluarin uap bahasa tubuhku buat bilang, “Aku capek, Bos!”
Aku punya sahabat sejati, namanya Kabel, dia tuh kayak tali silaturahmi antara aku dan listrik PLN.
Kami selalu bareng, gak pernah pisah, tapi sering banget dia dijambak, digulung paksa, atau dijepit di bawah kaki meja.
Kadang aku kasihan, tapi mau gimana lagi, kami berdua memang diciptakan untuk menyambung kehidupan, meski kadang disakiti.
Pernah suatu kali, si pemilik rumah lagi buru-buru, dia narik Kabel terlalu kencang sampai si Kabel menjerit dalam diam. Lalu aku ikut jatuh dari meja gosokan, bruk!
Kaca mataku pecah (ya itu kaca depan aku), dan sejak saat itu aku gosong sedikit di sisi kanan. Tapi lucunya, besoknya dia bilang, “Wah, setrikaku ini udah gak panas kayak dulu ya…” Lah, gimana mau panas, hatiku aja udah remuk.
Aku selalu berharap bisa sedikit dihargai. Aku gak minta disayang kayak kucing peliharaan, cukup disimpan di tempat yang layak aja udah bahagia. Tapi kenyataannya? Aku sering dilempar ke pojokan, di antara sapu, ember, dan kain pel. Hidupku penuh debu, padahal tugasku membuat kain jadi bersih.
Ada pepatah bilang, “Besi diasah makin tajam”, tapi aku bukan besi yang diasah, aku besi yang dipanasin, kalau kelamaan, bukan tambah tajam, malah gosong!
Aku punya dua musuh bebuyutan di dunia ini, pertama, baju jersey bola, bahannya tipis, ego-nya tinggi. Sekali salah atur suhu, langsung meleleh kayak hati mantan liat kamu nikah sama orang lain. Kedua, celana jeans. Astaga, yang ini kerasnya bukan main.
Sekuat apapun aku tekan, dia masih aja keras kepala. Kayak manusia yang udah dibilangin “jangan balikan”, tapi masih ngotot balik lagi ke mantan.
Kadang aku pengin bilang, “Kalau semua bahan punya karakter berbeda, kenapa manusia gak belajar dari situ?, jangan asal nyetrika semua pakai suhu yang sama. Sama kayak hubungan, tiap orang punya titik panasnya sendiri!”.
Filosofi hidup
Malam minggu lalu, aku dibangunin tengah malam, pemilikku baru inget besok ada kondangan. Aku baru mau istirahat, eh… malah disuruh kerja lembur.Dia nyetrika sambil ngantuk, aku kerja keras, lalu tiba-tiba dia teriak. “Waaah bajunya gosong!”. Lantas dengan entengnya dia nyalahin aku. Aku? Cuma bisa diam. Kadang diam memang pilihan terbaik, apalagi kalau panasnya udah sampai ubun-ubun.
Kalau dipikir-pikir, hidup ini mirip banget sama proses nyetrika, biar rapi, kadang kita harus lewat tekanan dan panas dulu.
Kalau gak, ya tetap lecek aja, gak semua panas itu buruk, kadang justru di situlah kita dibentuk jadi lebih baik.
Pepatah bilang, “Kalau mau jadi kain terbaik, siap-siap dilipat dan disetrika”, begitu juga manusia, kalau mau hidupnya mulus, jangan takut ditekan sedikit oleh masalah.
Aku cuma sterika, tapi aku punya filosofi hidup sendiri antara lain jangan nyalahin panas kalau kamu sendiri yang nyalain aku.
Kadang masalah datang bukan karena orang lain, tapi karena kita yang nyalain tombolnya sendiri, yang kusut itu bukan cuma baju, tapi juga hati.
Tapi bedanya, kalau baju bisa dilicinkan pakai aku, hati butuh maaf dan kopi dan selalu atur suhu sesuai kebutuhan, maksudnya
gak semua masalah bisa diselesaikan dengan tekanan yang sama, kadang butuh kelembutan, bukan panas.
Sekarang aku masih di meja gosokan, standby kayak jomblo yang standby di depan chat gebetan tapi gak dibales. Aku tetap setia menunggu, meski kadang dicuekin berhari-hari, karena aku tahu, suatu hari nanti, ketika baju mereka kembali kusut, mereka akan mencariku lagi.
Dan ketika itu tiba, aku akan bilang dalam diam, “yuk, kita rapikan lagi yang kusut… tapi tolong jangan ninggalin aku nyala, ya”
Oleh sebab itu, hidup, seperti baju kusut, butuh proses buat jadi rapi, tapi ingat, jangan sampai kebakar cuma karena pengin tampil licin.
Karena dalam hidup ini, yang penting bukan siapa yang paling panas, tapi siapa yang bisa tetap adem meski lagi di bawah tekanan.[***]