Inspirasi

“Bumi Nggak Butuh Pidato, Bumi Butuh Perbuatan [Tapi Kita Masih Sibuk Cari Mikrofon!]”

ist

HARI ini bumi mungkin sedang tersenyum kecut, bumi pura-pura bahagia, padahal di dalam hati sudah pengin nangis lihat manusia yang sibuk pidato soal lingkungan, tapi abis acara “malah ninggalin gelas plastik di bawah kursi”.

Meskipun setiap tahunnya, Hari Lingkungan Hidup dirayakan megah, panggung besar, spanduk hijau bertuliskan “Stop Polusi Plastik”, deretan pejabat berjas rapi, dan sambutan yang menggugah. Tapi kalau bumi bisa bicara, mungkin ia cuma bilang, “Sudah, Nak. Aku kenyang dengar janji”.

Pepatah lama bilang, air beriak tanda tak dalam, dan kadang, yang paling ramai suaranya, justru yang paling minim tindakannya.

Kita sering semangat di atas panggung, tapi begitu lampu mati dan tepuk tangan reda, semangat itu ikut padam. Pemerintah pusat bikin program “Hijaukan Negeri”, pemerintah daerah gelar lomba kebersihan, tapi di lapangan, plastik masih beterbangan kayak bendera kemenangan kebiasaan buruk.

Bumi itu seperti ibu kos yang sabarnya luar biasa. Tiap minggu sudah ngingetin, “Tolong jaga kebersihan kamar, Nak”. Tapi tetap aja, penghuni kos buang sampah di dapur dan pura-pura nggak tahu.

Kita sudah punya banyak program, tapi terlalu sering berhenti di launching. Ada grand opening, tapi grand action-nya entah ke mana. Padahal, bumi tidak menagih seremoni  bumi menagih tanggung jawab.

Biar adil, mari tengok daerah dan negara yang benar-benar serius menjaga bumi,  Surabaya, contohnya, sudah bertahun-tahun menukar sampah plastik dengan tiket bus. Warganya bangga datang ke halte sambil bawa botol bekas.

Begitu pula Bali, berani melarang total plastik sekali pakai sejak 2019. Pantai makin bersih, turis makin senang, dan pedagang mulai kreatif bikin kemasan ramah lingkungan.

Terus kita ambil contoh nun jauh disana..Kigali, ibu kota Negara Rwanda, bahkan dijuluki kota terbersih di Afrika karena mereka gotong royong bersih-bersih massal tiap bulan.

Ada juga Seoul punya sistem daur ulang superdisiplin, salah buang sampah bisa kena denda. Tapi hasilnya, udara bersih, sungai bersinar, warganya sadar.

Mereka bukan cuma pandai bikin poster, tapi benar-benar membiasakan hidup ramah lingkungan. Mereka membuktikan bahwa perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil bukan dari naskah sambutan yang disiapkan staf protokol.

Sumsel Bisa, Asal Mau

Sumatera Selatan punya potensi luar biasa. Alamnya kaya, warganya tangguh, dan komunitas pecinta lingkungannya aktif. Tapi semua itu butuh keberanian politik dan keteladanan nyata.

Kalau kepala daerah bisa mulai dari hal sederhana, misalnya menolak penggunaan botol plastik di setiap rapat, atau mengganti suvenir acara dengan bibit pohon, pesan itu akan jauh lebih kuat daripada seribu spanduk “Go Green”.

Masyarakat juga perlu diajak dengan pendekatan yang kreatif, bukan cuma disuruh. Edukasi lingkungan bisa dikemas lewat budaya lokal, lomba lucu, atau konten digital yang membumi. Karena menjaga alam itu bukan gaya hidup baru, tapi warisan lama yang kita lupa jalankan.

Bahkan bumi bukan selebritas yang haus pujian. Ia tak butuh tepuk tangan di akhir pidato, apalagi spanduk bertuliskan “Kita Peduli Lingkungan” yang ujung-ujungnya jadi sampah baru.

Yang bumi butuh hanyalah tindakan nyata dari tangan-tangan yang mau kotor untuk membersihkan, kaki-kaki yang rela melangkah tanpa disorot kamera.

Oleh sebab itu, jadi peringatan Hari Lingkungan Hidup seharusnya bukan soal siapa yang paling lantang bicara, tapi siapa yang paling konsisten menjaga. Karena sejatinya, bumi tidak menagih laporan kegiatan, melainkan bukti kehidupan.

Jadi sebelum kita sibuk bikin tema peringatan tahun depan, coba tanya diri sendiri. Apakah bumi hari ini sedikit lebih lega karena kita, atau justru makin sesak karena ulah kita?

Mari kita kurangi kata-kata, tambahkan kerja nyata.
Kalau terus menunda, jangan salahkan bumi nanti kalau ia benar-benar “menyisihkan” manusia dari daftar penyewanya.
Sebab bumi bukan butuh penghuni yang cerewet, tapi yang tahu diri.[***]

Terpopuler

To Top