Sumselterkini.co.id, – Belum lama ini, saya membaca dan melihat peta dalam rilis resmi pengembangan ekonomi kreatif (ekraf) di Indonesia dari situs resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Indonesia memang luas ‘Dari Sabang Sampai Merauke’. Di situ terang-benderang terlihat kota-kota dan provinsi yang masuk dalam radar pengembangan ekraf nasional.
Mulai dari Aceh, Riau, Sumatera Barat, [perwaklan Andalas] melenggang di ujung barat, sampai ke Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, dan tentu saja Bali. Bahkan seluruh kota di Pulau Jawa tampak menyala dalam warna oranye tanda mereka masuk sebagai wilayah pengembangan unggulan ekraf.
Eits…tunggu dulu, Palembang mana? Sumatera Selatan mana? Saya gosok-gosok layar peta, berharap warnanya muncul. Saya zoom in, zoom out, siapa tahu cuma belum loading. Tapi nihil. Memang Sumsel tak tampak di sana. Tidak ada nyala oranye. Seolah-olah kita ini, seperti lauk pauk di acara kawinan ada sih, tapi nggak disebutkan dalam daftar menu utama.
Padahal, beberapa tahun belakangan ini, kita lumayan sering mendengar kata-kata seperti “ekonomi kreatif”, “digitalisasi UMKM”, “branding kota”, hingga “transformasi kreatif berbasis aplikasi lokal”. Pemimpin-pemimpin daerah kita juga sudah rajin melempar istilah-istilah itu dalam forum resmi, spanduk kegiatan, sampai jadi bahan status di media sosial. Tapi, jika akhirnya Palembang dan Sumsel tidak masuk radar pengembangan nasional ekraf, maka izinkan saya bertanya dengan lembut, tapi dalam siapa yang salah? Apakah kementerian yang luput memetakan, ataukah kita yang hanya pandai membalut ide dengan kemasan, tapi lupa memasak isinya?
Ekraf itu bukan sekadar ngomongin aplikasi atau bikin platform digital yang keren-keren. Bukan juga sekadar bikin video promosi atau seminar bertajuk “inovasi dan kolaborasi” yang akhirnya hanya jadi koleksi foto di Instagram pejabat. Ekraf itu butuh keberlanjutan. Butuh komunitas yang tumbuh, pelaku usaha yang hidup, dan sistem yang mendukung dari hulu ke hilir.
Kalau hanya berhenti di peluncuran aplikasi tapi tak ada pengguna, atau bikin galeri digital yang tak dikunjungi, itu seperti bikin kafe di tengah hutan tanpa jalan masuk. Kreatif di permukaan, tapi tak menjawab kebutuhan dasar pelaku usaha lokal. Maka tak heran, jika kementerian belum melirik. Mungkin mereka menilai, kita baru bermain di tataran jargon, belum sampai ke laku nyata yang berdampak ekonomi.
Tengok Sumatera Barat, mereka kuat dengan kriya dan fesyennya, ditopang komunitas kreatif yang hidup dan festival tahunan yang konsisten. Riau punya gerakan budaya digital yang serius. Aceh mulai menjadi episentrum konten kreatif berbasis kearifan lokal. Mereka tak hanya hadir di seminar, tapi aktif menjemput bola, menggerakkan komunitas akar rumput, dan membangun komunikasi dua arah dengan kementerian.
Sumsel-Palembang? Kita sering bicara branding budaya, memunculkan jargon ‘Kota Pempek Mendunia’, tapi produk kreatifnya belum benar-benar dijadikan pengungkit ekonomi daerah. Padahal, potensi kita segunung. Pempek, kain jumputan, songket, seni tari, cerita rakyat, sejarah Sriwijaya, Dulmuluk, ini bukan bahan baku biasa. Ini bahan dasar emas. Tapi kalau dibiarkan jadi bahan mentah tanpa desain ulang, ya… tetap jadi barang pasar yang biasa-biasa saja.
Sudahlah, jangan cuma jadi Ibu Kota yang ganteng di luar, tapi kelamaan duduk nganggur. Kita punya Jakabaring Sport City (JSC) yang sudah canggih dan lengkap. Kenapa nggak manfaatkan ini untuk jadi ajang event ekonomi kreatif? Bayangkan, kalau kita gelar festival kuliner di sana, dan tiap sudutnya punya tema unik, dari pempek sampai durian. Atau lebih kocak lagi, bikin food walk yang seluruhnya berkonsep kuliner unik sambil jalan-jalan keliling stadion. Tak hanya warga lokal, wisatawan juga pasti penasaran.
Dan, jangan lupa dengan monorel Palembang yang mulai jadi kebanggaan kita. Kenapa nggak jadikan itu sebagai sarana untuk event yang super kreatif? Kalau bisa bikin bioskop berjalan di atas monorel, kenapa nggak? Bayangkan, sambil naik monorel, kita bisa nonton film lokal tentang sejarah Sriwijaya, atau tentang sejarah kuliner Palembang. Bisa juga dijadikan tour keliling tempat-tempat ikonik Palembang yang menawarkan cerita unik setiap stasiunnya. Kuliner berjalan? Pasti seru banget!
Punya potensi luar biasa
Palembang punya potensi yang luar biasa untuk menjadi pusat kreatif, tinggal bagaimana kita menggabungkan potensi itu dengan sinergi sektor ekonomi kreatif. Jangan cuma andalkan aplikasi atau media sosial yang ujung-ujungnya malah bikin kita sibuk update status daripada bergerak nyata. Buatlah Palembang yang lebih hidup, lebih kreatif, dan bisa dilihat oleh kementerian ekraf.
Jogja konsisten dengan pameran dan event berkala. Bandung punya ekosistem startup dan inkubasi bisnis yang konkret. Bali tak perlu penjelasin semua orang Indonesia tahu, bahkan Bali tershor diseluruh dunia, karena dari seni lukis hingga industri wedding, semua digarap serius. Dan mereka semua, tak melulu bicara digitalisasi, tapi membuktikan lewat hasil.
Sumsel harus belajar dari mereka. Kita bukan kekurangan potensi, kita hanya belum punya konsistensi dan strategi komunikasi yang matang dengan pusat. Kalau pemimpin daerah hanya berhenti di peluncuran aplikasi dan spanduk pelatihan, maka jangan harap kita bisa masuk peta kementerian. Sebab Kemenparekraf pun sekarang bukan cuma mencari ide yang cemerlang, tapi gerakan yang berkelanjutan.
Ekonomi kreatif bukan ajang main kata-kata canggih. Ia adalah kerja kolaboratif, antara pelaku industri, pemerintah, akademisi, perbankan, komunitas, hingga media. Atau seperti yang disebut Wamenekraf Irene Umar, pendekatannya adalah hexahelix. Dan kalau memang kita ingin dilibatkan, maka tak cukup dengan menyebutkan kata “ekraf” dalam setiap pidato. Harus ada kemauan politik, dukungan anggaran, penguatan ekosistem, dan keterlibatan komunitas.
Maaf kalau agak getir, tapi ini penting jangan-jangan, para pengambil kebijakan kita terlalu asyik membangun branding digital, tanpa membangun koneksi strategis dengan kementerian terkait. Jangan-jangan kita terlalu sering menggelar pelatihan-pelatihan yang berujung pada foto bersama, tapi tidak berlanjut jadi gerakan industri. Mungkin kita masih sibuk blusukan, kampanye, atau setelah dilantik, sudah langsung retret seminggu penuh di Magelang sama Presiden Prabowo, ya?, gak nyadar sudah jadi tokoh utama di Palembang dan Sumsel ?
Mari kita refleksi diri, jangan sampai kita tetap jadi penonton dalam perkembangan ekraf, sementara daerah lain sudah lari jauh di depan. Kalau kita serius ingin Sumsel masuk peta ekraf, mari bangun ekosistem yang nyata.
Kita punya Jakabaring Sport City, kita punya monorel dan yang pasti, kita punya kreativitas yang belum maksimal digali, kita punya SDM kreatif yang tersebunyi dan mulai diajak kerja bareng serta diberikan kesempatan untuk berkreasikan ide gagasannya. Bahkan, kita lupa Palembang masih punya ikon-ikon besar, seperti BKB (Benteng Kuto Besak), Jembatan Ampera yang melintasi Sungai Musi, serta potensi kuliner yang sayang banget kalau nggak dieksplorasi untuk event kreatif yang menarik. Jangan sampai, tahun depan, kita tetap terjebak di status quo yang basi.
Seperti kata alm. Idrus Tintin, budayawan Riau “Kreativitas itu bukan tentang tampil beda, tapi tentang memberi makna.” Mari maknai potensi Sumsel dengan kerja nyata. Semoga tahun depan, Sumsel tak lagi absen di peta. Tapi jadi warna terang yang memancar, bukan cuma penonton yang menatap.
Akhir kata mari kita simak nih, petuah Steve Jobs, pendiri Apple, yang berkata “Inovasi membedakan antara pemimpin dan pengikut,”. maksudnya jika kita mau jadi pemimpin dalam pengembangan ekraf, mari kita tunjukkan inovasi nyata, bukan sekadar berbicara soal “digitalisasi” atau “branding” yang cuma jadi jargon semata. Jadi, ayo bergerak cepat! Jangan sampai kita jadi wilayah yang cerdas di depan monitor, tapi bodoh dalam bergerak nyata di lapangan.
Biar tidak salah langkah, mari kita simak dan renungkan pepatah lokal Sumsel [coba cari ..di mbah google atau referensi lain,…he!] begini bunyinya “Lebih baik jadi ikan paus di lautan lepas, daripada jadi ikan lele di bak mandi sendiri.”
Artinya, jangan takut untuk jadi besar dan mendunia, meski kita mulai dari Palembang atau Sumsel. Langkah pertama kita sudah punya, namun jangan terus terjebak di kamar kecil, mari keluar dan buat dampak besar, agar Sumsel dan Palembang jadi ikon ekonomi kreatif Indonesia seperti provinsi lain yang ada dalam peta di atas atau bila perlu jadi nomor satunya seperti mesin pencariaan google mencatat!. [****]