Sumselterkini.co.id – Saya lagi santai dan iseng-iseng membuka portal milik Kementerian Ekonomi Kreatif [Ekraf] dan membaca rilis soal kunjungan Menteri Ekonomi Kreatif ke Bali, Bali memang lagi-lagi bikin kita melongo, bukan karena sunset-nya, bukan juga karena bule-bule berjemur pakai sarung, tapi karena mereka bisa menyulap museum jadi magnet ekonomi kreatif. Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya sendiri juga mengaku kagum Museum SAKA di Ayana Estate, Jimbaran itu katanya contoh ciamik bagaimana seni, arsitektur berkelanjutan, dan teknologi bisa kawin sah dalam satu ekosistem ekonomi kreatif.
Dibenak saya sembari menyimak portal itu juga bercerita, oh Bali..oh Bali, Pulau dewata yang tiap tahun makin bersinar, bukan karena kilau pasir pantainya saja, tapi juga karena ide-ide kreatif yang bisa bikin kita di Palembang ngelus dada lihat potensi daerah di Palembang nganggur.
Membaca soal Bali, memang tak bisa dipungkiri karena Pendapatan Asli Daerah/PAD berasal dari pariwisata, apalagi obyeknya cakep, konsepnya semua obyke mantep, dan isinya bikin mata yang pernah ke Bali bikin melek serta dompet wisatawan kebuka. Menteri bilang, bahkan Museum SAKA ini contoh ciamik bagaimana seni, arsitektur berkelanjutan, dan teknologi bisa kawin sah tanpa perlu KUA, demi memperkuat ekosistem ekonomi kreatif.
Sambil ngunyah kerupuk kemplang, hati saya bilang, kamu tuh nggak cuma unggul di sunset dan bule berjemur pakai sarung Bali, tapi juga unggul di soal ide. Di Palembang? [Maaf] Lah, kita masih galau berat dengan pertanyaan abadi “Musi ini mau diapain, dalam hati?”.
Museum SAKA ini memang bukan museum kaleng-kaleng. Lihat dari fotonya saja, auranya kayak restoran fine dining buat pecinta budaya, di dalamnya ada lukisan gaya Kamasan, ogoh-ogoh, gamelan tua, dan instalasi spiritual yang katanya bisa nyambung ke semesta bahkan angin di sana kayaknya beraroma lavender, bukan angin kipas angin seperti di rumah warga.
Menteri pun tampak bahagia, beliau memuji ini sebagai kolaborasi lintas sektor yang solid, saya yang di Palembang langsung merasakan panas dingin level sauna ekonomi kreatif. Lah, kita modalnya banyak, tapi kok kayak lemari tua berdebu dan nggak dibuka-buka?.
Coba kita hitung isi lemari kita he..he.. ada Sungai Musi? Ada! Panjang, bersejarah, bahkan sudah viral sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, jembatan Ampera? Ada! Ikonik, bisa jadi latar foto prewed kalau tak kehujanan. Ada pula Benteng Kuto Besak? ada! Lebih tua dari akun TikTok siapa pun, Pulo Kemaro? ada! Kisah cintanya bisa bikin sinetron Indosiar minder.
Terus Jakabaring Sport City? disitu ada cerita juga! kalau mau bicara kreatif, monorel pun ada…mundar -mandir dari Jakabaring ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin [SMB] II. Kilang Sei Gerong & Plaju? Ada! umurnya dah cukup udzur peninggalan Stanvac Beland, jika dipoles, wah luar biasa, bisa jadi wisata industri kayak di Manchester zaman now dan Pempek, tekwan, model, laksan, cuko? Wah, ini sih senjata pemikat internasional, bikin lidah turis salto-salto kegirangan.
Kita punya segalanya. Tapi, kenapa belum punya Museum SAKA-nya sendiri?. Mungkin karena kita terlalu sibuk debat, “Pempek itu digoreng atau direbus?”, sampai lupa bikin pameran sejarah pempek. Tengok Vietnam udah bikin Sungai Mekong jadi jalur wisata, edukasi, dan ekonomi. Apalagi Turki?. Jangan tanya, mereka bikin Selat Bosphorus kayak panggung fashion week turis naik kapal sambil makan malam, nonton tari sufi, dan selfie estetik. Lah kita? Speedboat isinya orang buru-buru mudik, klotok buat ke pasar Ilir beli bawang merah.
Cultural Urban Kreatif Orkestra
Coba bayangkan kalau Palembang bikin Museum CUKO, apa itu ? singkatan dari Cultural Urban Kreatif Orkestra itu maksudnya.. Isinya bukan cuma cuko, tapi juga paduan seni, kuliner, sejarah, musik, teknologi, dan interaksi publik. Tiket murah meriah, view Musi-nya bonus, dan ada klotok tur edukasi yang ceritanya bukan ngelantur tapi naratif. Pemandunya? Lucu, cerdas, dan bisa stand-up comedy sejarah!.
Bisa dibayangkan misalnya malam minggu, Sungai Musi dijadikan panggung akustik terapung, siangnya, naik monorel yang sudah dihidupkan kembali sambil menyusuri mural sejarah Sriwijaya, dan bisa lanjut main-main ke Pertamina Sei-Gerong – Plaju lihat bangunan Pabrik minyak yang dibangun sebelum nama Pertamina, Stanvac. bisa saja kerjasama dengan Pertamina membangun museum industri kolonial. Mahasiswa arsitektur bisa belajar, seniman bisa pamer karya, pemandu tur bisa upgrade karier.
Masih kurang? jangan dilupakan juga Kampung Arab Al-Munawar, Kampung Kapitan, Pasar Kuto, Pasar Cinde, semua disulap jadi zona seni dan festival kuliner malam. Jangan tunggu 17-an baru ramai, bikin acara tiap minggu juga boleh asal gak bikin macet di jalan Sudirman.
Lalu kenapa belum kejadian juga?, karena kita sering kejebak mentalitas proyek instan. Maunya cepat, hasilnya wow, tapi perencanaannya kayak ngaduk kopi tanpa gula hambar. Padahal Bali dan Vietnam bisa karena satu kata ajaib konsistensi. Mereka nggak malu ngajak komunitas, seniman, pelaku UMKM, pebisnis, pemerintah, sampe emak-emak pengajian buat duduk bareng bukan buat ngerumpi, tapi bikin rencana kreatif bersama.
Coba bayangkan festival tahunan bisa digelar di Jakabaring, misalnya lomba film pendek sejarah Palembang, fashion show songket kontemporer, lomba kreasi pempek kekinian (ada topping keju atau matcha) dan startup expo berbasis budaya lokal. Dan monorel? kenapa nggak sekalian dijadiin “Museum Bergerak Palembang”, kayak tram wisata di Lisbon yang viral di TikTok?
Gimana caranya? Nih bisa coba resep ini, kolaborasi real, bukan basa-basi, libatkan komunitas sampai warga lorong, terus konten lokal, kemasan global, ogoh-ogoh bisa viral, masa ogan-oganan ngumpet?. Optimalkan moda, Sungai, rel, jalan, dan dunia maya. Semua jalur bisa jadi panggung dan warga bukan cuma penonton, ajak mereka jadi pemain utama, jangan cuma tukang sapu pas acara bubar.
Museum SAKA itu bukan sekadar tempat selfie dengan lighting syahdu. Dia adalah simbol kolaborasi melawan ego sektoral, simbol konsistensi lawan proyek musiman, simbol bahwa budaya lokal bisa mendunia, asal disajikan bukan cuma dengan proposal, tapi juga dengan cinta.
Kalau Bali bisa punya Museum SAKA, Palembang harus berani punya Museum CUKO, yang isinya bukan cuma artefak, tapi juga semangat baru bikin kota ini hidup, lucu, kreatif, dan berdampak.“Sungai nggak pernah bingung mau ke mana, karena dia percaya, selama dia jujur sama mata airnya, dia pasti sampai ke laut”. Palembang juga harus gitu. Nggak usah jadi Bali. Cukup jadi Palembang versi terbaik, yang gak malu berpikir out of the cuko, eh… out of the box.
Palembang bukan kota miskin ide, tapi kota yang ide-idenya masih diendapkan kayak adonan pempek. Potensi kita udah meledak dari zaman nenek moyang, tapi kita harus nyalakan lagi semangatnya. Kunjungan Menparekraf ke Museum SAKA harus jadi sirene kreatif buat kita semua jangan cuma tepuk tangan, ayo mulai bertindak. Ibarat punya lemari emas, tapi masih sibuk nyari kunci.
Nah, Museum CUKO bisa jadi kunci itu kunci buat buka era baru ekonomi kreatif Palembang. Kalau Bali bisa, kenapa kita harus ragu?, karena seperti kata pepatah baru zaman now “Yang bikin harum bukan cuma pempek, tapi cara kita ngulek masa depan pakai ulekan gotong royong!”.
Museum CUKO bukan soal bangunan, tapi soal keberanian, berani berpikir beda, berani bilang “cukup sudah acara-acara yang cuma potong pita dan tepuk tangan sambil ngunyah lemper”. Ini waktunya kita pindah haluan dari seremoni ke aksi nyata, dari “kapan-kapan” ke “sekarang atau nggak sama sekali”.
Museum CUKO bukan impian semalam, Ini mimpi berjamaah yang harus ditiduri bareng-bareng biar bangun pun bareng-bareng. Kita butuh lebih dari sekadar dana APBD atau CSR, kita butuh semangat gotong royong digital dan analog, dari pegiat seni sampe tukang klotok.
Jangan lagi kita bangga cuma karena viral di TikTok karena pempek setengah meter, kita harus viral karena inovasi budaya yang hidup, bukan budaya yang tinggal di lemari arsip. Biarkan dunia lihat bahwa Palembang bisa membungkus sejarah, seni, dan kuliner jadi satu paket kreatif yang bisa ditayangkan Netflix (atau minimal YouTube dengan iklan yang bisa di-skip).
CUKO adalah simbol bahwa Palembang siap naik kelas, dari kota warisan sejarah menjadi kota peradaban kreatif, dari penonton jadi pemain, dari sudah pernah ke akan terus, karena kalau terus-terusan nunggu Bali kasih contekan, kita bakal selamanya jadi murid di bangku belakang. Ingat !!. “CUKO itu bukan cuma pelengkap pempek, tapi singkatan dari Cita-cita Untuk Kota yang Otentik!”. [***]