Sumselterkini.co.id, – Ada banyak hal yang bisa dipajang di etalase, tapi ingat, sebagus apa pun etalasenya, kalau yang lewat cuma kucing sama cicak, tetap saja dagangan nganggur. Nah, kalau bicara kerajinan dan ekonomi kreatif (ekraf), Sumsel ini sebenarnya wah.., kaya bukan main dari anyaman hingga tenunan, dari batok kelapa sampai limbah sabut.
Tapi seperti pepatah Palembang bilang, “Kalo emas dak diasah, tetap bae serupo batu di pinggir kali”. Maksudnya sebagus apa pun potensi, kalau tidak diasah, dibina, dan ditampilkan dengan benar, tetap tidak akan bernilai di mata pasar.
Ekraf itu bukan soal punya bahan bagus saja, tapi soal bagaimana mengemasnya, mempromosikannya, dan membuatnya laku di pasaran, jangan sampai kita sibuk bikin etalase, tapi lupa bawa pembelinya.
Baru-baru ini, Gubernur Sumsel H. Herman Deru melantik pengurus baru Dekranasda Sumsel 2025–2030. Acaranya mewah, semangatnya menggelegar, isinya sarat motivasi. Tapi ya, jangan hanya gegap gempita di awal. Kalau boleh kita bilang, jangan seperti pesta hajatan yang ramai pas malam resepsi, tapi sepi waktu cuci piring.
Pak Gubernur benar tugas Dekranasda bukan cuma ngopi-ngopi di pameran, tapi ngoprek strategi. Harus bisa bikin perajin bukan cuma bisa bikin bros bunga dari manik-manik, tapi tahu caranya masuk marketplace, tahu cara kirim barang ke luar negeri, tahu cara bertahan di pasar yang makin cerewet ini.
Nah, ini dia selama ini banyak program ekraf di daerah itu cuma sebatas pesan, ajakan, dan pelantikan, tapi tindakan nyatanya kadang kalah cepat dari jemuran kena hujan. Meski belum secara resmi disebut masuk dalam 12 provinsi prioritas pengembangan ekraf oleh pemerintah pusat. Namun demikian, ada pengakuan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) bahwa Palembang, ibu kota Sumsel memiliki potensi ekraf yang cukup kuat, terutama dalam sektor kuliner (pempek, kemplang, kerupuk).
Yang jelas disebut dalam peta ekraf itu, adalah Sumatera Barat (Sumbar) yang menjadi satu dari 12 provinsi prioritas, masak iya, kita kalah lincah dari Aceh yang sudah punya kampung tenun sampai program “Aceh Creative Economy”? Atau Sumatera Barat yang melesat dengan “Galeri Rendang Dunia”?. Mereka bukan cuma ngelola kerajinan, tapi brand image, packaging, dan sudah ekspor.
Dan kalau bicara contoh emak-emak luar negeri, Vietnam punya kelompok ibu-ibu pengrajin sedotan bambu yang hasilnya diekspor ke Eropa. Di Thailand, ibu-ibu desa Ban Chiang bikin keramik bermotif kuno yang jadi koleksi museum dunia.
Lalu di India, para perempuan Rajasthan memproduksi tekstil block print warna-warni yang jadi langganan butik-butik Eropa. Pemerintah mereka? Jangan tanya. Ada pelatihan, subsidi modal, bahkan akses logistik langsung dari desa ke pelabuhan ekspor. Lah kita? masih bingung mau buat gedung Dekranasda atau pakai tenda biru sebelah pos ronda.
Di Indonesia, contoh sukses ekraf lokal juga banyak, Dari emak-emak di Tasikmalaya yang rajin bikin bordir kelas internasional, ibu-ibu di Bali yang bikin perak dan perhiasan dengan ukiran detail, hingga perajin rajut di Malang yang bahkan pernah jadi bahan liputan media luar negeri. Tapi kuncinya satu pendampingan yang konsisten, bukan hanya datang waktu ada acara seremonial.
Ketua Dekranasda Sumsel, Ibu Hj. Febrita Lustia HD, sudah bilang pentingnya regenerasi perajin dan akses pasar global. Itu sinyal bagus. Tapi kita ingatkan lagi “nasi tak bisa jadi lontong kalau cuma direbus sebentar,” artinya program bagus tak akan jadi hasil kalau cuma semangat sebentar.
Perlu solusi nyata, misalnya bentuk klinik ekraf di setiap kabupaten, lengkap dengan pelatihan rutin dan pendampingan digital marketing, buat jaringan kerja sama dengan Tokopedia, Shopee, hingga Etsy untuk buka toko global, sediakan mobil keliling kerajinan naik kelas yang bawa produk ke pameran nasional. Gandeng SMK dan kampus desain untuk bantu kembangkan branding produk lokal dan buat program sinergi dengan dinas koperasi dan pariwisata, biar kerajinan tak hanya dijual, tapi juga jadi bagian dari paket wisata.
Mengutip Steve Jobs, pendiri Apple Inc., “Innovation distinguishes between a leader and a follower”. [“Inovasi adalah pembeda antara seorang pemimpin dan pengikut”].
Maksudnya, orang atau pihak yang berani menciptakan hal baru, berpikir beda, dan menghadirkan solusi inovatif akan menjadi pemimpin, mereka memimpin perubahan, bukan sekadar mengikuti arus. Dan kata orang Palembang bilang, “Kalau dak becak, dak akan ke tengah pasar”, kalau tidak bergerak, ya jangan harap dapat tempat di tengah keramaian ekonomi global.
Motor penggerak emak-emak
Kita berharap Dekranasda Sumsel ini tidak hanya jadi papan nama berbingkai emas di kantor provinsi, tapi jadi motor penggerak emak-emak desa yang siap ekspor kerajinan ke Milan dan Tokyo, karena ketika emak-emak mulai produktif, ekonomi ikut aktif. Saat perajin naik kelas, daerah bisa ikut melesat. Jangan tunggu acara pelantikan lima tahun lagi baru sadar, bahwa potensi kita sudah kalah start dari yang lain.
Membangun ekonomi kreatif bukan perkara mendirikan stan, memajang kain, atau sekadar melantik pengurus sambil mengangkat tangan kanan di podium ber-AC. Ekraf itu bukan dunia peresmian semata, tapi dunia perjuangan berkeringat di dapur anyaman, berdebu di bengkel batok kelapa, dan berpeluh saat menjual produk di pameran yang pembelinya lebih banyak liat-liat daripada beli-beli. Maka dari itu, dibutuhkan kerja nyata, bukan cuma narasi manis dalam sambutan seremoni.
Kita harus mulai berpikir seperti kutipan Steve Jobs, kalau Sumsel ingin jadi pemimpin dalam peta ekraf nasional, bukan pengikut yang cuma tepuk tangan lihat Sumbar dan Aceh panen apresiasi, maka jalannya cuma satu berinovasi dan bergerak cepat. Bukan nunggu anggaran turun dulu baru mulai kerja, kalau cuma nunggu itu, bisa-bisa nanti kerajinan kita dikira fosil warisan, bukan produk kreatif masa kini.
Kita juga jangan sampai seperti pepatah Palembang, jualan di pasar kalangan, tapi idak nimbang dagangan. Artinya, sudah masuk dunia ekonomi kreatif, tapi tak pernah benar-benar ukur potensi dan evaluasi kualitas. Terjun ke ekraf itu harus tahu siapa target pasarnya, bagaimana selera pasar berubah, dan apa saja yang bisa dilakukan agar produk lokal kita bisa masuk ke pasar global, bahkan kalau perlu ikut tampil di London Fashion Week atau Tokyo Gift Show. Kenapa tidak?
Mari belajar dari negara lain, seperti Jepang, Korea Selatan, bahkan Kenya yang memberi ruang besar bagi emak-emak kreatif di desa. Mereka diberi pelatihan, modal lunak, sampai saluran distribusi. Bahkan di Thailand, pemerintah mendukung komunitas tenun dan kerajinan lewat program khusus bernama OTOP (One Tambon One Product) yang sukses mendongkrak devisa negara. Padahal kemplang kita enak, jumputan kita cantik, dan tangan-tangan emak-emak kita tak kalah lincah kalau diberi ruang berkreasi.
Kalau semuanya bergerak bersama Dekranasda, pemda, koperasi, pelaku industri kecil, dan komunitas kreatif, maka Sumsel bisa benar-benar menjadi rumah besar ekraf, bukan rumah contoh yang cuma dibangun untuk dipamerkan saat tamu datang. Jangan sampai Dekranasda hanya jadi lemari cantik di ruang tamu, indah tapi kosong isinya.
Jangan tunggu nasi jadi bubur, baru mikir lauknyo, jangan tunggu peluang hilang baru kita gerak. Justru sekaranglah saatnya kita rapatkan barisan, siapkan strategi, dan mulai memajukan kerajinan lokal dengan cara kreatif, kolaboratif, dan tidak pamrih. Karena kalau bukan kita yang membanggakan produk sendiri, jangan heran kalau suatu saat nanti anak cucu kita lebih kenal batik Korea daripada songket Palembang. Jadi, ayo gerak!. Jangan cuma rame di seremoni, tapi sepi waktu aksi. Sapu lidi bisa kuat kalau diikat rapat, bukan cuma dijejer buat foto-foto. Saatnya rame dalam aksi, sepi dalam pamrih. Biar Sumsel nantinya tak cuma masuk peta, tapi jadi pusat!, semoga sukses.[***]