Sumselterkini.co.id, – Kalau bicara soal kekayaan intelektual (KI), banyak yang masih mikirnya kaya mikir rencana diet penting, tapi sering ditunda-tunda dan ujung-ujungnya cuma jadi wacana sambil ngemil. Padahal, KI itu bukan cuma soal ngurusin hak cipta lagu dangdut atau desain batik, tapi ini adalah mesin emas ekonomi kreatif kita yang kadang dibiarkan mogok gara-gara kurang perhatian.
Nah, di Peringatan Hari Kekayaan Intelektual Sedunia 2025 yang diadakan Kementerian Hukum bareng Kemenekraf, ternyata ada pameran keren kayak peluncuran POP Hak Cipta e-SEAL 2025 dan penghargaan UMKM yang bikin kita sadar, KI bukan barang mewah, tapi kebutuhan pokok!.
Bayangkan KI itu seperti ayam kampung kalau dirawat dan diberi makan dengan benar, bisa bertelur emas. Tapi kalau dibiarkan begitu saja, ayamnya kurus, telurnya sedikit, hasilnya juga cekak. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang sudah lama paham ini. Mereka bukan hanya melindungi KI, tapi juga memolesnya sampai bersinar di panggung global.
Steve Jobs pernah bilang, “Innovation distinguishes between a leader and a follower.” Artinya, inovasi dan perlindungan atas karya cipta adalah pembeda antara jadi pemain utama atau cuma penonton yang bengong.
Di Indonesia, Deputi Bidang Pengembangan Strategis Ekonomi Kreatif Kemenekraf, Cecep Rukendi, ngasih wejangan yang cukup ngena buat kita semua, KI bukan cuma untuk dibanggakan di acara seremonial, tapi harus diolah jadi senjata rahasia, agar produk kreatif lokal gak cuma jadi bahan jualan di pasar pagi, tapi bisa laris manis di pasar dunia. Jadi, kalau mau ekonomi kreatif kita meledak kayak kembang api malam tahun baru, harus ada sinergi antara pemerintah, pelaku kreatif, dan masyarakat luas. Gak bisa cuma nyadar pas ada acara doang, lalu abis itu melengos.
Dalam kehidupan sehari-hari, KI itu ibarat ‘benih unggul’ yang kalau ditanam di tanah subur ekosistem kreatif, hasilnya bisa panen raya lapangan kerja dan kesejahteraan. Seperti pepatah lama yang berkata, “Tak ada rotan, akar pun jadi,” kita harus mulai kreatif memanfaatkan KI untuk berbagai sektor, bukan cuma fokus pada yang sudah mainstream.
Contohnya, seperti negara-negara Skandinavia menggabungkan KI dengan teknologi hijau untuk menciptakan inovasi ramah lingkungan yang mendapat apresiasi global.
Namun sayangnya, masih ada yang mikir urus KI itu ribet dan mahal, padahal biaya itu ibarat investasi buat masa depan. Kalau kita malas melindungi karya kita sendiri, jangan heran kalau negara lain yang lebih ‘rajin servis’ bakal nyulik ide kita, terus kita cuma bisa bilang, “Ya sudah, yang penting kan kita sudah buat duluan.” Padahal, kata Albert Einstein, “Creativity is intelligence having fun.” Artinya, kreativitas harus dijaga dan dilindungi supaya bisa terus ‘bermain’ dan berkembang.
Lalu, Tiongkok, meski dikenal sebagai pabrik dunia, Tiongkok kini juga gencar melindungi kekayaan intelektualnya. Mereka mendirikan pengadilan khusus KI dan memperkuat regulasi agar inovasi lokal tidak mudah dijiplak, contohnya, Huawei dan Tencent yang terus bersaing secara global dengan perlindungan KI yang ketat.
Amerika Serikat [AS] punya sistem paten dan hak cipta yang sangat kuat, didukung oleh lembaga seperti USPTO (United States Patent and Trademark Office). Silicon Valley adalah contoh nyata bagaimana perlindungan KI mendorong lahirnya startup raksasa seperti Apple, Google, dan Tesla. Begitupula Jerman, sebagai negara industri maju, Jerman sangat serius soal paten dan perlindungan merek. Mereka punya sistem yang sangat terstruktur untuk melindungi produk teknologi dan manufaktur, sehingga perusahaan otomotif seperti BMW dan Volkswagen bisa mempertahankan keunggulan inovasinya.
Bahkan lebih dekat di Asean, meskipun kecil, Singapura sangat serius mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif dengan perlindungan KI yang ketat, serta kebijakan yang mendukung startup dan UMKM kreatif agar bisa bersaing di tingkat regional dan global.
Nah, Jadi KI itu sangat penting untuk dilindungi, karena KI adalah pilar utama yang menopang ekonomi kreatif kita agar bisa jadi raksasa yang gak cuma menggelegar di panggung lokal tapi juga dunia internasional.
Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menyambut dan merawat KI ini seperti merawat pohon beringin yang rindang berdiri kokoh dan memberi naungan bagi banyak generasi kreator. Jangan sampai KI cuma jadi pajangan di ruang rapat, tapi harus menjadi mesin penggerak ekonomi yang sesungguhnya.
Ingat, tanpa perlindungan dan pemanfaatan KI yang maksimal, kita ibarat tukang sulap yang merapal mantra tapi lupa bawa tongkat sihirnya. Yuk, kita jadi kreator cerdas yang pintar mengurus KI, biar karya kita gak cuma viral sehari, tapi abadi sepanjang masa!.[***]