Kalau kamu punya ide brilian wajib baca ini, pengin bikin karakter animasi ayam geprek yang bisa bicara dan jadi pahlawan nasional. Tapi sayang, karyamu cuma nangkring di folder laptop bernama “Jangan Dihapus (FIX BGT Versi FINAL REVISI 17).docx”. Kenapa? Karena tak ada tempat buat “manggung”.
Nah, di sinilah cerita dimulai, dari sebuah kota yang biasanya terkenal karena lumpia, sekarang mulai berani ngegas jadi pusat ide nasional Semarang!.Tanpa diiringi marching band atau penabuh rebana, Wamen ekraf datang dan melemparkan “bom semangat” di tengah masyarakat Semarang.
Awann Creative & Redmiller Experience Gallery ibarat tempat yang sakral bagi para insan kreatif yang selama ini hidup di pinggir-pinggir folder komputer dan catatan kertas minyak.Bu Wamen pun ngomong mantap, “Ini bukan galeri biasa, tapi panggung dan medan tempur … semacam media sosial ala TikTok, tapi buat karya beneran!”.
Bukan cuma tempat pamer, tapi tempat pejuang kreatif mager bangkit. Yang dipamerin di galeri ini bukan cuma lukisan sunyi yang bikin bingung (“Ini gambar apaan sih?”), tapi juga karakter IP jempolan, kayak si Redmiller Blood, tokoh heroik karya Peter Rhian Gunawan yang pernah mejeng di Mandalika dan kini bisa kamu lihat tanpa harus beli tiket MotoGP.
Di sinilah sebenarnya letak romantisnya. Semarang bilang ke daerah lain bahkan lebih luar kepada dunia, “Kita enggak cuma jual tahu petis dan nasi kucing.
Kita juga punya gagasan, tokoh fiksi, teknologi imersif, dan workshop ekonomi kreatif, bahkan bisa dibilang dari pada nunggu ilham, mending ke galeri ini, bisa langsung ‘meledak’ idemu!”.
Serius ya, korek yang dinyalain Semarang bukan korek gas buat nyalain kompor, tapi korek semangat, korek kreativitas, korek ide yang lama kesimpen di laci.
Nah, pas korek ini nyala, ternyata daerah lain… masih gelap, bukan karena PLN, tapi karena belum ada yang berani bikin panggung buat ide lokal.
Contohnya Melbourne punya gang-gang seni yang keren, Amsterdam hidup dari galeri seni nyeleneh, bahkan Korea Selatan, kalau mau jujur,.
Bahkan Seoul, lewat industri K-Pop dan K-Drama, bisa menghasilkan USD 10 miliar setahun, dari nyanyi, akting, dan konten. Masa kita cuma nontonin mereka terus?.Semarang sudah memulai, lengkap dengan workshop ekonomi kreatif, pameran IP, dan galeri imersif. Lantas daerah lain? Masih sibuk nyari dana event yang habis buat panggung dan konsumsi?.
Artinya kreativitas bisa bikin negara kaya, bukan cuma tambang dan kelapa sawit.Di galeri ini juga digencarkan pentingnya IP alias Intellectual Property, jadi bukan cuma pacar yang perlu status, tapi juga karya! Mari serius sebentar (tapi jangan tegang), banyak seniman kita yang sudah punya karakter unik, cerita menarik, bahkan pasar sendiri tapi mentok karena tidak terlindungi hukum, dan tidak tahu bagaimana memonetisasi ide.
Di Awann Gallery, IP ditekankan sebagai aset ekonomi, bukan sekadar barang lucu-lucuan, kita juga harus belajar dari Jepang, yang bisa hidup dari karakter seperti Hello Kitty, Doraemon, dan Godzilla.Tengok Redmiller Blood, tokoh IP dari Semarang ini.
Mungkin hari ini dia cuma tampil di Mandalika dan galeri lokal, tapi besok-besok siapa tahu jadi karakter Netflix? atau masuk game buatan anak bangsa.
Karena percuma punya tokoh animasi lucu kalau akhirnya dijiplak tetangga dan dijual di pasar malam. Makanya, Bu Wamen mengingatkan jangan takut mendaftarkan karya, jangan malu kolaborasi karena zaman sekarang, yang kaya bukan yang punya tanah, tapi yang punya karakter kartun viral dan bisa dijual ke Netflix.
Bikin kepala gatal
Nah ini nih, yang biasanya bikin kepala rakyat gatal kalau dibaca hexahelix. Tapi kalau dijelasin pakai logika dapur, gampang bikin rendang enak perlu banyak bahan daging, santan, daun jeruk, serai, cabai, sama waktu rebus. Sama kayak ekonomi kreatif, harus ada pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, media, dan rakyat jelata bersatu dalam satu panci ide.
Kalau cuma senimannya doang yang semangat, tapi pemda-nya malah sibuk ngurus plakat penghargaan, ya… bisa kering duluan sebelum matang.
Semarang sudah nunjukin, satu galeri kecil bisa jadi mercusuar semangat, sekarang giliran daerah lain. Ayo dong Palembang, Balikpapan, Ternate, Kupang, dan saudara-saudaraku di pelosok negeri!.Jangan tunggu diundang, jangan tunggu dapat dana CSR.
Mulailah dari balai desa kosong, rumah kosong bekas posyandu, atau kantor karang taruna yang sudah lama vakum disulap jadi ruang kreatif!.Seandainya, jika Tasik bisa bikin galeri bordir kekinian, Pekanbaru punya festival tokoh IP Minang, atau Pontianak bikin pertunjukan hologram cerita Dayak.
Itu bukan halu, itu visi daerah maju.Kata Richard Florida, ahli ekonomi kreatif dari luar negeri (yang jelas bukan tetangga saya), “Creativity is the new economy’s most valuable resource”. Nah, kalau itu “sumber daya paling berharga”, masa kita mau nyia-nyiain?
Sekarang berhenti jadi penonton di stadion ide, dan mulai masuk lapangan, karena masa depan bukan milik yang kaya raya, tapi milik mereka yang nekat, nyeni, dan punya koneksi Wi-Fi.
Jangan tunggu korek dari pusat, bikin api sendiri, bakar semangat, dan goreng ide sampai matang karena ternyata, masa depan bangsa ini… bisa juga lahir dari coretan pensil, sketsa karakter, atau poster yang dikerjakan tengah malam sambil ngopi sachet dan nahan ngantuk.