MISALNYA ada kampung yang isinya orang-orang penuh talenta, ada tukang ukir kayu yang bisa bikin patung mirip mantan, pembuat video TikTok yang tiap upload langsung bikin netizen baper, perajin rajutan benang bening yang bisa nyulam pelangi, penyanyi TikTok bersuara cempreng tapi viral, sampe penjual kopi saset yang caption-nya selalu menusuk hati kayak bekas luka ingatan mantan. Bahkan ada juga yang jago IT, bikin aplikasi khusus ngingetin mantan jangan ngelike story lagi.
Tapi sayangnya… mereka cuma nongkrong di pos ronda, ngeteh sambil main catur lawan kucing. Potensinya ada, tapi arahnya nggak jelas. seperti kompor gas tanpa regulator, bisa meledak kapan saja, tapi nggak pernah nyala stabil. Nah, itulah ekonomi kreatif tanpa Dinas Ekraf. Gaya ada, tapi arah ngambang!.
Atas alasan itu terpaksa Menteri Ekraf Turun Gunung baru-baru ini, Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, datang ke Jatinangor, bukan cuma buat nostalgia makan mie rebus depan kampus IPDN Jatinangor, Sumedang, Jabar, tapi juga nyampaikan pesan penting untuk para kepala daerah.”Bentuklah Dinas Ekonomi Kreatif sekarang juga!”.
Pesan ini kayak sinyal dari menara BTS penting, menyala, dan bikin kepala daerah garuk-garuk jidat sambil mikir, “anggaran dari mana ya?”
Tapi percayalah, ekonomi kreatif itu kayak celana karet, bisa masuk ke mana-mana, fleksibel, dan kalau ditarik terus bisa menghasilkan… bukan bunyi “plek” tapi cuan!
Pak Menteri bilang “Ekonomi kreatif akan jadi mesin baru pertumbuhan ekonomi nasional dari daerah. jadi, jangan nunggu Jakarta terus!”. Beliau ngomong sambil menatap langit… entah mikir masa depan, atau nyari sinyal anggaran dari langit.
Ekonomi Kreatif bukan cuma Meme & TikTok, banyak yang masih salah kaprah, dikiranya ekonomi kreatif itu ya.. konten lucu, jualan stiker WA, atau joget bareng nenek di TikTok.
Padahal, ekonomi kreatif adalah nilai tambah dari kreativitas manusia, berbasis budaya, ilmu, dan teknologi. Kalau tak dibentuk dinasnya, ya sama aja kayak punya band metal tapi nggak ada manajer. Lagu boleh cadas, tapi nggak ada yang atur gigs, ya manggungnya di hajatan sendiri terus.
Dinas Ekraf itu seperti manajer band, sekaligus kasir, marketing, dan tukang antar nasi bungkus. Tanpa itu? Kocar-kacir!
Boleh contoh kota yang sudah Kreatif dan ngasilkan cuan, seperti Bandung, punya Dinas Kebudayaan & Pariwisata, lengkap dengan Bandung Creative Hub. Anak muda bisa pamer karya, dikontrak brand besar. PAD-nya naik, kayak grafik saham pas Elon Musk nge-tweet.
Begitu pula Surabaya, ada Dinas Budpar plus unit kreatif. Ada Creative Expo, Startup Festival, bahkan coworking space khusus UMKM desain. PAD dari animasi dan kuliner? Melejit, kayak pentol bakso dilempar ke langit dan Jogja, Dinasnya lengkap, event-nya bejibun Jogja Biennale, Noise Bombing, sampai komunitas game developer yang ekspor ke Jerman. PAD dari ekraf? Tembus 7%! Mlebu akal, tho?
Dari luar negeri? Jangan ditanya ada Seoul, punya Seoul Business Agency. Gak cuma K-Pop, tapi juga surganya startup digital. Amsterdam, dengan Amsterdam Creative Industries Network, tiap tahun setor lebih dari 8% PDB kota!
Melbourne, kota film dan desain, mereka punya lembaga Creative Victoria, urus semua dari musik sampai game. PAD-nya bikin iri kepala dinas mana pun. Kalau mereka di atas bisa, Lalu Sumsel & Palembang, mau sampai kapan nonton aja?
Palembang sebenarnya udah punya event kayak Festival Sriwijaya, Palembang Fashion Week, dan UMKM Talang Semut. Tapi sayangnya, pelaksanaannya kayak nonton konser… tanpa sound system, hening, garing, gak greget.
Sementara Program Pemprov. Sumsel “Seribu Sultan” Sumsel itu keren, namun kalau tanpa Dinas Ekraf? Ibarat naik becak, bannya cuma satu. Goyang terus. Maju sedikit, mundur banyak, bikin pinggang encok.
Nah, soal dana mungkin yang masih kendala? Tenang aja kata Jack Ma. “Never give up. Today is hard, tomorrow will be worse, but the day after tomorrow will be sunshine.” Maksudnya bikin Dinas Ekraf itu emang berat. Tapi kalau konsisten, nanti hasilnya kayak mentari pagi di Bukit Siguntang, terang, hangat, dan bawa rezeki.
Kalau Ekraf dibuat, dan kalau dunia ini nyampe dan masih berputar, coba bayangkan pada 2030 di Sumsel, mungkin ada “Festival Meme Antar Kecamatan”.
“Kopi Dangdut Digital Fest”, “NFT Petai Rebus Expo” dan tiap kabupaten punya coworking space, ruang editing, galeri, panggung terbuka
Bahkan anak muda nggak perlu lagi hijrah ke kota lain, mereka bisa berkarya dari desa, sambil minum teh dan bikin aplikasi pemesanan ketek online!
Tapi sebaliknya gak akan terjadi kalau……para kepala daerah cuma sibuk potong pita, blusukan pakai rompi, dan selfie pas launching. Tanpa langkah berani bikin Dinas Ekraf, semua ide cuma jadi kertas proposal yang lupa difotocopy.
Dinas Ekraf, kenapa wajib ada, tujuannya, tak lain menyatukan Program, maksudnya tanpa dinas, program kreatif kayak orkestra tanpa dirigen. Satu main dangdut, satu jazz, satunya malah baca puisi.
Terus bangun ekosistem kreatif terintegrasi, gabungkan seni, budaya, sains, teknologi, dan UMKM, Dinas jadi jembatan emas antara komunitas, kampus, diaspora, dan swasta, ciptakan lapangan kerja keren.
Sebab dengan pelatihan & mentoring, anak muda nggak jadi tukang fotokopi warisan, tapi game developer kelas dunia, produsen konten digital, sampe ilustrator NFT dodol kapal. Kan salah satu program Sumsel dan kota Palembang sama-sama ingin menciptakan lapangan kerja bukan!!. Nah, ini cocok kalau dilakukan dari sekarang.
Dengan demikian, setidaknya kedepan mampu mendongrak PAD yang berkelanjutan, lihat Bandung dan Jogja, Festival? ramai, produk? mendunia. PAD? naik, bahkan bisa tembus ratusan miliar kalau Sumsel niat dan kompak pasti bisa juga!.
Artinya saat ini bikinlah langkah nyata dan bukan lagi wacana, segera bentuk Dinas Ekraf atau unit khusus, libatkan komunitas dari awal, bukan cuma disuruh foto bareng pas launching. Bangun program otentik “Pempek VR 360”, “Sriwijaya Meme War”, “Desa NFT Heritage” dan terakhir coba kolaborasi dengan program “Seribu Sultan”, jadi bukan cuma gelar… tapi ada kerajaan ekonomi kreatif beneran!
Pepatah bilang jangan anggap remeh orang kecil, asal ada tekad, bisa jadi raja.
Kalau Pemprov Sumsel dan Pemkot Palembang terus santuy tanpa Dinas Ekraf, ya siap-siap aja kreativitas daerah cuma muter-muter kayak roda bajaj tanpa busi, berisik, tapi nggak jalan.
Main ekonomi kreatif tanpa dinas itu kayak main catur lawan ayam. Nggak ngerti strategi, tapi ujungnya berantakan dan banyak bulu beterbangan. Jadi bentuk sekarang!. Jangan nunggu wangsit dari langit, karena masa depan bukan milik yang punya uang aja, tapi juga mereka yang punya ide dan dinas buat mewujudkannya.
Kalau masih ragu, tanya lagi ke diri sendiri, mau jadi daerah kreatif yang mendunia? atau jadi daerah yang bikin TikTok sendiri-sendiri, lalu minta like ke grup WA keluarga?.
Pilihan ada di tangan pemimpin, dan juga… di tangan kita, yang mau terus ngedorong supaya kreativitas rakyat jangan cuma viral, tapi juga menghasilkan, itu namanya keren.[***]