Industri Kreatif & UKM

Bikin Iri, Solo Ngegas, Palembang Masih Nyetel Kopling: Saatnya Ekraf Kita Pindah Gigi!

foto :kominfo Palembang/ilustrasi

KALAU Solo sudah sampai Jakarta bawa rombongan pengembang game lokal (bukan buat liburan ke Ancol ya, ini serius!), Palembang baru sibuk urus festival pempek dengan lomba tebak isi cuko. Bukan kita anti pempek, lho. Tapi, ekonomi kreatif itu bukan cuma soal kuliner, masa dari 16 subsektor ekraf, kita masih mentok di kemplang dan kerupuk?

Coba  intip kejadian di Autograph Tower, Jakarta, di sana, Wali Kota Surakarta Respati Ardi dan komunitas Surakarta Game Developer alias Surgadeva bertandang menemui Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya. Bukan untuk ngopi-ngopi cantik sambil foto di lift mewah, tapi membahas langkah konkret penguatan ekosistem game di daerah. Ya, game! Bukan domino Qiu-Qiu online yang digemari paman-paman, tapi real game development.

Bayangin, di Solo sudah ada 10 studio game lokal, 200 pengembang aktif, dan IP mereka (baca: karakter game, dunia game, bukan IP rumah tetangga) sudah tembus jutaan unduhan. Lah Palembang?. Paling banter punya akun ML bareng tetangga yang dipakai rebutan tiap malam minggu.

Sementara itu, Wali Kota Solo dengan mantap bilang, “Kami tak ingin titel kreatif cuma jadi hiasan.” Makjleb! Kalimat ini seperti sambal ulek di mata para pemangku kebijakan yang masih mikir ekonomi kreatif itu hanya buat seniman lukis di CFD tiap Minggu pagi.

Solo bukan Jakarta, tapi mereka sudah punya roadmap akselerasi ekraf, mereka bicara pembentukan Dinas Ekonomi Kreatif khusus, buka diselipkan di bawah Dinas Pariwisata yang kadang sibuk ngurus dekorasi tenda festival dangdut. Mereka bahkan mau bikin game academy  sekolah tempat belajar bikin game, bukan main game, ya. Dan proyek akhirnya? digarap bareng Surgadeva, bukan bareng dukun cabul di TikTok Live.

Kalau sudah begini, kita di Palembang mau bilang apa?, kita kota besar kok… tapi kreatifnya masih kayak mie keriting  penuh potensi tapi kebanyakan stuck di mangkuk, boleh sih punya Jakabaring Sport City, tapi kok ya stadion lebih sering kosong.

Padahal, kalau mau ngaca, banyak kota kecil di dunia yang sudah ngegas, ambil contoh Malmo, Swedia, dulu kota industri tenggelam, sekarang jadi kiblat startup game dan desain. Chiang Mai, Thailand, kota wisata yang kini punya creative hub dan coworking space di setiap sudut, bikin para freelancer betah kerja sambil ngopi di rooftop sambil dengerin suara ayam dan Bandung yha, tetangga kita aja udah punya Creative Center dan rutin ekspor produk fashion dan animasi.

Nah, Palembang? Kota yang katanya pusat sejarah dan budaya Sriwijaya, tapi belum punya pusat co-working yang bisa jadi tempat ngumpul anak kreatif buat brainstorming. Yang ada, tiap malam minggu pusat keramaian masih seputaran jembatan Ampera, kafe karaoke, dan warung kopi dengan colokan meledak.

Sudah saatnya, kita switch mode, jangan cuma mikir soal pembangunan fisik. Kreativitas itu juga perlu jalan tol, kalau jalanan untuk truk batu bara dibikin mulus kayak jalan sultan, masa akses dan dukungan buat pelaku ekraf masih kayak jalan tanah liat waktu musim hujan?

Pepatah lama bilang “Jangan menunggu durian runtuh kalau yang ditanam cuma semangka”. Ya, jangan harap muncul talenta kreatif kelas dunia kalau yang kita fasilitasi cuma festival selfie dan lomba tiktok kelurahan. Solusinya bentuk Dinas Ekonomi Kreatif mandiri,  bikin pelatihan, bangun Creative Hub di tengah kota. Gak usah mewah dulu, asal ada Wi-Fi, bean bag, dan kopi yang gak asem.

Gandeng komunitas, anak-anak muda kreatif itu gak suka dibimbing formal, tapi mau diajak ngobrol dan dikasih panggung. Lirik subsektor lain, game, animasi, desain, bahkan kuliner dan musik elektronik bisa jadi sumber pendapatan, bukan cuma hadiah lomba.

Jangan biarkan Palembang jadi kota yang ramai oleh festival, tapi sepi oleh inovasi.

Kata Teuku Riefky, “Kementerian Ekraf itu akselerator, bukan tukang sulap”. Artinya, kalau daerahnya sendiri lambat dan sok sibuk, ya gak bisa maju, jangan sampe kita jadi penonton di panggung kita sendiri.

Seperti kata Steve Jobs yang dikutip dalam banyak seminar motivasi (meski sering cuma tempelan di slide presentasi), “Innovation distinguishes between a leader and a follower”. Jangan mau terus jadi pengikut. Kota kita besar, punya sejarah hebat, tinggal nyalain tombol gasnya!

Jadi, Solo udah nyalain mesin kreatifnya. Palembang, masih betulin kaca spion, ayo buruan! sebelum kita ketinggalan… sama kota kecil bernama Prabumulih yang tau-tau udah punya Metaverse Pasar Buah. [***]

Terpopuler

To Top