Sumselterkini.co.id, – Ada kalanya dua insan harus bersatu demi masa depan cerah. Bukan Rangga dan Cinta, tapi Koperasi dan Ekonomi Kreatif (Ekraf). Keduanya selama ini sering saling lirik, saling like story, tapi belum juga go public. Untunglah, sekarang mereka tampak siap menjalin hubungan lebih serius. bahkan sudah sampai ngobrolin rumah tangga bareng di kantor Kemenkop tanggal 16 April lalu.
Hadir pula dua ‘mak comblang’ utama Menteri Ekraf Teuku Riefky dan Menkop Budi Arie. Klopnya luar biasa. Ini bukan sekadar kolaborasi, ini sudah kayak tunangan. he..he..he!.
Bayangkan saja, di tengah tantangan ekonomi yang makin gesit macam pelari maraton pakai sepatu roda, Kemenekraf dan Kemenkop justru memilih duduk bareng dan mikirin masa depan bersama. Mereka ngomongin 8 pilar ASTA EKRAF yang kedengarannya kayak nama jurus pamungkas anime tapi isinya serius banget dari penguatan kekayaan intelektual sampai penguatan kebijakan berbasis data. Lengkap, dari akar sampai daun.
Tapi bukan cuma itu. Mereka juga bahas soal koperasi subsektor ekraf, pendanaan LPDB, pelatihan digital marketing, sampai koperasi perfilman. Nah, ini dia koperasi perfilman. Kita belum tahu apakah nanti akan ada “Koperasi Sinetron Cinta Satu Emak” atau “Koperasi Produksi Film Indie dan Indomie”, tapi idenya cemerlang. Sebab perfilman itu padat karya dan padat tenaga. Kalau ada koperasi sebagai aggregator dana dan SDM, bisa jadi solusi buat para kreator yang selama ini kerja ngandelin semangat dan mie rebus.
Koperasi ini ibarat mangkok besar, tempat segala bahan bisa diracik jadi sajian istimewa. Sementara ekraf adalah isiannya ada fesyen, kriya, film, musik, kuliner, sampai konten kreator TikTok yang punya lighting lebih mahal dari kulkas. Nah, mangkok tanpa isi ya kosong. Tapi isi tanpa mangkok? Ya tumpah dong. Maka dari itu, hubungan ini penting, strategis, dan bisa jadi lokomotif pertumbuhan.
Biar koperasi dan ekraf nggak cuma saling kirim meme dan janji manis, tapi benar-benar menciptakan lapangan kerja seperti target Bappenas 27 juta lapangan kerja ekraf. Ini bukan main-main. Negara-negara maju sudah membuktikan kalau ekonomi kreatif yang kuat bisa jadi mesin pertumbuhan yang bertenaga kuda turbo.
Coba tengok Korea Selatan. Industri musik dan dramanya (K-pop dan K-drama) disokong oleh koperasi, asosiasi, dan sistem distribusi yang rapi. Mereka ngerti, satu lagu bisa jadi lapangan kerja buat puluhan orang dari produser, penari, sampai penjaga kamera.
Negeri para oppa ini bukan cuma jago bikin drama dan K-pop. Di balik bling-bling BTS dan BLACKPINK, ada sistem koperasi dan asosiasi yang rapi banget. Misalnya, koperasi konten digital yang bantu pendanaan produksi film, animasi, bahkan game. Pemerintahnya pun nggak pelit mereka kasih dana, pelatihan, sampai akses global lewat pameran budaya Korea.
Hasilnya? Satu boyband bisa jadi mesin ekspor nasional. Cuan masuk, lapangan kerja terbuka, ekonomi kreatif jalan terus. Koperasi di sana jadi tulang punggung, bukan cuma figuran.
Terus selanjutnya negara ini punya koperasi kreatif yang fokus di bidang desain, arsitektur, dan teknologi digital. Mereka mengelola coworking space, studio kolaboratif, bahkan menjual produk kreatif ke pasar global lewat platform koperasi. Yang menarik, sistem koperasi mereka mengutamakan demokrasi partisipatif, jadi bukan cuma bos yang kaya, tapi semua anggota koperasi ikut senang. Mirip gotong-royong versi digital.
Di Kanada, koperasi seni dan budaya berkembang pesat. Dari koperasi teater sampai koperasi pembuat film dokumenter, semua berjalan berkat dukungan sistem pembiayaan khusus dan regulasi yang ramah terhadap organisasi kolektif.
Mereka punya semacam LPDB versi maple syrup lembaga pendanaan khusus buat koperasi kreatif, dengan bunga rendah dan pendampingan legal gratis. Ini bikin seniman bisa fokus berkarya tanpa harus ngutang ke rentenir atau jadi korban paylater.
Indonesia punya bahan bakar melimpah kreator muda, komunitas keren, budaya beragam, dan semangat digital yang nggak kalah. Tapi semua itu bisa jadi bubur kalau nggak dikawal dengan sistem yang kuat. Koperasi lah jalannya bukan koperasi jadul tempat simpan panci, tapi koperasi modern yang paham pasar, teknologi, dan kolaborasi.
Menteri Teuku Riefky udah bawa napas segar dengan ASTA EKRAF. Menkop Budi Arie juga udah siap jadi pengantin pria koperasi yang siap berumah tangga. Jangan sampai ini cuma jadi kawin kontrak program. Harus beranak pinak dalam bentuk lapangan kerja, brand kreatif lokal mendunia, dan desa-desa kreatif tumbuh subur.
Ekraf dan koperasi ibarat nasi goreng dan telur ceplok. Sendiri-sendiri enak, tapi kalau disatukan? Surga. Tapi ingat jangan cuma ditumis sebentar. Masak sampai matang, biar siap disajikan ke rakyat.
Kalau Korea bisa ekspor boyband lewat koperasi, masa kita nggak bisa ekspor kreator lokal lewat koperasi juga? Yuk, jangan cuma nonton. Ayo bantu ngadain resepsi besar-besaran buat pasangan Koperasi x Ekraf. Dan jangan lupa, bawa kado regulasi yang ramah dan pendanaan yang bermanfaat.
Kalau Indonesia ingin ke arah sana, ya jalan kolaborasi seperti ini kudu dirawat. Jangan sampai koperasi cuma jadi tempat simpan beras, dan ekraf cuma dianggap kerjaan anak muda yang “kerjanya ngedit video doang”.
Padahal dua-duanya punya potensi besar, bahkan bisa ngalahin sektor formal kalau digarap serius. Saatnya koperasi dan ekraf benar-benar disatukan dalam sebuah ekosistem cinta ekonomi rakyat. Jangan cuma jadi teman tapi mesra yang cuma muncul pas ada event dan foto bareng. Kalau bisa kawin, ya kawin. Kalau bisa jadi kekuatan ekonomi baru, kenapa harus malu?
Dukung koperasi jadi rumah besar ekraf. Biar pelaku kreatif nggak terus-terusan nyari modal ke rentenir digital dan pinjol bertopeng startup. Jadikan koperasi sebagai pelindung, pengayom, dan promotor. Biar industri kreatif kita bukan cuma hidup, tapi juga punya masa depan cerah secerah filter IG di jam 5 sore. Jangan sampai generasi kreatif kita cuma jago bikin konten tapi gak bisa bikin invoice. Ayo, kita kawinkan koperasi dan ekraf. Siapkan undangan, sewa tenda, dan pastikan nasi kotaknya cukup!.[***]