Hukum

Menkes Menang di PTUN, Kolegium Kesehatan Sah Berlaku

kemkes.go.id

SIDANG di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis (18/9), terasa seperti laga final yang ditunggu-tunggu, ada dokter spesialis yang ngotot, ada pemerintah yang percaya diri, dan ada hakim yang akhirnya meniup peluit penentu, gugatan kandas, putusan Menkes tetap sah

Ya, kira-kira begini, para dokter spesialis menganggap proses penetapan anggota kolegium terlalu “dibajak” pemerintah. Sementara Kemenkes cuek bebek, mereka bilang semua sudah sesuai aturan, lalu masuklah PTUN sebagai wasit, hasilnya? pluit panjang ditiup, skor final antara Menkes 2 – Dokter 0.

Keputusan Menkes Nomor HK.01.07/MENKES/1581/2024 jadi sumber ribut, isinya menetapkan siapa saja anggota Kolegium Kesehatan Indonesia periode 2024–2028. Para dokter spesialis merasa mekanismenya tidak sesuai prinsip independensi profesi, mereka menggugat.

Tapi hakim PTUN punya pandangan lain, dalam sidang, majelis menegaskan bahwa Menkes punya kewenangan atributif, artinya itu hak bawaan dari undang-undang untuk menetapkan anggota kolegium. Tidak bisa ditawar-tawar, apalagi diperdebatkan. Semua juga sudah sesuai UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, PP Nomor 28 Tahun 2024, dan Permenkes Nomor 12 Tahun 2024.

Poin menariknya, hakim juga bilang meskipun anggotanya ditetapkan Menkes, independensi kolegium tetap utuh. Jadi jangan takut, kolegium masih bisa menyusun standar kompetensi dokter, merancang kurikulum, dan menjalankan peran akademiknya tanpa disetir dari meja pejabat.

Di titik ini, kita bisa melihat putusan PTUN bukan hanya sebagai berita “Menkes menang lagi”, tapi juga sebagai pintu masuk untuk rekonsiliasi. Seandainya, kalau perseteruan ini dibiarkan, mahasiswa kedokteran bisa jadi korban, tenaga medis bingung, bahkan rumah sakit pun kena imbas.

Nah, dengan kepastian hukum ini, mestinya para pihak bisa move on. Dokter spesialis, organisasi profesi, perguruan tinggi, dan pemerintah bisa duduk semeja, ngopi bareng, sambil ngomongin hal yang lebih penting, bagaimana meningkatkan mutu tenaga kesehatan Indonesia.

Kalau terus ribut, sama saja kayak dua orang rebutan setir di mobil yang ada malah mobilnya nabrak. Padahal tujuan semua pihak jelas sama, memastikan masyarakat dapat layanan kesehatan yang lebih baik.

Kalau dipikir-pikir, sengketa ini agak mirip dagelan, ada yang merasa dicurangi, ada yang yakin sesuai aturan, dan ada hakim yang jadi tukang wasit. Persis kayak pertandingan futsal antar-RT, ada tim yang protes gol dianulir, ada yang teriak “fair play!”, lalu wasit dengan wajah tebal bilang, “Lanjut main aja!”.

Misi mulia

Bedanya, ini bukan futsal, taruhannya bukan piala plastik, tapi masa depan sistem Kesehatan Nasional, jadi meskipun kelihatannya lucu karena debatnya kadang lebih ribut daripada emak-emak rebutan kursi arisan, isi ceritanya serius banget.

Dari kasus ini, ada pelajaran penting, yakni  jangan sampai ego sektoral mengalahkan tujuan bersama, dokter, pemerintah, dan kolegium sama-sama punya misi mulia, mereka menjaga mutu tenaga medis, agar masyarakat dapat pelayanan kesehatan yang bermartabat.

Terlalu sibuk memikirkan siapa yang pegang stempel bisa bikin lupa, bahwa yang seharusnya diurus adalah kualitas kurikulum, standar kompetensi, dan kemampuan dokter Indonesia menghadapi tantangan global.

Kalau diibaratkan, ini kayak orang rebutan kunci rumah, tapi lupa kalau atap rumahnya bocor. Yang dibutuhkan bukan siapa yang paling berhak pegang kunci, tapi siapa yang mau naik genteng buat tambal kebocoran.

Putusan PTUN dinilai bisa jadi momentum penting, karena  pertama, meneguhkan posisi pemerintah sebagai regulator yang sah, sehingga tidak ada lagi tarik-menarik soal legalitas. Kedua, membuka peluang kolaborasi lebih sehat antara profesi dan negara.

Kolegium kini punya kepastian hukum untuk bekerja, pemerintah punya pijakan kuat untuk mengawasi, dan masyarakat punya harapan bahwa kualitas tenaga medis akan meningkat. Tinggal sekarang, apakah semua pihak mau menurunkan tensi dan mengubah konflik menjadi sinergi?

Putusan PTUN Jakarta soal Kolegium Kesehatan Indonesia bukan sekadar menolak gugatan dokter spesialis. Ia menutup babak panjang sengketa hukum dan membuka jalan baru untuk kerja sama.

Kepala Biro Komunikasi Kemenkes, Aji Muhawarman, bahkan menegaskan independensi kolegium tetap terjamin dan kolaborasi dengan pemerintah akan berjalan baik, pesannya sederhana, mari berhenti ribut, mari kerja bareng.

Pada akhirnya, dunia medis butuh stabilitas, bukan keributan, butuh kepastian, bukan ketidakjelasan. Kalau semua pihak bisa menerima kenyataan ini, hasilnya bukan cuma kesehatan profesi, tapi juga kesehatan bangsa.

Pepatah lama bilang “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”,  dalam konteks kesehatan, pepatah ini bukan sekadar kata-kata manis, tapi resep mujarab agar pelayanan medis Indonesia makin tangguh di tengah persaingan global.[***]

Terpopuler

To Top