Sumselterkini.co.id, – Kalau biasanya ribut soal donor darah itu tentang siapa mau donor dan siapa butuh, kali ini hebohnya beda.
Seperti orang jatuh cinta tiba-tiba kena PHP, kasus ini bermula dari harapan mulia PMI Kota Palembang, eh, malah berujung jadi drama hukum yang panasnya melebihi kompor gas bocor.
Adalah Fitrianti Agustinda, mantan Wakil Wali Kota Palembang, dan suaminya Dedy Sipriyanto, yang kini bak dua ekor burung merpati terseret badai.
Mereka harus menghadapi tuduhan soal dugaan korupsi dana hibah dan biaya pengelolaan darah (BPPD), yang menurut kuasa hukum mereka sebenarnya bukan urusan negara, melainkan soal dapur internal PMI sendiri.
Ibarat orang masak tekwan di dapur sendiri, tiba-tiba dituduh pakai gas negara tanpa izin. Padahal gas beli sendiri, tekwan makan sendiri, tapi yang ribut malah satu kelurahan.
Dalam siaran pers Sabtu (26/4/2025), kuasa hukum mereka, Dr (c) Achmad Taufan Soedirjo, SH., MH., angkat suara. Mereka tidak tinggal diam melihat proses hukum yang, katanya, sudah lebih mirip sandiwara yang lupa naskah.
Palembang lagi-lagi mendidih, bukan karena cuaca panas atau wajan pempek yang lupa diangkat dari kompor, tapi karena geger kasus hukum yang melibatkan mantan Wakil Wali Kota Palembang, Fitrianti Agustinda, dan suaminya, Dedy Sipriyanto.
Keduanya kini sedang “diseret” ke meja hukum terkait dugaan korupsi dana hibah PMI dan biaya pengganti pengelolaan darah (BPPD). Tapi tunggu dulu, menurut tim kuasa hukum mereka dari ATS & Partners Law Firm, kasus ini jangan dulu ditelan mentah-mentah seperti makan kerupuk tanpa kuah model Palembang!
Dalam pernyataan tertulis yang dirilis pada Sabtu, 26 April 2025, kuasa hukum mereka, Dr (c) Achmad Taufan Soedirjo, SH., MH.,[ATS & Partners Law Firm mengungkapkan segudang keberatan. Mereka bahkan sudah sowan ke Ketua Umum PMI, Bapak Jusuf Kalla, untuk meminta kejelasan status dana yang dipersoalkan.
Dalam pertemuan itu, Jusuf Kalla menjelaskan dengan santai namun tegas Unit Donor Darah (UDD) PMI itu jalan sendiri alias swakelola, bukan ngemis dana ke APBN atau APBD. Jadi duit BPPD itu bukan uang negara, melainkan hasil “gotong royong” internal PMI. PMI juga punya hak penuh mengaudit diri sendiri tanpa perlu ribut-ribut dulu ke aparat.
Menurut JK, baru kalau ada kesalahan internal yang parah, barulah langkah ke penegak hukum diambil. Ibarat masak tekwan, harus cek bumbunya dulu sebelum bilang kuahnya keasinan.
Menurut tim hukum Fitrianti, ada sejumlah kejanggalan. Dari mulai pemanggilan klien tanpa surat resmi tapi sudah viral di medsos duluan, penyidik yang katanya lupa sama etika profesionalisme, sampai perubahan objek perkara yang bikin dahi berkerut.
Awalnya yang diusut adalah dana hibah, eh, tiba-tiba berubah jadi biaya pengganti darah. Padahal, kata kuasa hukum, urusan darah-darahan ini murni urusan dapur PMI dan tidak ada sangkut pautnya dengan uang negara.
Belum lagi, status dari saksi langsung meloncat jadi tersangka dan ditahan, padahal, menurut mereka, kerugian negara saja masih kabur entah ke mana, bahkan saat konferensi pers pun pihak kejaksaan katanya belum bisa menjelaskannya dengan gamblang.
Karena merasa proses hukum ini “dipaksakan kayak sandal jepit dipake lari maraton”, pihak kuasa hukum sudah melayangkan permohonan praperadilan. Harapannya, hakim yang menangani perkara ini bisa seprofesional mungkin tidak oleng diterpa angin opini, dan tetap tegak lurus seperti tiang bendera saat upacara 17 Agustus.
Mereka juga memohon doa dan dukungan dari masyarakat Palembang. Sebab, bagaimanapun, Fitrianti Agustinda diakui punya banyak jasa untuk kota ini. Salah satunya, di bawah kepemimpinannya, UTD PMI Palembang sukses meraih Sertifikasi CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) satu-satunya di Sumsel!
Artinya, dalam urusan darah, PMI Palembang bukan kaleng-kaleng. Mereka sudah memenuhi standar ketat, mirip pabrik obat-obatan kelas dunia, dengan sistem dokumentasi rapi, kontrol mutu berlapis, dan SOP yang melebihi sekadar “asal suntik asal jalan”.
Saat ini, klien mereka tetap tegar. Tetap siap menghadapi proses hukum, meskipun jalan terasa berbatu, kadang miring, kadang berlubang, dan kadang kayak jalan ke pasar 16 Ilir yang super macet.
Seperti pepatah Palembang, “Sabar itu setengah dari kemenangan, setengahnya lagi makan pempek biar kuat hadapi kenyataan,”. Drama ini masih panjang, sobat Palembang. Kita tunggu saja kelanjutannya, sambil ngunyah kemplang.[***]