Features

HUT RI ke-80 di Perum Pesona Harapan: Ketika Lomba, Tawa & Hutan Saling Sapa

foto :jan

MINGGU jarum jam menunjuk angka 10.00 WIB, tenda besi mungil berdiri kokoh di Jalan Utama Perum Pesona Harapan Jaya Tahap I RT 50 Kalidoni Palembang. Bendera Merah Putih kertas dan bahan kain sebagai hiasan meramaikan jalan itu terus berkibar seiring  angin meniup dari arah hutan, seolah-olah menari bersama semilir angin dari pohon kasia, gelam  jalan utama. Angin itu seperti sutradara rahasia, menepuk pundak peserta sambil berbisik, “Ayo, tertawa dan bermain sepuasnya!”.

Pohon-pohon di sekitar pisang akasia, karet, gelam, dan sawit terkesan semakin siang hari semakin akrab dan seolah menjadi  penonton setia bahkan terus melindungi warga setempat.

Daunnya bergoyang, memberi kesejukan alami, seakan ikut menertawakan gerakan anak-anak dan orang tua. Perum Pesona Harapan berdiri di tengah hutan kanan dan kiri masih semak belukar, menjadi paru-paru hidup yang menyejukkan, terutama saat matahari mulai meninggi dan panas siang terasa.

Anak-anak berlarian seperti ninja mini, balap karung menjadi medan perang dramatis, ada yang melompat seperti kelinci hiperaktif, ada yang tersandung lalu tertawa, dan ada pula yang jatuh sambil mengibaskan debu. Begitu pula lomba lainnya, seperti  bawa kelereng pakai sendok menghadirkan ketegangan lucu, mata melotot, tangan gemetar, kelereng menari bebas.

Namun puncak kocaknya adalah lomba roti ditaro di jidat. Ana, Inara, Icha, Diva, Natan, Acong dan bocah lainnya menatap roti tergantung dengan wajah serius setengah panik.

“Hoi, jangan goyang-goyang jidatnyo, gek rotinyo nyampak”, bisik Inara kepada sang adik Ana sambil menahan napas dan logat bahasa Palembang.

Inara, alis terangkat, menyeimbangkan roti sambil mengerutkan dahi. “Aduh, ini kayak PR sambil lompat tali,” gumamnya, pipinya merah.

Icha, si bocah iseng, tersenyum nakal. “Ana, jidatmu miring, itu roti bakal nyemplung ke rambutku!”

Diva menahan tawa. “Aku rasa ini lomba otot jidat, bukan lomba makan!”

Natan, si kecil ambisius, menatap roti sambil serius. “Kalau jatuh, jangan salahin aku ya. Aku siap jadi kompor roti!”.

Seiring siang tiba, matahari meninggi dan panas mulai terasa, anak-anak berkeringat, jidat mereka makin lengket, tapi tawa tetap pecah. Dua hutan di kanan dan kiri halaman menjadi penyelamat. Pohon-pohon tinggi menahan debu, menyejukkan udara, dan burung-burung tetap bernyanyi. Alam memberi napas segar bagi lomba yang makin riuh.

Orang tua ikut lomba joget balon dan tarik tambang. Balon meletus, tambang tersangkut sepatu, gerakan joget berubah menjadi tarian improvisasi kocak. Tawa mereka bercampur dengan teriakan anak-anak, desiran angin, dan bisikan daun, seolah alam ikut menepuk tangan hijau.

Ana menoleh ke pohon pisang akasia sambil berbisik, “Kalau pohon ni biso ngomong, pasti dio ngomong  ‘jangan nyampakke [jatuh] roti di tanahku!”.

Inara menimpali, “Iya, jangan sampai daun ikut ketawa”

Tawa bocah-bocah bergema di antara pepohonan, menegaskan bahwa alam ikut meramaikan lomba. Filosofi terselubungnya kebahagiaan manusia dan kelestarian alam saling terkait.

Bung Karno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, dan anak-anak yang ceria adalah cermin dari bangsa yang sehat”. (Pidato Proklamasi, 1945). Di halaman ini, kata-kata itu terasa hidup saat lomba roti lengket dijidat makin seru, raut wajah anak-anak jadi spektakel. Diva juga terlihat tampak tegang, mata melotot, jidat berkerut, tapi sesekali tersenyum konyol. Sementara Icha sering mengintip roti temannya sambil menahan tawa. Diva mengerutkan bibir sambil menahan geli, sedangkan Natan terus mengangguk yakin, meski jidatnya lengket roti.

Hahaha, aku cak ninja roti nih!” teriak Icha saat roti tergelincir sembari gunakan logat Palembang

“Eh, jangan bilang ninja, lebih kayak pesawat kertas jatuh!” sahut Inara dan yang lainnya.

Inara menahan tawa, “Kalau ini lomba tarik roti, aku pasti juara nasional!”

Sementara itu, orang tua yang ikut tarik tambang berseru “Awas, jangan seretku ke lumpur! Lututku protes!”

Suasana ini terkesan menunjukkan filosofi HUT RI kemerdekaan, bukan hanya bebas dari penjajahan, tapi bebas untuk bermain, tertawa, dan menjaga alam.

Di sela lomba, dialog bocah tetap mengalir

“Duh, jidatku lengket roti, panasnya nyebelin!” keluh Aska

“Tenang, jidat panas itu tanda patriot sejati, hehe!” sahut Acong

“Kalau panas gini, pohon di samping kita kayak bodyguard gratis, sejuknya luar biasa!” tambah Diva.

“Besok kita harus latihan lagi, panas bukan alasan kalah, tapi alasan makin kuat!” ujar Natan dengan semangat membara.

Dua hutan di kanan dan kiri halaman membuktikan filosofi sederhana, kemerdekaan adalah tawa, alam, dan generasi bahagia. Anak-anak meloncat, orang tua tertawa, daun bergoyang, semua bergerak harmonis dalam simfoni kecil yang manis, persis seperti negeri ini, merdeka, riang, dan penuh harapan.

Tawa alam

Hembusan angin sekali -kali masih menyejukan menembus ruang tenda, pohon-pohon tetap menatap, angin tetap berhembus seakan  berbisik, dan  berkata “Selamat ulang tahun, Indonesia. Lomba boleh usai, tapi cinta terhadap alam dan kebersamaan jangan pernah berhenti.”

Sore menjelang, angin bertiup lebih kencang. Daun-daun pisang akasia, gelam, dan karet bergoyang mengikuti ritme tawa anak-anak yang masih berebut kelereng dan roti. Semilir angin yang tadinya menepuk pundak kini menjadi saksi aktif membawa aroma tanah basah dari hutan kanan, desiran semak dari kiri, dan suara burung-burung seakan bertepuk tangan.

Di tengah keriuhan itu, filosofi terselubung dalam setiap perlombaan HUT RI ke-80 terlihat jelas, kemerdekaan bukan sekadar bendera berkibar atau seremonial resmi, melainkan kemampuan untuk tertawa, bermain, bersatu, dan menjaga lingkungan yang memberi kehidupan. Anak-anak meloncat-loncat, jidat lengket roti, wajah memerah, orang tua tersengal-sengal tapi tersenyum lebar dan alam di sekeliling memberikan kesejukan dan ruang.

Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” (di depan memberi contoh, di tengah membangkitkan semangat, di belakang memberi dorongan).

Di halaman Perum Pesona Harapan  RT50 Tahap I Kalidoni Palembang, pepohonan menjadi teladan kesabaran dan ketahanan, anak-anak menjadi penggerak semangat, orang tua menjadi penyemangat di belakang, semua bergerak dalam harmoni sederhana tapi bermakna.

Nelson Mandela (1918–2013) tokoh dunia asal Afrika Selatan  dikenal sebagai simbol perjuangan melawan apartheid, yaitu sistem pemisahan ras yang diterapkan di Afrika Selatan selama puluhan tahun. Mandela merupakan juga anggota African National Congress (ANC), organisasi yang berjuang melawan diskriminasi rasial.

Dan pada 1994, dia menjadi Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan memenangkan Nobel Perdamaian pada 1993 bersama Presiden F.W. de Klerk karena usaha mereka menghapus apartheid secara damai menegaskan, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” (Mandela, Long Walk to Freedom, 1994).

Katanya pendidikan di sini bukan buku atau sekolah, melainkan pengalaman hidup belajar disiplin, kerja sama, dan menghargai alam melalui permainan sederhana. Nah, kita hubungkan pernyataan itu, dengan semangat lomba di HUT RI, di balap karung, tarik tambang, dan lomba roti dijidat, kelereng, menjadi media edukasi paling menghibur yang mengajarkan nilai kebersamaan, kesabaran, dan sportivitas.

Pepatah lama relevan “Tanamlah pohon hari ini, agar tawa anak cucu mengalir besok”. Dua hutan di kanan dan kiri halaman bukan sekadar tanaman, mereka adalah paru-paru hidup, saksi bisu kemerdekaan, dan penjaga kesejukan. Anak-anak bermain di bawah naungan mereka, orang tua tertawa di sela lomba, dan angin membawa kisah itu ke setiap sudut halaman.

HUT RI ke-80 mengajarkan filosofi universal karena kemerdekaan adalah hak, tetapi kelestarian lingkungan adalah tanggung jawab. Lomba kampung dan tawa anak-anak menjadi refleksi manusia yang merdeka sekaligus bijak, seperti kata Soekarno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (Soekarno, Pidato Proklamasi, 1945). Sejarah bukan hanya perang dan proklamasi, tetapi juga tradisi, permainan, dan hubungan manusia dengan alam yang menjadikan kemerdekaan terasa hidup dan berkelanjutan.

Ketika nantinya tenda terakhir merayakan HUT RI ke-80 dibongkar, angin tetap berhembus kencang dan membuat pohon-pohon bergoyang liar. Suara daun berdesir, seolah berkata “Selamat ulang tahun, Indonesia.

Lomba boleh usai, tapi cinta terhadap alam dan kebersamaan jangan berhenti”. Anak-anak pulang dengan pipi merah, jidat lengket, dan tawa tak kunjung padam.

Orang tua pulang tersenyum lebar, lelah tapi puas, membawa memori  kemerdekaan sejati adalah perpaduan antara tawa, kerja sama, dan rasa hormat terhadap bumi.

“Lomba-lomba di HUT RI Perum Pesona Harapan Tahap 1 Rt 50, Kalidoni Palembang memang bikin tegang, bikin keringetan, dan kadang bikin kita melotot lihat lawan main, tapi percayalah, kita tidak melihat harga hadiahnya. Yang lebih penting adalah tawa yang meledak-ledak, kebersamaan yang tercipta, dan pengalaman yang ‘mengajar’ kita tentang saling peduli dan bekerja sama. Seperti kata Nelson Mandela, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Nah, di sini, kita sedang ‘didik’ diri untuk menghargai kebersamaan, canda tawa, dan momen-momen sederhana yang sebenarnya lebih mahal daripada emas batangan atau voucher belanja”.

Warga Perum Pesona Harapan Tahap 1 RT 50 juga membuktikan kemerdekaan bisa dirayakan sederhana, penuh kegembiraan, tetapi tetap menyentuh hati dan memberikan pelajaran berharga tentang kelestarian alam.  Tawa dan hutan berdampingan, anak-anak bermain, orang tua tertawa, dan alam tetap menari harmoni sempurna yang mengingatkan kita semua bahwa kemerdekaan sejati lengkap bila manusia hidup selaras dengan bumi yang memberi kehidupan.[***]

Terpopuler

To Top