Rumah boleh habis dilalap api, tapi tidak dengan semangat dua ibu ini. Bu Agustina [38] dan Bu Samsila [60] berdiri di antara puing dan arang, bukan untuk meratapi nasib, tapi untuk memastikan bahwa esok masih bisa disambut, meski dengan tangan kosong dan hati yang tetap penuh harapan.
Di Desa Karang Agung, saat malam sudah larut dan ayam belum sempat mimpi bertelur, dua rumah mendadak berubah jadi lentera raksasa yang menyala tanpa permisi.
Bukan karena listrik PLN mendadak naik level jadi festival, tapi karena seekor “obat nyamuk bakar” memutuskan untuk pensiun secara dramatis dengan melompat ke tumpukan kain dan perabot, lalu menyulutnya seperti kembang api malam tahun baru.
Waktu menunjukkan pukul 00.35. Itu jam di mana manusia seharusnya mimpi jadi sultan, bukan mendadak jadi pengungsi. Tapi itulah yang dialami Bu Agustina dan Bu Samsila. Rumah mereka, yang dibangun dari hasil kebun dan peluh bertahun-tahun, lenyap dalam hitungan menit, dilahap api tanpa sisa, kecuali puing-puing dan kenangan yang kini hanya bisa mereka ingat sambil menatap langit.
Kata orang tua dulu “Kalau rumah terbakar, yang paling dulu hangus itu bukan genteng, tapi tenang”
Bu Agustina adalah seorang petani, kini hanya bisa memeluk anak-anaknya, Jaka dan Marwa. Yang dulunya rumah mungil, mereka penuh gelak tawa dan aroma sambal tomat, kini hanya tersisa bau arang dan suara jangkrik yang sok simpatik.
Sementara Bu Samsila, buruh tani yang dikenal murah senyum, meski gigi tinggal separuh regu, kini duduk termenung di Musala desa.
Tangannya terus meremas ujung kerudung, seolah masih tak percaya bahwa buku nikah, ijazah anak, hingga panci warisan dari mertuanya kini sudah berubah jadi debu yang beterbangan.
Katanya sambil tertawa kecil yang getir “Ya Allah, bahkan sandal jepit sebelah aja ikut hilang, padahal sebelahnya udah pensiun dari dua Lebaran lalu”.
Tapi Karang Agung bukan kampung biasa. Ini kampung yang kalau ayam hilang, warga rela bangun jam tiga buat razia kandang. Jadi saat dua rumah ambruk dilalap api, warga langsung gotong royong. Bukan cuma membawa sembako, tapi juga membawa pelukan, doa, dan cerita lucu agar korban tetap tersenyum.
Ada yang menyumbang panci, meski gagangnya copot. Ada juga yang memberi baju, meski ukurannya lebih cocok untuk anak SMA daripada Bu Samsila. Tapi semua diterima dengan lapang dada. Sebab di desa ini, keikhlasan tak perlu ukuran, seperti kata pepatah kampung “Baju boleh pinjaman, tapi senyum harus orisinal”.
Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin tak tinggal diam. Lewat Tim Tagana dan Kasi Kesos, bantuan dikirim secepat kabar gosip di grup WA RT.
Bupati H. M. Toha bahkan mengirim pesan simpatik yang tak cuma formal, tapi juga mengandung empati. Ia minta semua pihak membantu dan mengingatkan agar obat nyamuk bakar mulai diperlakukan seperti makhluk hidup karena sekali lepas kendali, bisa lebih jahat dari mantan yang balikan demi motor.
Malam itu, rumah boleh jadi abu. Tapi kehangatan kampung justru terasa lebih nyata. Di balik musibah, lahir banyak tangan yang ingin memeluk. Bahkan anak-anak muda desa rela iuran buat beli karpet agar Bu Agustina dan Bu Samsila tak lagi tidur beralaskan tanah.
Dan malam-malam setelahnya, ketika mereka mulai tidur di pos ronda sambil menatap bintang, ada satu hal yang tak ikut terbakar harapan.
Karena dalam setiap musibah, selalu ada kesempatan untuk kita saling menyelamatkan. Dan di desa ini, mereka tak hanya tahu cara menanam padi, tapi juga tahu cara menanam kasih sayang.”Api memang bisa membakar rumah, tapi tidak bisa membakar gotong royong,” kata Pak Kades, sambil menyeka peluh dengan handuk yang ternyata hasil hadiah dari undangan sunatan dua bulan lalu.
Kadang hidup memberi kita pelajaran dalam bentuk arang. Tapi dari situ pula kita belajar bahwa rumah bisa dibangun ulang, tapi hati yang tabah dan masyarakat yang saling menolong, itulah pondasi yang tak bisa dibakar.
Dan buat kamu yang masih nyalain obat nyamuk dekat tirai plastik, ingatlah…Obat nyamuk itu kecil, tapi bisa bikin kamu tinggal di tenda BPBD.[***]