-“Cerita Kocak Penuh Makna dari Pinggiran Hidup”-
BUKAN di jalan utama, bukan pula di tengah kota. Tepatnya di tikungan mesra Perumahan Griya “Gak Mau Pake Judul”, tiga makhluk tangguh sedang bekerja Yonyon si pemborong veteran, Tambi si tukang multitalenta, dan Yoyok si kenek dengan skill pas-pasan tapi mulut premium.
Jam 10 pagi. Matahari udah kayak lampu sorot konser, nyinarin ubun-ubun tanpa ampun. Tapi anehnya, lokasi tetap adem. Anginnya lembut, kayak ucapan selamat pagi dari gebetan yang udah nikah sama orang lain.
Mereka sedang pasang batu satu, pekerjaan paling mendasar dan membosankan, tapi katanya paling sakral. Kata Yonyon, ini bukan sekadar naruh batu, tapi naruh harapan.
“Yok, naruh batunya lurus. Jangan kayak niat mantan pas ngajak balikan,” seru Tambi sambil nyambungin benang waterpass.
“Lurusin hati dulu, baru batu,” tambah Yonyon yang suka tiba-tiba bijak kalau lagi lapar.
Yoyok? Dia sih naruh batunya sambil nyanyi, “Taruh batu di hatimu, biar nggak kosong pas gajian.”
Filosofi besi & pertemanan tukang – inilah momen dimana Tambi berubah jadi Mario Teguh versi garukan.
“Yok, liat nih. Satu besi sendirian cuma bikin orang kesandung. Tapi kalau diikat rapi, bisa jadi pondasi. Persis kayak temen sendirian bisa nyakitin, tapi rame-rame bisa jadi kekuatan… asal gak toksik.”
“Kalau salah ikat, Bi?”
“Sama kayak salah pilih partner. Bisa bikin fondasi hidupmu retak! Makanya sebelum kawin, ukur dulu karatnya!”
Yonyon ikut nimbrung dari balik ember semen, “Ngukur besi tuh kayak nyari jodoh. Harus sabar, jangan nafsu. Soalnya yang buru-buru biasanya… bengkok!”
Sabtu = Gajian = Harapan Tipis
Menjelang sore, angin makin manja. Suasana kayak iklan teh botol tapi versi tukang. Yoyok udah cuci tangan tiga kali, padahal kerja belum selesai. Mungkin udah latihan buat makan bakso nanti.
Yonyon ambil buku lusuh, nyoret angka-angka, dan ngumumin gaji.
“Yok, ini upah kamu. Tapi inget ya, jangan sampe gaji Sabtu, Senin tinggal kenangan.”
“InsyaAllah, Pak. Saya niat nabung… walau Shopee udah mulai ngegodain.”
Tambi tertawa, “Simpan dulu, Yok. Dunia ini keras. Tapi dompet harus tetap lentur.”
Mereka duduk di tembok separuh jadi, nyeruput kopi sachet yang diseduh pakai air galon sisa. Nikmat. Tertawa jadi lauk, cerita jadi camilan.
“Rumah bagus dimulai dari batu pertama,” kata Yonyon, “yang dipasang dengan niat, bukan asal naruh kayak janji caleg.”
Tambi nyeletuk sambil korek gigi pakai besi beton kecil, “Jangan remehkan kenek. Kadang dia yang nyelametin kita dari salah ukuran.”
Yoyok nambahin sambil nyedot kopi, “Yang penting bukan besar kecil proyeknya, tapi besar kecil hatinya ngerjain.”
Pesan moral ala tukang “Dalam hidup, jangan buru-buru. Batu aja kalau ditumpuk sembarangan bisa roboh. Apalagi perasaan.”
“Besimu boleh pendek, tapi kalau dirangkai bener, bisa nahan beban. Sama kayak cita-cita.”
Kalau yang ini bro cocok banget masuk rubrik “Pinggir Jalan”, edisi Sabtu – tema Hiburan tukang, perenungan ringan, dan tawa di sela debu bangunan.
Di balik batu yang dipasang miring-miring, dan besi yang dirangkai sambil nyeletuk, ada satu hal yang tidak miring niat baik dan kerja jujur. Di ujung sore, tawa mereka bukan cuma karena gaji turun, tapi karena hati yang ringan sebab kerjaan dijalani dengan semangat, bukan sekadar cari cuan.
Pepatah tukang hari ini yang bisa jadi bahan pelajaran “Hidup itu kayak pondasi rumah makin kuat pondasinya, makin tenang kamu tidur di atasnya. Dan pondasi paling kokoh, ya kerja yang jujur dan niat yang lurus, bukan cuma gaji yang mulus”.[***]
Catatan Redaksi: Cerita ini diangkat dari pengalaman nyata di dunia pertukangan, namun telah dibumbui unsur fiksi dan dialog imajinatif. Beberapa nama tokoh sengaja diganti demi menjaga privasi dan menambah kenikmatan bercerita. Jika kisah ini terasa akrab dengan hidup Anda, bisa jadi Anda pernah mendengar suara ketawa mereka dari balik adukan semen.