Features

Bertahan di Tengah Hutan, 9 KK Jud Nganti Air Balui, Transmigrasi Masih Menunggu Jalan Pulang

ist

– Hidup di Tengah Hutan, Bukan di Tengah Kota

SEANDAINYA hidup di tengah hutan tanpa jalan mulus, tanpa sinyal HP yang stabil, dan tanpa gampang belanja ke warung, inilah realitas 9 kepala keluarga (KK) di Jud Nganti Air Balui, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan. Mereka ibarat penumpang kapal yang sudah berlayar jauh, tapi pelabuhan belum jelas arah. Bertahun-tahun bertahan, mereka seperti menunggu bus yang tak kunjung lewat di terminal kosong.

Namun, jangan salah, di balik hutan lebat dan keterbatasan, masih ada semangat yang tak pernah layu. Mereka tetap bertahan, dengan harapan suatu hari ada “jalan pulang”, bukan sekadar jalan setapak penuh lumpur, tapi jalan pembangunan yang nyata.

Nah, datanglah Tim Ekspedisi Patriot Universitas Diponegoro (Undip), dengan semangat mahasiswa yang mirip anak pramuka, mereka menembus belantara untuk mendengar langsung curhat warga. Hasilnya? Terkuak banyak masalah, yakni keterisolasian, akses pendidikan terbatas, hingga lapangan kerja yang nyaris seperti ilusi.

Kalau di kota mahasiswa sibuk demo minta “reformasi”, di Air Balui suara rakyat kecil lebih sederhana. “Pak, Bu… tolonglah jalan kami diperbaiki”. Kadang permintaan yang sederhana justru lebih masuk akal ketimbang janji kampanye yang sering seperti asap nampak tapi sulit dipegang.

Kegiatan ini menjadi langkah awal yang penting dalam memetakan permasalahan kompleks yang dihadapi masyarakat transmigrasi di Jud Nganti Air Balui. Tim Ekspedisi Patriot Undip berkomitmen untuk terus mendampingi dan mengadvokasi kebutuhan warga, dengan harapan mendorong solusi nyata dari pemerintah dan pihak terkait.

Kehadiran tim ini tidak hanya memberikan harapan, tetapi juga menjadi pengingat bahwa perjuangan masyarakat transmigrasi untuk kehidupan yang lebih baik layak mendapat perhatian dan dukungan dari semua pihak.

Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Muba, Herryandi Sinulingga, menyampaikan bahwa semua kendala yang dihadapi warga transmigrasi akan ditindaklanjuti sesuai rekomendasi hasil penelitian dari Tim Patriot Undip.

Dia menegaskan pentingnya sinkronisasi rekomendasi tersebut dengan program Pemkab Muba dan Kementerian Transmigrasi untuk perencanaan pembangunan yang lebih baik di masa mendatang.

Orang bijak bilang, “Sabar itu pahit, tapi buahnya manis”, warga di Air Balui sudah kenyang makan sabar, tapi buahnya belum juga ranum. Kalau pemerintah benar-benar serius, seharusnya sabar mereka sudah berbuah durian montong, bukan sekadar biji kosong.

Mereka tidak menuntut istana megah atau mall di tengah hutan, cukup jalan yang bisa dilalui, sekolah yang memadai, dan akses kesehatan yang tidak harus pakai GPS atau perahu karet.

Transmigrasi dulu digadang-gadang sebagai program unggulan, seperti perahu penyelamat bagi rakyat. Tapi kalau perahu itu bocor, siapa yang mau mendayung? Warga Air Balui membuktikan bahwa mereka masih sanggup bertahan, tapi daya tahan ada batasnya.

“Air tenang menghanyutkan, tapi jalan rusak bisa mematikan harapan”, itu kata pepatah, oleh sebab itu, kalau pemerintah tak segera turun tangan, jangan salahkan kalau semangat warga transmigran semakin layu.

Kisah 9 KK di Jud Nganti Air Balui ini adalah alarm, bukan sekadar berita biasa, tapi cerita tentang mereka yang hidup di pinggiran pembangunan. Mereka tidak minta istimewa, hanya ingin jalan pulang ke arah kehidupan yang lebih layak.

Ada pepatah berbunyi “Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga”. Begitu pula janji-janji pembangunan, sehebat apapun narasinya, pada akhirnya rakyat yang akan menguji kebenarannya.

Maka, mari jangan biarkan mereka jadi sekadar angka dalam laporan, tetapi jadikan cerita mereka sebagai jalan menuju kebijakan yang benar-benar menyentuh. Karena pembangunan sejati itu bukan soal gedung tinggi di kota, tapi tentang jalan kecil di hutan yang bisa mengantar anak-anak transmigran pulang dengan selamat.[***]

Terpopuler

To Top