BICARA inflasi, sebagian orang langsung membayangkan ekonomi yang rumit, grafik naik-turun, atau istilah aneh yang cuma ekonom dan mahasiswa semester tua yang ngerti. Tapi buat emak-emak di pasar Randik, inflasi itu simpel aja, harga cabe naik, bibir langsung nyerocos panjang daripada daftar utang warung.
Nah, biar kondisi kayak gitu nggak bikin rakyat makin pusing, pemerintah pusat dan daerah harus jalan bareng, kayak pasangan pengantin baru yang lagi mesra, bukan kayak mantan yang saling blokir di WhatsApp, dan ini bukan teori belaka, tapi jadi topik serius dalam Rakor Pengendalian Inflasi Daerah 2025 yang dipimpin langsung Sekjen Kemendagri, Komjen Pol. Tomsi Tohir.
Rapatnya sih formal, tapi isinya penting banget gimana cara pemerintah pusat dan daerah bekerja sama supaya inflasi nggak kayak karet gelang, makin lama makin mulur, dari pusat udah disiapin program strategis, antara lain makanan gratis, Program 3 Juta Rumah, koperasi Merah Putih, sampai peningkatan fasilitas kesehatan.
Di daerah, contohnya di Musi Banyuasin (Muba), langkah konkret pun digeber.
Bupati Muba, H. M. Toha Tohet, lewat Asisten Bidang Perekonomian Alva Elan, menegaskan kalau mereka nggak cuma duduk manis ngopi sambil nunggu arahan pusat.
Nggak, bro.. mereka justru bergerak cepat, koordinasi lintas sektor, dan bikin sistem biar harga kebutuhan pokok tetap waras, karena kalau harga minyak goreng naik terus, bisa-bisa gorengan jadi barang mewah dan tahu isi jadi simbol perjuangan rakyat.
Misalnya inflasi kayak sambal di meja makan, kalau pas, bikin lahap, tapi kalau kebanyakan, perut bisa panas dan dompet ikut kering.
Inflasi itu boleh ada, malah perlu, tanda ekonomi bergerak, kalau kebablasan, efeknya bisa berantai, yakni harga naik, daya beli turun, dan masyarakat makin ngos-ngosan.
Oleh karena itu, sinergi pusat dan daerah itu ibarat koki dan dapur, pusat yang nyiapin resep kebijakan, tapi daerah yang masak di lapangan. Kalau salah koordinasi, bisa-bisa masakannya gosong, karena APBD seret, harga melambung, dan rakyat cuma bisa bilang “ya sudahlah, yang penting masih bisa ngopi sachet”.
Bahkan sebenarnya, Pemkab Muba itu udah paham betul soal ini, mereka jaga stok barang, pantau harga, dan ajak semua stakeholder buat ngontrol distribusi. Ibaratnya main bola, semua pemain diajak turun ke lapangan, bukan cuma penonton yang sibuk teriak “ayo dong kerja!” dari tribun.
Selain urusan inflasi, rakor itu juga bahas Program 3 Juta Rumah dan koperasi Merah Putih, ini bagian menariknya sebab, pemerintah pusat pengin semua rakyat punya rumah, bukan cuma punya harapan, karena kalau rakyatnya masih ngontrak terus, gimana mau bahagia?
Muba juga ikut dukung program itu, mereka sadar, rumah bukan cuma bangunan dengan genteng dan tembok, tapi simbol stabilitas dan kesejahteraan. Seandainya rakyat punya rumah, punya akses kesehatan, dan harga bahan pokok stabil, maka hidup terasa tenang kayak tidur siang habis makan rendang.
Bahkan Koperasi Merah Putih juga jadi bumbu tambahan, karena koperasi ini bukan koperasi modal semangat, hasilnya entar dulu, he..he, namun koperasi yang dapat diharapkan, bisa memperkuat ekonomi rakyat dari bawah, karena sejatinya, ekonomi yang kuat bukan yang dikuasai segelintir, tapi yang bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat.
Ada pepatah bijak yang cocok banget buat kondisi sekarang “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, jangan cuma dijinjing pas difoto seremonial”.
Artinya, kalau pusat dan daerah benar-benar mau menekan inflasi dan menyejahterakan rakyat, maka harus kerja bareng dari hati, bukan cuma dari podium. Kadang koordinasi itu kalah sama ego sektoral, dan hasilnya program bagus malah mandek di tengah jalan, kayak mobil mogok pas nanjak.
Namun berbeda di Muba yang punya semangat lain, mereka ngerti kalau inflasi bukan cuma tanggung jawab ekonom atau pejabat, tapi urusan bersama seluruh elemen masyarakat, karena ujungnya, rakyatlah yang merasakan langsung efeknya, baik itu di meja makan, di warung kopi, atau di pasar tradisional.
Kalau dilihat dari kacamata ekonomi, langkah Muba ini bisa jadi contoh penerapan ekonomi kolaboratif, di tengah gejolak global, dari harga minyak dunia sampai cuaca ekstrem dan daerah nggak bisa jalan sendiri.
Oleh sebab itu, inflasi bisa ditekan bukan cuma lewat intervensi harga, tapi lewat penguatan produksi lokal, distribusi efisien, dan komunikasi efektif.
Jadi kalau pusat dan daerah benar-benar seirama, bukan mustahil stabilitas ekonomi bisa terjaga.
Ibarat musik dangdut, kalau penyanyi, drummer, dan organ tunggalnya kompak, yang nonton pun ikut joget. Tapi kalau salah nada, yang ada penonton pada bubar.
Jadi semua ini, ada satu pelajaran berharga, seperti urusan ekonomi itu serius, tapi bukan berarti harus kaku, justru dengan pendekatan yang cair dan sinergi yang nyata, semua pihak bisa bergerak bareng dengan semangat positif.
Muba sudah menunjukkan langkah konkret menjaga harga, mendukung program rumah rakyat, dan membangun koperasi. Tinggal sekarang, bagaimana semangat itu bisa menular ke daerah lain,sejatinya, membangun bangsa itu, seperti masak sayur lodeh perlu bumbu pas, api stabil, dan tangan yang sabar.
Kalau boleh sedikit bercanda, semoga inflasi tahun ini bisa inflasi tipis-tipis aja, biar harga cabe masih bisa dikejar, dan rakyat tetap bisa makan sambal tanpa keringat dingin. “Kalau pusat dan daerah bisa jalan seiring, rakyat tak cuma dapat janji, tapi juga kenyang dan tenang”.[***]