DI PALEMBANG, ada satu kisah yang bikin emak-emak lebih semangat daripada nonton sinetron jam tujuh malam. Namanya Pasar Murah Pemkot Palembang. Wali Kota H. Ratu Dewa, yang biasanya sibuk dengan urusan birokrasi, tiba-tiba turun langsung meninjau. Lengkap dengan kupon yang dibagikan, warga Rusunawa Kasnariansyah pun antre dengan wajah penuh harapan.
Lho, kenapa?, karena di pasar murah ini, harga kebutuhan pokok bisa lebih ramah di kantong, misalnya saja, cabai yang di pasar tradisional sempat naik-turun kayak hubungan cinta anak muda, dari Rp75 ribu per kilo kini bisa ditebus Rp10 ribu per ons. Ayam juga tak lagi jumawa di harga Rp37 ribu per kilo, turun jadi Rp35 ribu. Sementara telur, ya, tetap setia di Rp24 ribu, tak goyah meski zaman gonjang-ganjing.
Ekonomi lokal itu sensitif, harga cabai naik sedikit saja, langsung jadi bahan gosip di dapur tetangga, kata orang bijak, “Kalau pedasnya cabai bisa bikin lidah terbakar, harganya bisa bikin dompet melepuh”. Di situlah pemerintah hadir, dengan menyelenggarakan pasar murah ini bukan sekadar jualan diskon, tapi juga alat pendingin inflasi.
Analogi gampangnya, inflasi itu kayak api dalam sekam, kalau dibiarkan, bisa menjalar ke mana-mana. Harga cabai naik, efeknya ke sambal pecel lele. Sambal mahal, lele sepi pembeli, pedagang lele merana, ekonomi kecil terganggu. Domino effect, istilah kerennya. Pasar murah ini jadi pemadam kebakaran kecil-kecilan.
Jangan salah, pasar murah tidak selalu bikin pedagang pasar tradisional ngedumel, justru, dengan harga lebih terkontrol, ekspektasi pasar ikut stabil. Orang yang tadinya malas belanja karena harga selangit, kembali bergairah, ekonomi lokal pun bergerak.
Seorang pedagang ayam di Pasar 16 Ilir sempat nyeletuk, “Syukur ada pasar murah, pembeli jadi balik lagi. Walau harganya ditekan, setidaknya dagangan nggak busuk di lapak”. Nah, ini menarik, ternyata kebijakan sederhana bisa bikin efek domino positif, bukan hanya bagi warga, tapi juga pedagang.
Orang tua dulu sering bilang, “Harga boleh naik, asal jangan harga diri”, dalam konteks ini, harga kebutuhan pokok kalau melambung, masyarakat bisa kehilangan harga diri untuk sekadar bertahan hidup. Masa iya, orang harus pilih antara beli cabai atau bayar listrik?
Tentu, pemerintah punya PR lebih besar, karena pasar murah memang manjur sesaat ini, tapi kalau distribusi dan rantai pasok tak dibereskan, harga tetap bak roller coaster. Jangan sampai program ini cuma jadi panggung politik, kayak obat sakit kepala yang hanya menenangkan sebentar tapi penyakit aslinya tak pernah sembuh.
Coba kita lihat lebih jeli, ada tiga hal menarik dari pasar murah, pertama efek psikologis, misalnya masyarakat merasa ditolong pemerintah. Ini penting, karena rasa tenang bisa meredam kepanikan pasar, ke dua, efek ekonomi, harga stabil, daya beli meningkat, pedagang tradisional ikut terdorong, dan ke tiga efek sosial, ada interaksi, canda tawa, dan suasana gotong royong, pasar murah jadi ajang silaturahmi.
Namun, ada jug,a sindiran kecil, kalau setiap minggu warga harus antre kupon pasar murah, artinya daya beli masyarakat memang sedang megap-megap. Inflasi tak bisa ditutupi hanya dengan diskon mingguan, harus ada kebijakan jangka panjang, dari distribusi logistik hingga pemberdayaan petani lokal.
Dari cerita ini, kita belajar bahwa stabilitas harga bukan sekadar angka di laporan Badan Pusat Statistik, itu soal nasi di piring rakyat, soal anak-anak yang bisa makan telur tanpa harus menunggu gajian, soal ibu-ibu yang bisa tetap tersenyum meski dompetnya tipis.
Pasar murah hanyalah satu jalan, tapi di balik itu, ada pesan moral pemerintah dan masyarakat harus sama-sama menjaga api inflasi agar tidak membesar. Pemerintah mengatur kebijakan, rakyat ikut bijak dalam konsumsi, jangan sedikit-sedikit menyalahkan pedagang, karena rantai masalah ada di hulu hingga hilir.
Pada akhirnya, pasar murah di Palembang ini bisa jadi contoh, inflasi, meski menyeramkan, bisa juga ditertawakan asal solusinya nyata. Seperti kata pepatah kocak, “Kalau harga cabai bikin pedas di lidah, jangan sampai bikin perih di hati”.
Semoga pasar murah bukan sekadar agenda mingguan, tapi inspirasi agar ekonomi lokal terus bergerak. Karena, seperti kata orang warung kopi “Rezeki itu memang diatur Tuhan, tapi harga cabai sebaiknya diatur pemerintah”.[***]