Ekonomi

“Pajak 0,065 %, Jangan Sampai Sapi Ikut Stress, Petani Jadi Pusing!”

ist

BICARA pajak, orang biasanya langsung manyun, sebab pajak itu mirip dengan mantan, mau dihindari susah, mau dilawan sakit hati, tapi kalau dijalani dengan ikhlas kadang bisa bikin hidup lebih tertata. Nah, kali ini Pemerintah Kota Palembang punya gebrakan, yakni tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) untuk lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan cuma 0,065 %

Kedengarannya kecil sekali, iya kan?, tapi di balik angka recehan itu, terselip drama besar antara isi kas daerah dengan isi perut rakyat.

Mari kita ibaratkan, petani itu seperti tukang ojek yang tiap hari nganter penumpang ke pasar, dia sudah ngos-ngosan kayuh sepeda, eh di ujung jalan masih kena portal retribusi, kalau pajak untuk petani terlalu tinggi, bisa-bisa mereka pusing, “Lah, aku yang nanam padi, aku yang kena keringat, kenapa malah negara yang kenyang?”.

Syukurlah, Pemkot Palembang lumayan peka, tarif 0,065 % itu bisa dibilang “pajak cabe rawit”, kecil, tapi rasanya tetap nyengat kalau tak diatur dengan hati-hati. Pepatah bilang “Jangan sampai ayam mati di lumbung padi”, artinya, jangan sampai petani hidup di tengah sawah tapi malah tekor gara-gara beban pajak.

Bayangkan kalau sapi bisa bicara, mungkin ia akan demo di depan Balai Kota sambil bawa spanduk “Rumput naik, pakan naik, jangan tambahin pajak kami, Moooo!”.

Lucu memang, tapi realitanya serius, peternak sudah berjibaku dengan harga pakan yang naik-turun macam roller coaster, kalau ditambah pajak besar, bisa-bisa sapi jadi kurus sebelum disembelih. Jangan-jangan nanti kambing juga protes “Kami dikorbankan Idul Adha aja sudah ikhlas, masak pajak juga numpang lewat?”

Kebijakan ini menunjukkan upaya mencari titik tengah, pemerintah butuh uang, itu jelas, kas daerah tak bisa hidup hanya dari doa rakyat dan sambal terasi. Tapi rakyat juga butuh hidup. Maka komprominya, tarif kecil untuk petani dan peternak, sambil tetap memutakhirkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Masalahnya, “memutakhirkan NJOP” itu, seperti ibu-ibu update status di WA, kadang lebay, kadang bikin kaget. Harga pasar naik sedikit, NJOP bisa langsung melompat macam kucing dikejar anjing, kalau tak hati-hati, rakyat bisa kalang kabut.

0,065 % ini memang angka “ajaib”, coba bayangkan kalau kita punya sawah 1 miliar (anggap aja sawahnya emas ya, biar keren). Pajaknya “cuma” 650 ribu setahun. Kedengarannya enteng. Tapi buat petani kecil yang sawahnya cuma secuil, hasil panennya pas-pasan, 650 ribu itu bisa setara biaya pupuk sebulan.

Pepatah Jawa bilang “Jer basuki mawa bea” – segala keberhasilan ada biayanya, tapi jangan sampai biayanya malah bikin rakyat jadi basah kuyup sebelum panen berhasil.

Kebijakan pajak yang adil itu ibarat nasi uduk, gurih, enak, dan mengenyangkan semua orang. Kalau terlalu asin (tarif tinggi), rakyat bisa sakit darah tinggi, kalau hambar (tarif terlalu rendah), kas daerah bisa kurus kering.

Oleh sebab itu,  pesan moralnya jelas, pajak harus berperikemanusiaan, jangan hanya melihat angka, tapi lihat juga keringat yang menetes dari dahi petani, dengar suara sapi yang menguak minta pakan, rasakan cemasnya peternak saat harga ayam jatuh.

Kita beri tepuk tangan dulu untuk Pemkot Palembang, karena punya kebijakan pro-rakyat dengan tarif 0,065%, namun ada beberapa catatan, antara lain sosialisasi jangan nanggung- jangan sampai petani bingung cara ngitung pajak, pajak itu kayak resep masakan, kalau penjelasan setengah-setengah, hasilnya bisa gosong.

Pastikan pelayanan pajak ramah,- jangan sampai petani sudah capek nyangkul, masih disuruh antre panjang, kasihan, kulit mereka sudah hitam karena matahari, jangan ditambah hitam hatinya karena pelayanan.

Pemutakhiran NJOP harus transparan,  jangan sampai rakyat merasa “kaget setengah mati” pas nerima SPPT, transparansi itu ibarat kaca jendela – semakin bersih, semakin terang pandangan.

Gunakan pajak untuk program nyata, misalnya, subsidi pupuk atau perbaikan irigasi, kalau pajak hanya untuk beli meja kantor baru yang empuk, rakyat bisa sakit hati.

Pajak 0,065 % untuk lahan produksi pangan dan ternak memang kecil, tapi dampaknya besar. Kalau dikelola bijak, bisa jadi contoh Nasional bagaimana pajak tidak melulu soal angka, tapi juga soal rasa, yakni -rasa keadilan, rasa kebersamaan, rasa empati.

Ingat pepatah Minang “Alam takambang jadi guru”, dari sawah, ladang, dan kandang, kita belajar bahwa hidup butuh keseimbangan. Pajak yang adil bukan hanya menyehatkan kas daerah, tapi juga menyehatkan hati rakyat.

Jadi, jangan sampai gara-gara pajak, sapi ikut stress, petani jadi pusing, dan rakyat kehilangan selera makan, ingat lagi, perut rakyat yang kenyang adalah modal terbesar untuk Palembang yang maju dan sejahtera.[***]

Terpopuler

To Top