DALAM kehidupan bernegara, pajak memiliki posisi yang sangat penting. Karena dengan pajak dari rakyat, Negara dapat membiayai segala pengeluarannya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pajak sendiri dapat diartikan sebagai iuran dari warga negara kepada negara, tanpa kontraprestasi Iangsung, dipungut berdasarkan undang-undang, dan dapat dipaksakan. Pengertian pajak ini berbeda dengan retribusi dan sumbangan. Pembayaran retribusi mempunyai kontraprestasi langsung, sedangkan sumbangan merupakan iuran yang diberikan kepada golongan tertentu.
Demikian disampaikan Pemerhati Perpajakan Hadi Poernomo dalam Webinar Hukum Bisnis – “Pajak dan Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Universitas Krisnadwipayana pada Selasa (31/8/2021).
Fakta yang terjadi, lanjut Hadi Poernomo, tax ratio Indonesia dalam 5 tahun ke belakang terus mengalami koreksi. Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Tercatat sebesar 10,37 persen pada 2016, lalu merosot ke level 9,89 persen pada 2017, naik tipis ke 10,24 persen pada 2018, pada 2019 kembali turun ke posisi 9,76 persen dan merosot menjadi 8,33 persen pada 2020.
“Ironisnya, hal tersebut bertolak belakang dengan prestasi penerimaan perpajakan selepas terjadinya krisis moneter yang meluluhlantakkan perekonomian Indonesia pada 1998,” kata Hadi.
Menurutnya, saat itu penerimaan perpajakan terus mengalami mengalami peningkatan. Tercatat tax ratio pada 2005 mencapai 12,6 persen. Padahal dampak Krisis Moneter yang berimbas krisis multi dimensi pada 1997-1998, menyisakan perekonomian yang morat-marit. Proses recovery berlangsung lama. Hingga 2001, negara kita masih tertatih-tatih bangkit dari keterpurukan.
“Pencapaian tersebut tidak didapat seperti membalikkan telapak tangan. Perlu kerja keras dari DJP (Direktorat Jenderal Pajak, red) untuk memastikan penerimaan perpajakan tersebut sesuai dengan target yang telah ditetapkan,” ujar Hadi.
Hadi Poernomo yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak mengungkapkan bahwa pemerintah secara konsisten menjalankan program integrasi data dalam sebuah SIN (Single Identity Number) Pajak melalui MoU ke berbagai instansi baik instansi pemerintah maupun swasta sebagai bagian dari reformasi perpajakan.
Reformasi Perpajakan
Sejak 1984, di Indonesia terjadi reformasi perpajakan (tax reform), yang mengganti sistem official assessment menjadi sistem self assessment. Berbeda dengan sistem sebelumnya, dalam sistem self assessment, Wajib Pajak diberi kepercayaan, anatara lain: (1) untuk mendaftarkan diri (guna memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan memperoleh Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak), (2) untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang dan atau dipotong/dipungut pihak lain.
Sedangkan aparat pajak berperan aktif melaksanakan tugas-tugas penyuluhan, pelayanan, pengawasan dan penerapan sanksi sesuai perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Namun, tanpa adanya alat bantu bagi aparat pajak, mustahil bagi aparat pajak untuk melakukan tugas-tugasnya. Jawaban dari permasalahan perpajakan tersebut adalah pemberlakuan SIN Pajak.
Ia menjelaskan, SIN Pajak adalah penyatuan data secara online dan terintegrasi seluruh data baik keuangan maupun nonkeuangan yang digunakan sebagai data pembanding atas laporan perpajakan dari wajib pajak. SIN sendiri adalah sebuah sistem informasi yang terintegrasi dimana berisi data-data baik finansial maupun nonfinansial.
Dalam UU KUP, konsep SIN sebagai manajemen informasi perpajakan dinyatakan sebagai kewajiban bagi setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal data dan informasi yang diberikan dianggap tidak mencukupi, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.InfoPublik (***)
Ril