Ekonomi

Bukan Warung Sembako Biasa, Koperasi Kini Ditemani KPK & Digitalisasi!

ist

MARI kita buka dengan pepatah warung kopi “Kalau nasi sudah jadi bubur, ya ditaburin ayam, bukan dibuang”
Begitu pula  dengan koperasi.

Kalau dulu sempat redup, bukan dibubarin, tapi dibenahi. Kini, dengan diluncurkannya 80.081 unit Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih oleh Presiden Prabowo di Klaten, kita kayaknya lagi menyaksikan ‘bubur’ koperasi yang dulu kelabu, kini disajikan hangat dengan topping gotong royong dan taburan teknologi digital.

Kita flashback dikit, dulu koperasi itu laksana motor bebek tahun 80-an, irit, tangguh, tapi kurang ganteng. Di desa-desa, koperasi jadi penyelamat emak-emak dari jerat rentenir. Tapi lama-lama, motor bebek ini mogok disalahgunakan pengurus, jadi alat politik lokal, dan ujung-ujungnya cuma “Ketua Koperasi Untung Duluan”

Nah sekarang, pemerintah seolah mau bilang “Cukup sudah Koperasi dijadikan pajangan rapat desa!”
Dengan Kopdes/Kel Merah Putih, koperasi gak cuma dimodalin, tapi juga didampingi, diawasi KPK dan Kejaksaan, dan diajak naik kelas pakai digitalisasi. Ini bukan revival ala sinetron, tapi reborn seperti Power Rangers dengan Zord baru!.

Coba lirik tetangga dan negara yang jauh-jauh, Finlandia Negara ini, gak cuma unggul PISA-nya, tapi koperasinya juga jadi fondasi.

Koperasi susu Valio sukses ekspor ke mana-mana, di sana, anak sekolah udah diajarin koperasi sejak kecil, bukan cuma diajarin cara bikin presentasi tentang cita-cita.

Jepang, JA-Zenchu (Japan Agriculture Cooperative) itu koperasi petani yang besar banget. Di Jepang, koperasi pertanian punya peran vital dalam distribusi pangan dan stabilitas harga. Petani Jepang itu bisa kaya, bukan karena undian berhadiah, tapi karena koperasi kuat.

Korea Selatan, Koperasi kredit di sana berkembang pesat karena literasi finansial dan kebijakan yang tegas. Mereka punya koperasi anak muda yang isinya usaha kreatif dari kafe sampai start-up teknologi.

Jerman, negara ini punya Volksbanken dan Raiffeisenbanken, koperasi bank yang sudah eksis sejak 1800-an. Di sana, koperasi bukan tempat ngerumpi, tapi pusat kekuatan ekonomi lokal.

Nah, kita? Kadang masih nganggap koperasi itu kaya sekretariat karang taruna: rame waktu pemilihan ketua, sepi pas bayar simpanan wajib.

Kita gak bisa berharap koperasi tumbuh kalau anak SD sampai mahasiswa taunya koperasi cuma tempat beli penghapus dan ciki. Harus mulai dari sekolah, ajarkan anak-anak logika ekonomi gotong royong, bukan cuma logika rebutan kursi OSIS.

Bayangkan ada pelajaran “Kewirausahaan Sosial Berbasis Koperasi” di sekolah menengah. Atau simulasi ekonomi koperasi di kampus, bukan sekadar studi kasus Starbucks dan Apple doang.

Karena apa? “Kalau anak muda tak kenal koperasi, maka tengkulak dan rentenir akan selalu punya masa depan”

Pegang 3 jurus

Bung Hatta, Bapak Koperasi kita, pernah bilang “Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong”. Bukan berdasarkan sikut-menyikut siapa cepat dia kaya

Sementara itu, Muhammad Yunus  peraih Nobel Perdamaian dan pendiri Grameen Bank dari Bangladesh menyebutkan”Credit is a human right. Microcredit should be used to establish a human-centered economic system”

Koperasi juga adalah microcredit versi kolektif. Tapi bedanya, bukan cuma modal yang dibagi, tapi nilai, semangat, dan keuntungan.

Oleh sebab itu, supaya gak jadi gajah di kertas, koperasi harus pegang tiga jurus naga, digitalisasi, Koperasi harus melek teknologi, bukan cuma WhatsApp grup pengurus, tapi juga platform e-commerce, aplikasi keuangan, hingga sistem audit digital.

Integrasi Usaha Desa, Kopdes harus jadi pusat kegiatan ekonomi desa: pupuk, beras, sembako, internet, bahkan ojek!

Pendampingan dan Pengawasan Real-Time, libatkan perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan aparat hukum. Jangan sampai koperasi jadi ATM keluarga pengurus.

Kalau program Kopdes/Kel Merah Putih ini berhasil, bisa jadi ini revolusi ekonomi diam-diam paling serius sejak reformasi. Tapi kalau gagal?, ya… siap-siap dengar kalimat legendaris, uangnya mana?

Karena itu, ayo awasi bareng-bareng, gerakkan dari akar rumput, dan ubah narasi koperasi dari tempat simpan pinjam menjadi pusat kemandirian ekonomi rakyat. Jangan sampai koperasi jadi seperti warung bubur: dipilih karena murah, tapi tak mengenyangkan.

Kalau anak-anak zaman now bisa bikin startup jual jajan Korea, kenapa gak bisa jadi pengurus koperasi digital desa yang omzetnya miliaran?

Tanamkan koperasi dari kecil, karena kalau gak dimulai dari sekolah, koperasi kita cuma akan jadi nostalgia masa lalu yang terus diulang di pidato-pidato.

Ingat kata Mbah-mbah dulu yang berat itu bukan rindu, tapi ngurus koperasi sendirian, rame-rame gotong royong.
Karena kalau bukan kita, siapa lagi?, kalau bukan sekarang, ya kapan warasnya ekonomi rakyat?

Mari hidupkan kembali semangat Pasal 33 UUD 45, bukan hanya di baliho dan spanduk peresmian, tapi di dapur warga desa yang akhirnya bisa belanja tanpa ngutang ke rentenir tiap akhir bulan.[***]

Terpopuler

To Top