DENGAN penghentian ekspor nikel, Kepala Negara memperkirakan akan terjadi peningkatan nilai ekspor hingga mencapai Rp290 triliun di akhir tahun 2021 ini.
Kebijakan pemerintah untuk menghentikan ekspor nikel bukan yang terakhir. Tahap berikutnya produksi bahan mentah bauksit dan tembaga juga didedikasikan akan dijadikan untuk pengolahan di dalam negeri.
Diperkirakan dari kebijakan ini ada peningkatan nilai tambah produk hilirasi tambang di akhir 2021 hingga USD20 miliar setara Rp290 triliun (kurs Rp14.500 per USD). Indonesia memang siap menghadapi gugatan dari Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait penyetopan ekspor nikel tersebut.
Disampaikan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di depan forum Kompas 100 CEO Forum di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/11/2021), Indonesia meyakini keputusannya adalah yang terbaik. “Kebijakan kita mengenai hilirisasi, ini akan kita teruskan. Kalau sudah kita setop (ekspor bahan mentah) nikel, nikel setop, meskipun kita dibawa ke WTO (World Trade Organisation) oleh EU (Uni Eropa), ya silakan enggak apa-apa. Ini nikel kita kok, dari bumi negara kita kok,” ujar Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi menegaskan, kebijakan hilirisasi industri ini akan memberikan nilai tambah sekaligus membuka lebih banyak lapangan pekerjaan di Indonesia. “Kita kirim raw material dari Indonesia ke Eropa, ke negara-negara lain, yang buka lapangan kerja mereka dong, kita enggak dapat apa-apa,” imbuhnya.
Pada kesempatan itu, Kepala Negara menerangkan, secara bertahap pemerintah tidak hanya menghentikan ekspor nikel namun juga ekspor bahan tambang lain seperti bauksit dan tembaga. Sejumlah smelter tengah dibangun untuk mengolah bahan mentah (raw material) tambang.
Dengan penghentian ekspor nikel, Kepala Negara memperkirakan, akan terjadi peningkatan nilai ekspor hingga mencapai USD20 miliar di akhir tahun ini. “Akhir tahun perkiraan saya, estimasi saya bisa 20 miliar dolar AS hanya dari kita setop nikel. Dan perkiraan saya, kalau nanti jadi barang-barang yang lain, perkiraan saya bisa 35 miliar (dolar AS) hanya dari satu barang. Sehingga nanti neraca perdagangan kita baik, neraca transaksi berjalan kita menjadi semakin baik,” ujarnya.
Di hadapan para CEO yang hadir, Presiden Jokowi menekankan agar semua pihak memiliki strategi yang sama terkait hilirisasi industri ini dan melakukan integrasi antara produk-produk yang ada di dalam negeri. Adapun saat ini Indonesia adalah negara penghasil nikel terbesar atau 27 persen berkontribusi untuk nikel dunia.
Indonesia menyumbang 72 juta ton cadangan nikel dari 139.419.000 nikel dunia. Australia hanya menyumbang 15 persen, Brasil 8 persen, Rusia 5 persen, dan lainnya 20 persen. Dengan begitu, artinya, Indonesia memiliki posisi tawar tinggi dalam pembangunan mobil listrik. Nikel dibutuhkan sebagai salah satu komponen sel baterai kendaraan listrik.
Sepanjang 2021, kebutuhan pengolahan hilir nikel disumbang, antara lain, dari PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), INCO, Aneka Tambang, PT Vale Indonesia, dan PT Virtue Dragon Nickel Industry. Pemerintah sendiri telah menggandeng industri luar dan dalam negeri dalam menyiapkan produk hilir dari bahan tambang.
Di Karawang New Industry City (KNIC), Jawa Barat, disiapkan menjadi lokasi pabrik baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) pertama di Asia Tenggara. Pabrik baterai tersebut dibangun oleh PT HKML Battery Indonesia yang merupakan perusahaan konsorsium LG Energy Solution, Hyundai Mobil, Hyundai Motor Company, dan KIA Corporation. Pabrik baterai tersebut menempati area seluas 319.000 meter persegi, dan ditargetkan mampu menghasilkan kapasitas produksi hingga 10 gigawatt hour (GWh) baterai pada tahap pertama.
Demikian pula, pendirian smelter Freeport Indonesia di Gresik Jawa Timur yang mengolah konsentrat tembaga ini hingga 1,7 juta ton dan mampu menyerap tenaga kerja 40 ribu orang. Sebelumnya, sebanyak 70 persen hasil tambang Freeport diolah di Spanyol. Diperkirakan mulai 2024 fasilitas produksi hilir tambang sudah siap berproduksi, mulai 2025–2026 pabrik baterai listrik sudah menuai hasil.
Untuk itu, Kementerian BUMN telah membentuk holding perusahaan baterai, Indonesia Battery Corporation (IBC) terdiri dari Holding BUMN Industri Pertambangan MIND ID (PT Indonesia Asahan Aluminium/Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero), dengan komposisi saham sebesar masing-masing 25%. Targetnya pada 2027, Indonesia menjadi pemain utama pasar baterai mobil listrik.
Ekonomi Hijau
Terkait pengolahan potensi hilirisasi industri dalam negeri, Presiden Jokowi juga mengingatkan, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam ekonomi hijau (green economy). Untuk itu, pemerintah perlu mulai menata ekonomi hijau tersebut karena di masa depan negara-negara di dunia mulai meninggalkan barang-barang yang berasal dari energi fosil.
“Di G20, omongan kita juga hanya itu-itu saja sudah, orang larinya ke sini semuanya, ke green economy. Dan kita sadar, kita mempunyai kekuatan besar di ekonomi hijau ini. Oleh sebab itu, nanti bulan depan kita akan memulai membangun green industrial park di Kalimantan Utara yang energinya dari green energy, dari Sungai Kayan,” ujar Presiden.
Potensi energi hidro (hydropower) atau tenaga air yang dimiliki oleh Sungai Kayan diperkirakan bisa memproduksi 11-13 ribu megawatt. Selain Sungai Kayan, Indonesia juga memiliki lebih dari 4.400 sungai baik sedang maupun besar yang juga memiliki potensi untuk menghasilkan energi hijau. “Sungai Mamberamo itu bisa kira-kira 24 ribu megawatt. Ini baru dua sungai. Kalau 4.400 sungai ini dilarikan ke hydropower, kita bisa membayangkan. Baru yang namanya hydropower,” imbuhnya.
Tidak hanya lewat energi hidro, Indonesia juga memiliki energi hijau lainnya dalam bentuk geotermal atau energi panas bumi yang berpotensi menghasilkan 29 ribu megawatt. Selain itu, terdapat juga potensi energi dari angin dan arus bawah laut.
Dua potensi dari pemanfaatan sumber daya dalam negeri lewat hilirisasi industri inilah yang mendorong lompatan kemajuan bangsa dalam beberapa waktu ke depan.
Indonesia.go.id (***)