INFLASI itu bagi akademisi bisa jadi bahan seminar serius, tapi bagi emak-emak di pasar cukup dilihat dari harga cabai, kalau cabai merah meroket, nada suara ikut meninggi, kalau bawang turun, senyumnya bisa selebar kipas angin.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian baru-baru ini mewanti-wanti para kepala daerah untuk serius mengendalikan inflasi. Soalnya, meski inflasi nasional relatif aman di angka 2,31 & (Agustus 2025), ternyata masih ada daerah yang “panas” di atas 3,5%. Nah, panasnya bukan cuma karena cuaca, tapi juga karena cabai merah dan beras yang bikin dapur mendidih.
Biasanya bawang merah bikin kita meneteskan air mata waktu ngupas, tapi bulan September ini justru bikin senyum. Dari 309 kabupaten/kota yang sempat menjerit karena harga naik di Agustus, kini hanya tersisa 31 daerah yang masih berderai air mata. Sisanya malah hepi karena harganya turun.
Pertanyaannya, kenapa bisa turun? Apakah konsumsi masyarakat tiba-tiba berubah, atau distribusi bawang merah akhirnya lebih merata?. Kalau kata pepatah, “air mengalir ke tempat rendah, harga pun turun bila distribusi lancar”. Artinya, ketika logistik lancar, petani di Brebes atau Enrekang bisa kirim pasokan tanpa drama macet di jalan atau tertahan di gudang.
Beras ini kan ibarat aktor utama di sinetron dapur Indonesia. nggak ada beras, nggak jalan ceritanya. Untungnya, operasi pasar Bulog bareng Bapanas berhasil jadi cameo yang menyelamatkan alur cerita. Dari 214 daerah yang sempat mengalami kenaikan harga beras di Agustus, kini tinggal 106 daerah di September, lumayan turun separuh lebih.
Namun, jangan buru-buru tepuk tangan, operasi pasar itu sifatnya sementara, ibarat obat sakit kepala, yakni gejala hilang, tapi penyakit bisa kambuh lagi kalau stok dan distribusi tidak beres.
Solusinya tentu bukan cuma jual beras murah di pasar, tapi juga memperkuat cadangan, memperbaiki irigasi, dan memastikan petani nggak rugi. Kalau petani tekor, bisa-bisa musim depan mereka malas tanam.
Ini episode klimaks sebenarnya karena, cabai merah, daging ayam ras, dan telur ayam ras, tiga komoditas ini memang bandel. Cabai merah naik sedikit saja, langsung trending topic. Orang bilang, “Hidup tanpa cabai hambar, tapi kalau harga cabai naik, dompet terasa terbakar”.
Sementara ayam dan telur pun sama, kalau harga ayam mahal, lauk jadi terbatas, kalau telur naik, anak-anak kos bisa demo karena menu andalan mereka telur ceplok ikut kena imbas.
Oleh sebab itu, dari drama ini, jelas bahwa inflasi di Indonesia bukan sekadar angka di papan statistik, tapi cerita nyata di dapur masyarakat, bawang merah turun karena distribusi lancar, beras agak terkendali karena intervensi pemerintah lewat operasi pasar. Tapi cabai, ayam, dan telur masih menantang karena sifatnya musiman dan tergantung pasokan pakan maupun cuaca.
Artinya, ada solusi jangka pendek oke, seperti operasi pasar, tapi solusi jangka panjang jauh lebih penting, misalnya perkuat sistem distribusi pangan (jalan, transportasi, gudang dingin), dorong produksi dalam negeri lewat dukungan ke petani dan peternak dan buka data harga secara transparan biar masyarakat tahu kondisi real, dan spekulan nggak gampang bermain.
Mendagri sudah benar mengingatkan kepala daerah agar duduk bersama dengan BPS, Bulog, BI, Kadin, hingga asosiasi pengusaha. Namun jangan sampai duduk bersama ini hanya jadi agenda rapat rutin dengan kopi dan snack. Pepatah Jawa bilang, “Ojo kebacut rembugan, ning ora ana tumindak”, artinya, jangan kebanyakan ngomong tanpa aksi nyata.
Jika, seringkali rapat koordinasi di daerah sudah megah, tapi pasarnya tetap gaduh, oleh karena itu, kepala daerah mesti lebih rajin blusukan ke pasar, dengar langsung suara pedagang dan pembeli, bukan hanya laporan angka di kertas. Ingat, angka inflasi yang manis bisa terasa pahit kalau harga cabai tetap bikin ibu-ibu menjerit.
Pada akhirnya, inflasi ideal bukan hanya sekadar sesuai target pemerintah (2,5% ± 1%), tapi juga terasa ramah di dapur rakyat. Kalau harga bawang, beras, cabai, ayam, dan telur bisa stabil, masyarakat akan lebih tenang.
Dan inflasi itu bukan soal angka kering, tapi soal nasi yang bisa tetap ngebul di meja makan. Pemerintah pusat, daerah, dan semua pihak harus kompak menjaga keseimbangan ini, karena, seperti pepatah bilang, “Perut kenyang, hati pun senang, perut lapar, semua bisa jadi lawan”. Maka, jangan anggap enteng drama dapur, pasalnya dari sanalah stabilitas bangsa kadang diuji.[***]