“Jangan biarkan dapur tetangga kebul, sementara kita sibuk selfie di ladang padi.”- Pepatah baru Wak Bek, saat nasi tinggal keraknya.
PAGI buta, jarum jam menunjuk angka 06.00 WIB, Wak Bek berdiri di depan warung nasi padang langganan. Pandangannya kosong menatap daftar harga, Ayam pop naik seribu, nasi tambah dua ribu, dan kuahnya gak lagi gratis.
“Adoohh… inflasi ini bukan sekadar angka, tapi kenyataan yang bikin perut dan dompet sama-sama kempes!” gerutunya sambil mengelus perut yang tinggal kenangan.
Tapi siang itu, kabar datang dari langit.. eh, maksudnya dari grup WA RW Palembang dan Subang teken MoU soal distribusi pangan, khususnya beras!. Wak Bek langsung tersedak kuaci. “Ini dia! Cinta segar dari sawah Subang untuk dapur Palembang!”
Ternyata beneran, Wakil Wali Kota Palembang, Pak Prima Salam, dan Wakil Bupati Subang, Pak Agus Masykur Rosyadi, bertemu dan tanda tangan MoU di kantor Bupati Subang. Mereka sepakat “Kita kerja sama biar rakyat nggak rebutan beras pas tanggal tua”.
Dalam acara yang juga dihadiri Perwakilan Bank Indonesia, mereka bicara soal rantai pasok, pengendalian inflasi, dan pentingnya kerja sama lintas daerah. “Beras itu bukan cuma komoditas, ia seperti cinta kalau distribusinya salah, yang kenyang cuma yang punya akses” – kata Mang Zenal, sahabat Wak Bek, yang sempat menyamar jadi staf gudang beras.
Di Jerman, ada istilah “Kartoffel Koalition” alias “koalisi kentang”, merujuk pada kerja sama antarpetani & pemerintah daerah untuk menjaga ketahanan pangan. Nah, Palembang – Subang ini mirip semacam Koalisi Karung, tapi versi tropis.
Coba kalau kita bayangkan begini kalau Subang itu sawahnya yang punya air melimpah, Palembang itu dapur yang kehabisan gas, jadi mereka saling isi yang satu punya panen, yang lain punya panci. Kolaborasi semacam ini bisa bikin harga beras gak naik kayak drone bocil di CFD.
Kerja sama antar daerah semacam ini harusnya jadi tren nasional, karena faktanya inflasi bahan pangan sering disebabkan distribusi yang macet, bukan semata stok kosong. Kota besar kayak Palembang butuh lumbung cadangan dari luar, karena lahan menyempit dan gaya hidup makin urban. Daerah penghasil seperti Subang bisa sejahtera bukan cuma karena panen, tapi karena jaringan pasarnya kuat.
Kalau MoU ini jalan beneran, bukan cuma seremoni ngopi-ngopi, maka rakyat bisa dapet dua hal harga stabil dan nasi matang tepat waktu.
Wak Bek langsung menggelar syukuran kecil, ia masak tumpeng inflasi, isinya nasi kuning dari Subang, sambal ekonomis buatan Mang Zenal, telur dadar disponsori harapan rakyat serta terakhit bonus kerupuk sumbangan emak-emak satu RT.
“Kalau semua daerah kayak Palembang -Subang, kita gak perlu demo soal harga minyak goreng tiap dua bulan” katanya sambil nyuapin Mang Zenal yang pura-pura batuk biar dikasih lebih.
MoU ini harusnya bukan cuma tanda tangan di atas kertas, tapi janji di atas piring kosong. Distribusi pangan itu urusan nyawa dapur, bukan cuma tabel rapat, program ini berjalan serius, maka “Tak akan ada lagi emak-emak yang mengganti nasi dengan mi, dan tak akan ada bapak-bapak yang pura-pura kenyang demi anak-anaknya”
Kita berharap, langkah Palembang-Subang ini jadi contoh, bukan pengecualian, jika perlu jadikan Wak Bek & Mang Zenal sebagai duta pangan nasional, ha..ha[***]
Catatan Redaksi:
Tulisan ini menggabungkan fakta aktual dari peristiwa penandatanganan kerja sama distribusi pangan antara Pemkot Palembang dan Pemkab Subang dengan unsur fiksi, humor, dan tokoh rekaan. Gaya penulisan yang jenaka ini bertujuan untuk menyampaikan isu ekonomi secara ringan namun tetap berbobot. Segala nama dan dialog fiktif adalah bagian dari narasi kreatif dan tidak mewakili pihak manapun secara langsung.