Ekonomi

“Bayangkan Hidup, Cabai Lebih Mahal dari Gaji”

ist

MASUK ke dapur emak-emak zaman sekarang suasananya bukan lagi aroma bawang goreng atau kuah sayur asem, tapi aroma was-was. Betapa tidak, harga cabai merah sudah kayak barang koleksi langka, saking mahalnya, ada yang bercanda kalau mas kawin zaman sekarang cukup segenggam cabai, itu pun nilainya bisa sama dengan cincin emas.

Emak-emak pun berubah jadi manajer keuangan sekaligus ahli strategi, menu makan siang diubah-ubah sesuai kondisi pasar, kalau ayam naik, langsung ganti tempe. Tempe ikut naik, pindah ke tahu.

Bahkan kalau tahu pun ikutan mahal, ya… sudah, kerupuk dicocol kecap pun bisa terasa “wah”, asalkan makannya bareng keluarga, inilah yang disebut resiliensi rumah tangga kecil, bukan pilihan, tapi keterpaksaan.

Beberapa hari lalu, Pemkot Palembang sudah menggelar pasar murah di 44 titik, dan katanya akan ada 22 titik lagi sampai akhir tahun. Tujuannya jelas, meringankan beban rakyat menengah ke bawah. Tapi masalahnya, pasar murah ini sering terasa seperti hiburan musiman, ramai sebentar, rakyat tersenyum sebentar, lalu kembali menangis di pasar tradisional saat harga kembali normal.

Pasar murah itu ibarat obat warung, meredakan pusing sesaat, tapi tidak menyembuhkan penyakit, lantaran akar masalahnya jauh lebih dalam, dari gagal panen akibat musim hujan, distribusi yang mahal, hingga kebijakan Nasional yang membuat permintaan melonjak.

BPS mencatat inflasi September 2025 di Palembang sebesar 0,30 persen bulanan, angka itu terdengar kecil, seperti recehan yang jatuh ke kolong lemari, namun  dampaknya ke dapur rumah tangga jelas terasa, sebab yang naik bukan barang mewah, melainkan kebutuhan sehari-hari, cabai, beras, ayam, bawang.

Inflasi pangan selalu terasa lebih berat, karena menyangkut kebutuhan pokok, kalau harga iPhone naik, masyarakat kecil bisa pura-pura cuek, tapi kalau harga cabai melonjak sehingga dampaknya  emak-emak bisa ngamuk di dapur.

Keluarga menengah ke bawah kini hidup seperti akrobat sirkus, tiap bulan mereka harus jungkir balik mengatur strategi agar dapur tetap mengepul. Ayah jadi akrobat keuangan, ibu jadi badut yang harus menjaga senyum anak meski lauk makin sederhana.

Ada pepatah bilang “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”, tapi dalam kasus inflasi pangan, pepatah itu berubah jadi sedikit demi sedikit harga naik, lama-lama dompet jadi tipis.

Kenapa harga makin pedas?, jawabnya, cabai merah melambung karena musim hujan membuat banyak petani gagal panen. Ayam naik karena bibit terbatas, biaya produksi tinggi, dan permintaan meningkat akibat program Makanan Bergizi Gratis, malah bawang merah ikut terseret, bahkan emas perhiasan pun naik karena gejolak ekonomi global.

Artinya, inflasi ini bukan sekadar masalah “harga naik” di pasar, tapi cermin dari rantai pasok yang rapuh, kalau petani tak kuat panen, distribusi tidak efisien, dan kebijakan pusat tidak terkoordinasi, maka rakyat kecil lagi-lagi jadi korban.

Kecil dampak besar

Kalau mau serius menolong rakyat, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh sebenarnya perkuat ketahanan pangan lokal, petani cabai harus dibekali teknologi sederhana seperti rumah tanam atau bibit tahan cuaca. Jangan biarkan musim hujan selalu jadi alasan harga melambung.

Selain itu, koordinasi Program Nasional, misalnya MBG memang bagus, tapi kalau tak disertai penguatan produksi ayam, justru bisa menekan harga semakin tinggi.

Dan efisiensi distribusi, maksudnya harga BBM non-subsidi sudah turun, pemerintah seharusnya bisa memastikan ongkos transportasi pangan ikut menurun. Terakhir pasar murah plus pengawasan, bukan hanya gelaran sesaat, tapi juga menjaga stabilitas harga di pasar agar pedagang tak seenaknya bermain.

Sering kali, rakyat kecil didorong untuk “sabar” dan “resilien”, tapi sampai kapan?,  mereka bukan mesin tahan banting. Mereka manusia dengan batas kemampuan, kalau setiap kali harga pangan melonjak solusinya cuma menyuruh rakyat untuk kuat, lama-lama yang habis bukan hanya isi dompet, tapi juga kesabaran.

Resiliensi boleh, tapi jangan sampai jadi alasan bagi pemerintah untuk lepas tangan, rakyat bisa bertahan, tapi negara harus hadir.

Cabai memang kecil, tapi dampaknya besar,  dari meja makan sampai meja kebijakan, semua ikut kepanasan. Hidup ini memang pedas, tapi jangan sampai lebih pedas dari harga cabai merah.

Rakyat kecil sudah terbukti mampu bertahan dalam situasi sulit, tapi pemerintah jangan sekadar mengandalkan daya tahan itu, karena kalau rakyat hanya dipaksa resiliensi tanpa solusi nyata, yang tersisa hanyalah pasrah.

Hari itu akan indah bila emak-emak bisa masak sambel tanpa takut dompet jebol, anak bisa makan ayam tanpa harus dianggap anak sultan, dan bapak bisa belanja ke pasar tanpa pulang dengan wajah lebih kusut dari setrikaan. Selama itu belum tercapai, judul berita ini tetap relevan, cabai lebih mahal dari gaji, hidup makin pedas.[***]

Terpopuler

To Top