Uncategorized

Hati-hati Euforia New Normal

Foto : Istimewa

TIDAK dapat dipungkiri, pagebluk Covid-19 yang melanda negara kita dalam tiga bulan terakhir benar-benar memukul semua aspek kehidupan. Apalagi di bidang ekonomi, kalau meminjam istilah seniman Didi Kempot, ambyar dibuatnya.

Pertumbuhan ekonomi turun tajam dari 4,97 persen triwulan IV-2019 menjadi 2,97 persen pada triwulan I-2020. Padahal, pada periode Januari-Februari itu Covid-19 belum merajalela di kehidupan kita dan tidak ada pengaruh signifikan di ekonomi. Silakan dibayangkan, betapa turunnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020.

Sesaat setelah pemerintah mengumumkan kasus 01 pada awal Maret. Membayangkannya saja kita sudah pusing, apalagi terkena dampaknya.

Pemerintah berusaha keras untuk menyelamatkan ekonomi bangsa. Lebih dari Rp 677 trilyun APBN dikucurkan saat ini untuk memulihkan, paling tidak meringankan, beban masyarakat. Semua pihak berkomitmen, termasuk di Musi Banyuasin dimana saya kebetulan menjadi Ketua Gugus Tugas Percepatan Pemberantasan Covid-19.

Tidak kurang dari Rp303 miliar dari cadangan Rp500 miliar APBD dianggarkan, menjadikan Musi Banyuasin sebagai 5 besar Kabupaten dengan anggaran Covid-19 terbesar dari prosentasi APBD nya (paparan Mendagri pada Rakornis APIP di Jakarta, (15/6). Semua all out, berdarah-darah, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Tak mengapa asalkan rakyat yakin dan secure, bahwa ada pemimpin yang mengarahkan ke track yang benar.

Tapi sampai kapan ? Apakah bansos dan stimulus fiskal akan bisa terus-terusan menyokong prekonomian nasional ? Apakah listrik dan PDAM akan terus menerus digratiskan, seperti di daerah saya, untuk membantu rumah tangga miskin ? Apakah daerah mampu untuk terus mengucurkan Bantuan Langsung Tunai  APBD kepada warga terdampak, ustadz pondok pesantren, dan mahasiswa putus kerja ? Tidak mungkin.

Apalagi bagi daerah yang kapasitas fiskalnya terbatas dan pemimpinnya tidak punya sense of crisis, karena jika hanya mengandalkan bantuan pemerintah pusat pasti tidak akan cukup. Ekonomi harus bergerak, PHK harus dihindari dan itu harus dilakukan sekarang, kalau tidak mau terjadi resesi berkepanjangan.

Oleh karena itu, pemerintah melucurkan tatanan hidup baru, New Normal, dimana kita harus berdampingan dengan virus ini sembari melakukan aktivitas secara produktif dan aman. Wacana ini seakan-akan menjawab semua permasalahan ekonomi dan kesehatan  yang dihadapi. Pada kenyataannya ini pilihan beresiko, tapi harus kita terima asalkan beberapa syarat dan indikator eligible nya terpenuhi. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar siap ?

Jangan latah, euforia berlebihan Tidak ada satupun pakar kesehatan masyarakat, ahli epidemiologi, maupun lembaga kesehatan seperti WHO yang menyatakan kita telah siap untuk melakukan pelonggaran pembatasan, alih-alih langsung terjun bebas ke era New Normal.

Data terakhir ketika tulisan ini dibuat, hingga senin 15/6 pukul 12.00, angka positif baru yang terkonfirmasi mencapai rekor harian tertinggi ke-4, yaitu 1017 kasus, naik naik 18,7 persen dari sehari sebelumnya. Yang lebih gawat lagi, jumlah kasus tersebut kira-kira 2,7 kali lipat dari rata-rata harian , atau tumbuh 2,46 persen per hari secara rata-rata dalam seminggu terakhir.

Dengan pertumbuhan seperti itu, jumlah kasus kumulatif di Indonesia akan bertambah jadi dua kali lipat dalam satu bulan ke depan.Artinya, kita masih dan sedang menuju pucak pandemi. Alih-alih bicara gelombang kedua, gelombang pertama saja  belum berakhir. Belanda masih jauh tapi pasti datang jika tidak diantisipasi, seperti yang diingatkan oleh Bapak Presiden dalam menghadapi potensi ini.

Untuk level Sumatera Selatan pun, Tim Epidemiologi Sumsel dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia cabang Sumsel, yang telah melakukan evaluasi perkembangan Covid-19, berkesimpulan bahwa penerapan New Normal belum bisa dilakukan karena belum terpenuhinya indikator-indikator yang disyaratkan.

Optimistis

Lantas, sudah pantaskah kita mengklaim bahwa kita sudah siap untuk menuju New Normal, padahal ketika itu PSBB saja baru berjalan beberapa hari dan belum dievaluasi ? Sudah siapkah kita membuka mal, padahal cluster pasar saja masih mengkhawatirkan ? Hati-hati, jangan latah dan eforia berlebihan. Semua perlu pemikiran dan aksi yang terstruktur dan terencana.

Lantas apa yang harus dilakukan, jika kita ingin dinyatakan siap untuk menuju era New Normal ? Selain indikator Rt (tingkat penularan efektif) yang harus berada di level hijau, ada beberapa aksi yang mutlak dilakukan.

Pertama, lakukan pengawasan aktif dan deteksi kasus dengan tes PCR dari semua kasus yang dicurigai. Setidaknya 1 tes PCR per 1000 penduduk per minggu, dengan hasil yang bisa didapat dalam waktu singkat (jangan lagi daerah menunggu 14 hari hasil swab). Lakukan secara transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Jangan ada yang beranggapan jumlah kasus positif  menurun adalah prestasi kepala daerah, sehingga goal nya adalah penurunan kasus dengan mengelabui data. Ingat, data dan tracking yang valid adalah  syarat utama yang harus dilaksanakan, dalam ketentuan Normal Baru.

Dalam hal ini, upaya di Musi Banyuasin dengan menyediakan secara mandiri Tes Cepat Antigen dan PCR Real Time (pertama kali untuk RSUD Kabupaten) adalah upaya konkrit untuk mempersiapkan New Normal melalui isolasi cepat dari semua kasus yang terduga dan terkonfirmasi.

Hasil tes PCR yang bisa diketahui dalam 24 jam akan memudahkan penelusuran kasus dan menghemat biaya perawatan pasien. Sisi lain, pasti akan banyak jumlah kasus positif yang ketahuan. Tidak mengapa, lebih bagus daripada kasus zero karena tidak pernah ditest, yang justru akan membahayakan masyarakat.

Kedua, pastikan fasilitas kesehatan bagi pasien Covid-19 tercukupi, dengan peralatan yang bisa dipakai setiap waktu. Kesiapan RS rujukan di seluruh Sumsel patut kita dorong dan support, diantaranya dengan menyediakan APD yang cukup dan dengan mengapresiasi jasa tenaga kesehatan.

Mereka  yang merupakan benteng terakhir (bukan garda terdepan) kesehatan masyarakat, adalah faktor kunci untuk menuju kehidupan New Normal.

Inovasi-inovasi yang lahir dari pengalaman merawat pasien kasus Covid-19 patut diapresiasi, sebagai motivasi bagi para tenaga medis. Terapi holistik outdoor yang diinisiasi oleh RSUD Sekayu, sebagai salah satu metode yang direkomendasi IDI sebagai upaya untuk meningkatkan imun tubuh pasien dengan fasilitas camping, diyakini mempercepat proses penyembuhan. Secara otomatis meningkatkan kapasitas rawat inap RS, karena pasien dengan imunitas yang tinggi akan cepat pulang.

Penelusuran dan karantina semua kontak antar kasus wajib dilakukan. Idealnya, menurut WHO, setidaknya 80 persen kasus baru dilacak dan orang yang pernah kontak dengan kasus dikarantina dalam 72 jam setelah konfirmasi. Juga setidaknya 80 persen kontak dari kasus baru dipantau selama 14 hari.

Terakhir, partisipasi masyarakat merupakan faktor terpenting. Disiplin adalah kata penentu, pengawasan perilaku hidup bersih, penjarak-an sosial, pemakaian masker tidak bisa terus menerus mengandalkan TNI/Polri. Masyarakat adalah garda terdepan pemutus rantai penularan virus corona. Mereka harus terus menerus disadarkan dengan tidak membiarkan warga beraktifitas yang beresiko tertular.

Jadi, jangan dulu terburu-buru seperti kuda lepas kandang. Ritme kerja harus diatur, layout transportasi umum harus dimodifikasi, fasilitas publik harus siap protokesnya. Semua membutuhkan waktu dan kerja keras, jika tidak kita akan terperosok pada gelombang ke 2 yang lebih sulit untuk dipulihkan. Tapi kita harus optimis, bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, New Normal adalah pilihan yang harus kita adopsi. Dengan norma baru, dengan kebiasaan baru dan dengan semangat baru. Untuk kehidupan masyarakat Sumsel yang produktif dan aman.[***]

Penulis : Dr. H. Dodi Reza Alex Noerdin, Lic.Econ, MBA, Bupati Muba & Pemerhati Masalah Ekonomi & Sosial

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com