PERINGATAN 1 Juni 1945 merupakan salah satu poin penting dalam memahami lintasan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila ini menjadi jawaban atas pertanyaan Kaisar Jepang Tenno Haika pada saat masa penjajahan kolonial Jepang, “apakah yang menjadi dasar Indonesia untuk merdeka?” Pertanyaan ini tentu dilatarbelakangi oleh kehendak rakyat Indonesia yang berkumpul pada 28 Oktober 1928 dalam momentum Sumpah Pemuda, yang menyatakan “Satu tumpah darah, tanah air Indonesia. Satu bangsa, bangsa Indonesia. Dipersatukan oleh satu bahasa, Bahasa Indonesia”. Dan hal ini mengisyaratkan bahwa Bangsa Indonesia terlahir pada saat itu, yang kemudian berkomitmen untuk mendirikan suatu negara Indonesia yang merdeka.
Kurang lebih 17 tahun kemudian setelah momen sumpah pemuda, tepat pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Dokuritsu Junbi Cosakai yang didirikan oleh penjajah Jepang. Yang saat itu diketuai oleh dr K.R.T Radjiman Wedyodiningrat, kemudian dibentuk keanggotaan yang terdiri dari perwakilan Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan beberapa orang peranakan Eropa, Cina, dan Arab. Melaksanakan sidang ini merupakan tanggung jawab yang berat dan besar dikarenakan menyangkut nasib dan cita-cita bangsa Indonesia yang terlahir untuk merdeka.
Persidangan BPUPKI yang pertama pada 28 Mei 1945 berfokus untuk menggali isi, bentuk, dan falsafah sebagai suatu dasar Indonesia untuk merdeka, yang disampaikan langsung melalui pidato dari dr. Radjiman Wedyodiningrat. Hari kedua, pada tanggal 29 Mei 1945, sidang BPUPKI kedua dilaksanakan secara resmi dengan adanya pidato dari Muh. Yamin, Margono, Sosrodiningrat, Wiranatakusuma, Soemitro, Woerjaningrat, Soerjo, Soesanto, Dasaad, Rooseno, dan M. Aris.
Pada tanggal 30 Mei 1945, mendengarkan pidato Moh. Hatta, Agus Salim, Samsoedin, Wongsonegoro, Soerachman, Abdul Kadir, Soewandi, Abdul Rahim, Soekiman, dan Soetarjo. Pada tanggal 31 Mei 1945, mendengarkan pidato, Muh. Yamin, Sanusi, Soekardjo, Soepomo, dan Hadikoesoemo. Pada tanggal 1 Juni mendengarkan pidato Baswedan, Muzakkir, Soekarno, J. Latuharhary, dan Soekardjo.
Selama pelaksanaan sidang BPUPKI berlangsung, terdapat tiga tokoh yang aktif berpendapat menyampaikan gagasan mengenai dasar Indonesia merdeka, yaitu : 1) Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 menyampaikan mengenai “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”. 2) Mr. Supomo tanggal 31 Mei 1945 menyampaikan mengenai “Dasar-dasar Negara Indonesia Merdeka”. 3) dan Soekarno menyampaikan pada 1 Juni mengenai “Dasar Indonesia Merdeka”.
Dari ketiga tokoh tersebut, diperoleh 5 (lima) hal untuk dijadikan Dasar-dasar Indonesia Merdeka. Namun Soekarno mengusulkan kelima hal tersebut jangan dinamai dengan Pancadharma akan tetapi Pancasila. Dan kelima nilai itu menurut Muh. Yamin pada 29 Mei 1945 ialah : 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan, 5) Kesejahteraan Rakyat. Pada tanggal 31 Mei 1945 Mr. Supomo menyampaikan : 1) Persatuan, 2) Kekeluargaan, 3) Keseimbangan Lahir dan Batin, 4) Musyawarah, 5) Keadilan Rakyat. Kemudian 1 Juni 1945 Soekarno manyampaikan : 1) Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia, 2) Internasionalisme atau perikemanusiaan, 3) Mufakat atau Demokrasi, 4) Kesejahteraan Sosial, 5) Ketuhanan yang berkebudayaan.
Momentum persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1945 – 1 Juni 1945 menggambarkan bagiamana proses musyawarah dalam menggali nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai Dasar Indonesia Merdeka. Dengan tegas Soekarno menyatakan bahwa kelima nilai tersebut tidak dinamai sebagai Pancadharma tetapi adalah Pancasila. Pancasila inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945, yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan urutan : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tepat hari ini 1 Juni 2022, bangsa Indonesia memperingati perjalanan sejarah dimana 1 Juni 1945 pada saat itu founding fathers bermusyawarah untuk menetapkan Pancasila menjadi Dasar Indonesia Merdeka. Sehingga dalam konteks ini perlu ditekankan bahwa untuk memperingati 1 Juni 1945 tidak hanya memaknai sebagai Hari Lahirnya nama Pancasila, tetapi memahami secara berkesinambungan dan secara filosofis mengapa Pancasila ditetapkan dan menjadi Dasar Indonesia Merdeka.
Ketika Pancasila disepakati dan ditetapkan kemudian pada 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara Indonesia, maka seharusnya Pancasila menjadi dimensi dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dalam lini budaya, hukum, sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan yang berlandaskan pada Pancasila. Oleh karena itu Pancasila harus menjadi sifat bangsa, karena menjadi sifat bangsa maka Pancasila akan menjadi sumber dari segala sumber hukum, maka kemudian Pancasila akan menjadi Keyakinan Standar, sehingga Pancasila akan menjadi falsafah dan sikap keberpihakan bangsa Indonesia dan tidak berpihak pada kepentingan asing.
Lemahnya pemahaman Pancasila ini tidak hanya terjadi dikalangan masyarakat umum, akan tetapi juga menjangkit beberapa penyelenggara pemerintahan. Misalnya adalah pemahaman Pancasila sebagai Empat Pilar Kebangsaan. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Amar Putusan Nomor 100/PUU-11/2014 yang membatalkan frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara”. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memahami sejarah perjalanan bangsa Indonesia dengan benar, sehingga Pancasila tidak bias dipahami.
Dan dalam konteks hari ini, pembatalan frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” atau yang sering kita lihat aktualisasinya dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar yang biasanya diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tidak memiliki atau berkesinambungan dengan nilai historis, filosofis, sosiologis, dan yuridis. Artinya, akan terjadi pergeseran makna terhadap nilai-nilai kebangsaan yang akan diterima oleh masyarakat. Dan ini tentu menjadi hal yang berbahaya bagi keutuhan berbangsa dan bernegara bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penggunaan istilah Empat Pilar menjadi hal yang hanya bersifat pragmatisme dan hanya bertujuan untuk labeling semata, dan akan sangat berbahaya apabila hal ini juga bersifat politis. Artinya, kebenaran terhadap terhadap Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan menjadi bias. Sehingga kemudian akan mudah menjustifikasi golongan lainnya anti terhadap NKRI, atau bahkan Pancasila. Maka kemudian pelurusan sejarah bangsa Indonesia harus segara dilakukan, untuk mengembalikan jati diri bangsa Indonesia berdasarakan kebenaran perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, 1 Juni ini seharusnya tidak hanya diperingati sebagai peringatan ceremony belaka sebagai peringatan hari Lahirnya Pancasila. Karena sejatinya Pancasila bukan dilahirkan, tapi digali oleh founding fathers sehingga ditemukanlah nilai-nilai yang terkandung di dalam jati diri bangsa, yaitu Pancasila sebagai dasar dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Maka apabila 1 Juni diperingati sebagai hari ditetapkannya Pancasila sebagai Dasar Indonesia Merdeka, maka akan dibangun evaluasi tahunan sejak kurang lebih 77 Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, apakah sudah mencapai kemerdekaan? Apakah Pancasila sudah diposisikan secara terukur dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara?[***]
Oleh: Andika Widiyanto
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
HP: 0877-7130-3778