“TABIKPUN…kamahapan di Gusti-Gusti Pohngun pun, kintu mak sangaja kasinggung waktu cakak, atawa kapailik waktu rogoh, hampura pun. Mulai jak panghulu di Gusti Raja pun.” Artinya: Mohon maaf kepada tuan-tuan sekalian, bila tanpa sengaja tersenggol waktu naik, atauterinjak waktu turun (filosofi Rumah Panggung Komering), mohon dimaafkan. Mulai dari pangkal pada tuan Raja. Mengawali tulisan tentang budaya ini, sengaja meminjam penggalan awal petuah adat atau ungkapan, saat pelaksanaan upacara pemberian golaran/jajuluk/adok atau gelar adat, kepada sepasang pengantin di Komering.
Nama raja-raja Sriwijaya: Maharaja Dapunta Hiyang Srijayanasa, Dewi Sobhakancana, Sri Maharaja Dewadharmaputra, Sri Maharaja Dharmmapara, Sri Maharaja Lokitawarman, Sri Maharaja Indrawarman, Sri Maharaja Wishnuwarman, Sri Maharaja Dharaindra, Sri Maharaja Samaratungga, Sri Maharaja Balaputra Dewa, Sri Maharaja Dayatityawarman, Sri Maharaja Sudamani Warmandewa, Sri Maharaja Marawijayatunggawarman, Sri Maharaja Sanggrawi-Jayotunggawarman, Sri Maharaja Indradewakulotungga, Sri Maharaja Dharmmawira, dan Sri Maharaja Dharmmajaya (sumber: Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara, 1675 M).
Menurut para arkeolag umumnya: Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, Sri Indrawarman, Rudrawikrama, Wishnu, Maharaja, Balaputra Dewa, Sri Udayadityawarman, Sri Udayaditya, Sri Sudamaniwarmadewa, Marawijayatunggawarman, dan Sri Sanggaramawijayatunggawarman
Di sini diurai ulangi deskrifsi atas bacaan dimana Istana Sriwijaya, sebagai antitesa atas pendapat sebelum ini, bahwa istana itu didugakan berada di Situs Sriwijaya, Karanganyar, Palembang.
Tampaknya tafsir itu terlalu terburu-buru, atau mungkin jadi tadinya terkait upaya menggolkan proyek pembagunan bangunan-bangunan baru di Situs Karanganyar kala itu, namun kurang didukung data arkeologis kuat berlapis, agar sulit dipatahkan.
Tafsir menyoal dimana Istana Sriwijaya? Belum ada lagi yang secara tegas memberikan jawabnya, selain pendapat di atas tadi. Padahal teori yang sering dirujuk ada dua terkait Pusat Pemerintahan Sriwijaya: 1). Pusat Sriwijaya bukan di Palembang; dan 2). Pusat Sriwijaya di Palembang. Kita sepakat dengan yang kedua , karena Palembang sangat kuat didukung oleh temuan arkeologis, sementara untuk yang pertama cenderung lebih kepada argumentasi atau hasil analisa.
Jika pusat Sriwijaya bukan di Palembang karena berpindah-pindah, seperti apa tafsirnya untuk menjawab pertanyaan, di mana saja letak istana Sriwijaya ketika itu? Pendapat kedua, memang secara artefaktual-arkeologis Palembang sangat kuat, tafsirini berpijak pada teori Tanda (sign index) “Sebab-Akibat,” atas situs pun artefak tinggalan Sriwijaya, dan sudah beberapa kali kita ungkap, bahwa istana dimaksud berada di Kecamatan Kadoni, Kota Palembang sekarang!
Di situs Gde Ing Suro (makam Gde Ing Suro), situs Telaga Biru (lokasi temuan Prasasti Telaga Batu I, II) – Palembang, dan Prasasti Telaga Batu I, II, merupakan situs pun artefak arkeologis yang berkenaan dengan Sriwijaya. Berangkat dari bacaan atas beberapa situs pun artefak tadi, dan kaitannya dengan pendapat bahwa Sriwijaya berpusat di Palembang, maka mengantarkan kita pada bacaan tanda-tanda yang mengisyaratkan secara semiotika.
Keberadaan temuan prasasti khususnya Telaga batu I, berisi nama-nama jabatan pada era Sriwijaya, dengan pahatan tujuh kepala Cobra (icon) pada sisi atas prasasti itu, serta keberadaan rel simetris atau saluran menurun dari sisi kiri dan kanan menuju ke tengah, berakhir dengan pancuran kecil pada bagian atau sisi bawah prasasti itu, merupakan media ritual saat angkat sumpah jabatan para pejabat era Sriwijaya. Ditafsir, lokasi penemuan prasasti Telaga Batu (TB) I, merupakan wilayah ritual atau di sana tempat upacara,saat pelaksanaan angkat sumpah dan pelantikan jabatan.
Pertama, prasasti tersebut merupakan indeks, bila diibaratkan sekarang merupakan Daftar Susunan Kabinet, ditemukan pada lokasi seputar situs Telaga Biru (data titik koordinat sudah hilang), maka lokasi itu tak akan jauh dari istana kerajaan Sriwijaya (indeks = hukum sebab-akibat).
Prasasti Telaga Batu I secara visual, merupakan media penting pada saat berlangsungnya prosesi Pelantikan atau Sumpah Jabatan, para pejabat pada masa itu sebagaimana terdapat dalam teks yang dipahatkan, sehingga keberadaannya tidak boleh jauh dari istana Sriwijaya.
Kedua, situs Makam Gde Ing Suro juga lokasinya tidak jauh, bahkan hanya bersekat pagar tembok dengan area pabrik pupuk Pusri. Tampilan situs ini adanya makam-makam (muslim) di atas bangunan terakota khas candi Sriwijaya terutama Sumatra. Bangunan terakota yang “mewadahi” (ditimpa) makam-makam itu, dalam penanggalan arkeologis cenderung disebutkan sebagai tinggalan pasca masa Sriwijaya. Makam Gde Ing Suro adalah indeks dari istana Kuto Gawang, dan strutur terakota yang mewadahi makam-makam, juga indeks dari istana Sriwijaya, maka tidak akan jauh dari situ.
Setelah Sriwijaya mengalami kemunduran terjadi kekosongan kekuasaan, kerajaan Melayu telah melepaskan diri dan berdiri sebagai kerajaan mandiri. Penguasa Melayu mendapat dukungan dari Jawa, yaitu Wilwatikta (Majapahit) mengutus salah seorang keturunan Sriwijaya bernama Adityawarman. Utusan Majapahit ini menjadi penguasa baru di wilayah Melayu bekas wilayah Sriwijaya, di perbatasan Jambi dengan Sumbar (Prasasti Padang Roco).
Muncullah dinasti baru yang belakangan dikenal sebagai Dinasti Dharmasraya. Pada masa berikutnya terjadilah ekspedisi Pamalayu oleh Singhasari (Kertanegara) dan memberikan hadiah arca kepada Dhamasraya. Arca itu ada dua bagian namun kini telah disatukan kembali, arca Amoghapasa dan alasnya disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor inventaris D.198-6468 (bagian alas) dan D.198-6469 (bagian arca).
Menjelang Dinasti Dharmasraya surut, Wilwatikta (Majapahit) kembali mengutus salah seorang senopatinya (panglima perangnya) bernama Ario Damar. Belakangan Ario Damar memeluk Islam dan lebih dikenal sebagai Ario Dillah. Senopati ini sepertinya tidak begitu diterima oleh keluarga besar istana kerajaan Sriwijaya, di Palembang, karena dianggap penghianat.
Anggapan hianat itu disebabkan Jawa, Sunda, dan Melayu tidak menepati amanat Raja Sanggramawijaya Tunggawarman, raja terakhir Sriwijaya. Sunda, Jawa, dan Melayu tidak mengamankan jalur pelayaran pantai barat menuju Selat Sunda, juga pantai timur menuju Selat Bangka, sehingga serangan kedua pasukan Rajendra Chola Mandala, leluasa masuk menuju kraton Sriwijaya di Mukha Upang (Pusri Sekarang). Ario Dillah kurang begitu berhasil menjalankan misi Wilwatikta di Palembang, bekasibukota Sriwijaya.
Sementara berikutnya, Ki Gde Ing Suro sebagai panglima perang tidak menempuh gaya militer, ia tahu persis sisa keluarga istana tak bisa dilunakkan dengan kekerasan. Ki Gde menempuh pendekatan kekeluargaan dan kultural. Ia terpanggil untuk mengamankan keluarga istana Sriwijaya, yang notabene masih keluarga dengan garis trah Ki Gde. Keluarga istana Sriwijaya melunak dan Ki Gde mendapat kepercayaan untuk memimpin Palembang.
Berdirinya Kerajaan Palembang di era Demak-Pajang, bangunan kraton bekas Sriwijaya ditempati dan difungsikan menjadi kraton Kerajaan Palembang. Kraton itu dinamakan Kraton Kuto Gawang, karena sebagian areal kraton itu mengambang di atas permukaan sungai Musi. Masyarkat Palembang menyebut kawasan tersebut sebagai Palembang Lamo, sekarang 1 Ilir – Kalidoni. Trah yang masih melekat pada Ki Gde juga merupakan indeks, maka Ki Gde Ing Suro menjadi pemimpin di Palembang.
Mengapa lokasi situs Makam Gde Ing Suro ada di sana? Pertama, karena istana Kuto Gawangberada di bawah (baca: ditimpa) PT. Pusri, selaras dengan skesta era Hindia Belanda, maka makam keluarga Ki Gde Ing Suro ada disitu; Kedua, karena istana Kuto Gawang memanfaatkan bekasistana Sriwijaya (tafsir), maka keberadaan vihara/candi menurut teks prasasti Telaga Batu II, ditimpa dan dijadikan makam oleh keluarga Ki Gde Ing Suro. Uraian tadi jelas mempresentasikan sign index, baik antara istana Kuto Gawang dengan makam Gde Ing Suro, maupun antara istana Sriwijaya dengan bangunan terakota sisa vihara/candi (prasasti Telaga Batu II).
Ketiga, karena Sungai Musi merupakan jalur utama transportasi air ke laut, terutama sejak Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Palembang, karena jaraknya sudah termasuk tidak terlalu jauh lagi dengan muaranya sungai Musi, melalui Upang menuju muara di Sungsang. Karena itu pula, Muka Upang yang dimaksud di Prasasti Kedukan Bukit, memungkinkan sekali maksudnya “sebelum Upang” dari arah Bukit Siguntang, adalah lokasi Wanua yang mereka bangun kala itu, yakni Istana Sriwijaya (lokasi PT. Pusri sekarang). Mengingat daerah itu khususnya seperti lokasi PT. Pusri sekarang merupakan posisi strategis, baik untuk berelasi pun dalam pertahanan, maka menjadi pilihan tepat (indeks) untuk lokasi istana kala itu.
Logis bila tafsir Istana Sriwijaya maupun Kuto Gawang sebagai istana awal Kerajaan Palembang memilih lokasi itu. Sungai Musi di Depan Pusri. Keempat, pabrik Pusri menimpa istana Kuto Gawang dan istana Sriwijaja, akibatnya para penyelam dan pemburu liar ‘harta karun’ tinggalan Sriwijaya, banyak berhasil menenukan apa yang mereka cari di sungai Musi itu, lokasi penyelamannya cenderung meliputi sekitar kawasan Sungai Musi, mulai dari Pusri hingga ke pulau Kemaro, adalah indeks Istana Sriwijaya tidak jauh dari situ, sebagaimana diungkapkan oleh para penyelam itu sendiri.
Fakta keberadaan Sriwijaya di Palembang terpresentasikan, baik oleh kawasan situs-situs maupu artefak-artefak tinggalan yang artefaktual-arkeologis itu, dan didukung pula oleh sumber sejarah berupa naskah atau catatan para musafir asal India, Arab, juga China. Untuk temuan prasastinya saja misalnya, jumlah terbanyak ditemukan di Palembang, serta banyak pula ditemukan di tempat-tempat lain, ada di Palas Pasemah (lampung), di Karang Brahi (Jambi), di Kota Kapur (Bangka), di Samirejo (Jateng), serta beberapa prasasti Sriwijaya yang berada di luar Nusantara.
Kerajaan Sriwijaya telah menjadi wacana sejarah dunia seabad lebih, sudah dikaji dan dibicarakan oleh para ahli dunia sejak lama, jadi sangat naif bila ada yang mengatakan Sriwijaya itu fiktif pun sekedar kelompok bajak laut, karena dari uraian di atassaja Sriwijaya jelas faktual. Kita tunggu kawan-kawan yang mengatakan pusat pemerintahan Sriwijaya, bukan hanya di Palembang tetapi berpindah-pindah, silahkan tunjukkan dimana lokasi istananya ketika berpindah, misalnya saat ke Riau, ke Binanga, ke Kadaram – Kataha, atau ke Thailand, dan lain sebagainya.
Dengan keempat indeks yang mempresentasikan adanya hukum kausal antarsitus/area maupun artefak dengan istananya Sriwijaya (lokasi PT. Pusri sekarang), bukan berarti serta-merta Pusri harus direlokasi…tidak juga, karena mengingat peran PT. Pusri penting bagi perekonomian negara ini. Kalaupun negara bangsa ini memang punya aware atas Sriwijaya, kita sudah siapkan gagasan besar untuk merekonstruksi keberadaan Sriwijaya, tetapi tentunya penting diingat untuk pembangunan kebudayaan itu harus dengan prinsip investasi, bukan prinsip hitung dagang! [***]
Oleh : DR. A. Erwan Suryanegara, M.Sn.
Budayawan