Agribisnis

“Petani Karet Tak Lagi Jadi Penonton, Muba Ajarin Dunia Cara Bertani Pakai Otak & Peta!”

ist

Antara e-STDB, geotagging, dan semangat petani yang makin meletup kayak getah pagi-pagi. “Pertanian bukan soal cangkul dan hujan. Ini soal strategi, teknologi, dan petani yang tak gampang dibodohi.”- Sander Happaerts, Green & Digital Counsellor Delegasi Uni Eropa

ERA yang katanya serba digital, jangan heran kalau petani pun kini harus kenal Google Maps. Bukan buat cari warung pecel lele terdekat, tapi buat nunjukin di mana lahan mereka berada, lengkap dengan titik koordinatnya. Ya, di Musi Banyuasin (Muba), karet tak lagi sekadar pohon disadap, tapi juga pohon harapan yang disiram dengan ilmu, teknologi, dan niat baik.

Kalau dulu jadi petani itu kayak main tebak-tebakan “Ini tanah siapa? Legal nggak ya?”  sekarang Muba ngajarin petani untuk pegang GPS, masukin data ke e-STDB, dan paham regulasi dari Eropa yang nama panjangnya bisa bikin ngantuk European Union Deforestation Regulation (EUDR). Tapi jangan salah, aturan ini bisa jadi pintu gerbang supaya getah karet dari Muba bisa nempel di setir mobil di Paris atau jadi sol sepatu di Milan.

Bupati H. M. Toha dan Wakil Bupati Kyai Rohman bukan cuma ngurus jalan rusak atau lampu mati. Mereka juga masuk ke pusaran isu global, bagaimana caranya bikin petani lokal bisa bersaing secara internasional tanpa harus merantau ke planet Mars.

“Petani jangan cuma jadi objek. Harus jadi subjek. Bukan cuma korban pasar, tapi juga penentu harga!”- Bupati Muba, H. M. Toha

Kalimat pidato biasa, seperti bilang “”Petani itu CEO dari lahannya sendiri!”, sebab itu dibentuklah PUKL (Pusat Unggulan Komoditi Lestari), semacam badan intelijen pertanian yang tugasnya ngatur strategi supaya petani kita nggak digilas oleh traktor korporasi besar.

Di Brazil, pemerintahan baru di bawah Presiden Lula da Silva kembali serius menangani deforestasi, menurut laporan World Resources Institute (2024), deforestasi di Amazon turun 60% dibandingkan tahun sebelumnya, setelah pemerintah memperketat pengawasan dan menindak perusahaan-perusahaan nakal. Petani kecil diajak kerja sama, bukan cuma disuruh minggir.

Nah, Muba nampaknya mau nyontek gaya ini, bukan nyontek ujian, tapi nyontek good governance, dialog yurisdiksi komoditas karet yang digelar bareng Solidaridad, GAPKINDO, dan mitra-mitra lainnya itu seperti rapat koordinasi para pendekar pertanian dari kementerian, perusahaan, sampai LSM. Mereka duduk satu meja, bukan rebutan mic, tapi rebutan ide.

Apa jadinya kalau petani, LSM, dan pejabat duduk bareng terus ngopi sambil geotagging? Ya, karet bisa punya KTP digital. Bayangin getah yang keluar dari batang karet punya akta kelahiran dan bisa ditelusuri kayak jejak mantan di medsos. Itulah yang dilakukan lewat sistem e-STDB dan GPS tagging.

Negara seperti , juga sudah mulai melibatkan petani kopi untuk input data lokasi lahan dan proses produksinya dalam sistem berbasis blockchain, agar biji kopi bisa masuk pasar Eropa dengan label “tanpa deforestasi”. Kalau Kolombia bisa, masak kita kalah?

Dalam forum tersebut, Country Manager Solidaridad Indonesia, Yeni Fitriyanti, menekankan pentingnya ketertelusuran bukan sebagai alat kontrol semata, melainkan sebagai bentuk membangun kepercayaan global. Ia menggambarkan konsumen Eropa kini tak hanya ingin tahu asal-usul karet, tapi juga prosesnya dan siapa petaninya, bahkan mungkin sampai bertanya: petaninya makan apa?

Menariknya, banyak diskusi Muba dilakukan secara daring. Lho, rapat lewat Zoom kok bisa ubah sistem pertanian? Jangan salah. Di era digital, perubahan kadang dimulai dari PowerPoint yang bikin ngantuk, tapi berakhir dengan petani yang bisa jual langsung ke luar negeri tanpa perlu agen berkumis tebal yang motong harga seenak dengkul.

Jangan lupa, forum-forum ini disambut oleh dukungan  Uni Eropa, Jerman, dan organisasi seperti TFA, IBCSD, hingga SNV. Jadi jangan bilang ini cuma proyek iseng, proyek ini jika konsisten, bisa bikin petani kita punya tabungan di bank Swiss.

Pepatah mengatakan “Yang bertani dengan akal, panennya bisa sampai Skandinavia”

Nah, Muba sudah mulai, tinggal bagaimana daerah lain nyusul, jangan malah sibuk bikin baliho sambil tersenyum kaku. Kalimantan Barat dengan proyek Sustainable Palm Oil-nya juga patut dicontoh. Di sana, petani sawit diberi pelatihan keterampilan finansial agar tidak tergantung tengkulak.

Kalau semua daerah berpikir seperti Muba, bisa jadi satu saat nanti, petani Indonesia tidak cuma bangga bawa cangkul, tapi juga bangga buka laptop, ngecek hasil penjualan karet mereka di pasar digital Eropa.[***]

Terpopuler

To Top