Sumselterkini.co.id, – Di tanah sabuk matahari, di ujung timur Indonesia, matahari seperti tak pernah ingkar janji. Ia menyinari Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan penuh kesungguhan, seolah ingin memastikan tak ada setetes pun air yang sia-sia.
Di sinilah, dihamparan desa-desa seperti Menia, Bodae, Deme, Bipoli, dan Oetata, kristal-kristal garam masa depan mulai dibayangkan.
Panas yang membuat baju menempel di badan dan sandal meleleh di aspal itu ternyata adalah rezeki tersembunyi, karena bagi garam, panas adalah teman akrab, seperti kata orang tua “Di mana matahari tak pelit, di situ garam lahir dengan kulit yang putih.”
Maka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun melangkah, lewat Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan, Pak Koswara, KKP meninjau langsung lokasi-lokasi strategis dengan langkah penuh asa, rombongan ini menjejakkan kaki di tanah-tanah kering yang siap disulap menjadi tambak-tambak modern.
NTT, dengan iklim panasnya yang stabil, mirip kawasan Dampier di Australia Barat, daerah penghasil garam top dunia, oleh sebab itu jangan salah, tanah yang sering dibilang kering-kerontang ini justru seperti ladang emas… hanya saja emasnya berbentuk butiran asin!
Tapi membangun tambak garam itu tidak sekadar menaburkan harapan di atas tanah gersang. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi status lahan harus jelas (jangan sampai nanti garam sudah panen malah ribut siapa yang punya sawah!), infrastruktur harus siap (jalan, listrik, air), dan masyarakat lokal mesti dilibatkan jangan hanya jadi penonton di tanah sendiri.
KKP sadar, industri garam butuh model baru, akhirnya lahirlah konsep “modelling ekstensifikasi” guna membangun tambak-tambak baru dengan skala besar dan manajemen modern, targetnya tak lain untuk produktivitas 200 ton garam per hektare. Angka yang bikin ngiler, setara satu truk garam lebih per hektare, luar biasa!.
Dengan kebutuhan nasional mencapai 4,9 juta hingga 5 juta ton per tahun, Indonesia harus memilih terus mengimpor garam, atau menggarap lahan sendiri, karena, bak pepatah bilang “Tak ada rotan, akar pun jadi. Tapi masa iya tak ada garam, impor pun terus dibeli”.
Pemerintah pusat, pemda, pelaku usaha, bahkan rakyat biasa semua diajak turun tangan, karena membangun industri itu seperti membangun rumah joglo satu tiang rapuh saja, semua atap ambruk.
Jika proyek modeling ini berjalan mulus NTT tak cuma jadi sabuk matahari , tapi sabuk emas kristal. Negeri yang dulu dikenal panas, kini dikenal asin, namun dalam arti yang mendatangkan sejahtera.
Garam-garam kecil dari Sabu Raijua hingga Kupang akan menyeimbangkan perekonomian, mengurangi ketergantungan pada impor, dan mengangkat nama Indonesia di peta industri dunia.
Namun satu hal perlu diingat modeling itu baru langkah pertama, seperti membuat nasi goreng, bahan yang lengkap tidak berarti nasi langsung enak, perlu tangan yang cekatan dan bumbu yang pas.
Pada intinya jangan sampai modelling hanya sekadar upacara seremonial, foto selfie, dan janji-janji di bawah baliho. Kita butuh kerja nyata, karena, seperti kata pepatah”Garam yang tak pernah diaduk, akhirnya mengendap di dasar, tak terasa di lidah.”
Kita harus berani bercita-cita besar “Dari kristal garam kecil di NTT, lahirlah cita rasa besar untuk bangsa.”. Mari kita kawal dan dukung biar asin yang ini, bukan membuat kita menangis, ke depannya, tapi membuat kita tersenyum lebar di meja makan.