Sumselterkini.co.id, – Dulu nenek moyang kita katanya pelaut. Tapi seiring zaman, ada sebagian nelayan yang makin kreatif bukan dengan alat tangkap canggih, tapi malah bawa-bawa bom.
Lah, ini bukan cari ikan, tapi cari masalah. Bayangin, lautan yang seharusnya jadi ladang rezeki, malah dijadikan arena ujicoba ledakan. Kalau terus begini, laut kita bisa-bisa ganti nama jadi “Lautan Meletus Nasional”.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) baru saja ngasih wejangan penting ikan hasil tangkapan pakai bahan peledak alias destructive fishing itu mutunya jeblok.
Bukan cuma jeblok, tapi udah kayak ikan habis di-mixer. Kepala Badan Mutu KKP, Bu Ishartini, sampai geleng-geleng kepala waktu lihat hasil uji forensik ikan-ikan malang yang diangkat dari laut bukan dengan jaring, tapi dengan “glegarrr!”.
Contohnya ikan kuniran, beratnya cuma seupil 94–150 gram, tapi kondisinya udah kayak abis duel lawan Mike Tyson pembuluh darah pecah, organ dalam rusak, tulang rusuk hancur, dan dagingnya lemes kayak tahu kelamaan dijemur.
Ikan kakap gaga 1,48 kg juga nggak kalah tragis, bagian dalamnya berdarah-darah dan rongga perutnya bocor. Lah, ini sih bukan ikan, tapi korban perang!
Kalau masih ada yang maksa makan ikan model begini, ya siap-siap aja perut diajak main Russian roulette. Soalnya, pepatah bilang, “Apa yang ditanam, itu yang dituai.” Kalau laut ditanam dengan bom, ya yang dipanen ya bangkai, bukan protein.
Bayangin aja, kita beli ikan buat bikin sup, tapi isinya malah kayak isi puzzle tulang tercerai-berai, daging lembek, dan isinya misteri. Mau sehat dari mana coba?
Sebagai perbandingan, kita tengok ke negara lain yang lebih cerdas nangkap ikan.
Norwegia, negara ini bisa dibilang role model dunia perikanan. Mereka pakai teknologi sonar dan kapal penangkap ramah lingkungan. Ikan ditangkap dengan cara elegan, bukan dengan cara “jebret”. Di sana, mutu hasil laut bisa tembus standar Eropa yang setinggi langit. Pantas aja salmon Norwegia bisa nongkrong di restoran bintang lima, bukan di pasar sambil nangis.
Jepang, di negeri sakura, penangkapan ikan adalah seni. Mereka punya aturan ketat, dan nelayan nggak asal jeger. Bahkan ada ritual pemotongan ikan (ikejime) untuk menjaga mutu daging. Coba bandingkan sama kita, yang kadang nelayannya lebih suka main “Bom-Bom Car” daripada jaring.
Islandia negara mungil ini justru jadi raksasa ekspor perikanan karena cara tangkapnya presisi, manajemen stok ikannya disiplin, dan nelayannya paham pentingnya menjaga habitat. Di sana, laut dianggap bank masa depan. Di sini? Laut kadang dianggap lapangan uji coba TNI.
Destructive fishing itu ibarat masak nasi goreng pakai dinamit. Iya, memang cepat mateng, tapi ya rumahnya juga habis. Ikan hasil ledakan itu bukan cuma rusak di dalam, tapi juga bisa rusak sistem dalam tubuh manusia yang makan. Kalau belum percaya, ya silakan makan, lalu tulis testimoni di IG story “Makan kakap, bonus tulang patah. Mantap.”
Ikan itu rezeki. Tapi kalau ditangkap pakai jalan pintas yang merusak, ya rezekinya jadi buntung. Pepatah bilang “Lebih baik lambat asal selamat, daripada cepat tapi tamat.” Nelayan harus diajak mikir jangka panjang. Masa iya, cucu kita nanti cuma tahu ikan dari gambar di buku?
Kalau laut terus diledakin, nanti isinya tinggal puing-puing kenangan. Udah saatnya pemerintah bukan cuma galak di seminar, tapi juga tegas di lapangan. Nelayan perlu diajak sekolah ulang, bukan sekadar dimarahi. Laut bukan tempat demo sinetron laga, tapi ladang pangan yang harus dijaga.
Karena kalau semua ikan kita berubah jadi “ikan geprek peledak”, bukan cuma mutu yang tenggelam, tapi juga masa depan.
Kalau kamu disuruh milih, mau makan ikan segar dari Jepang yang bersih dan montok, atau ikan dari laut kita yang udah kayak korban sinetron Indosiar? Mikir, tong. Jangan asal sambel.[***]